H Mohammad Sholeh Nawawi, Niat Jadi Sarjana Terganjal Ijazah Pesantren, ditulis oleh Fathurrahim Syuhadi, Ketua Majelis Pendidikan Kader (MPK) Pimpinan Daerah Muhammadiyah Lamongan.
PWMU.CO – Semangat belajar dan tak mudah putus asa merupakan ciri khusus para mubaligh dan pemimpin Persyarikatan. Mereka tak mengenal lelah untuk terus belajar dan memberikan pencerahan pada umatnya.
Semangat mereka sangat tinggi untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi iu kadangkala terhambat regulasi. Seperti yang dialami H Mohammad Sholeh Nawawi. Untuk memahami kendala itu, kita harus merunut perjalanan hidup—khususnya pendidikan—Nawawi.
Mohammad Sholeh Nawawi lahir di Desa Sugihan, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, pada tanggal 11 November 1949. Ia anak petani kaya di desanya. Ayahnya Haji Abdul Halim termasuk sudah berpaham Muhammadiyah di desanya.
Anak-anak Haji Abdul Halim semuanya dikirim ke pondok pesantren. Mereka adalah Mohammad Nur, Soehadi, Asmu’i, Mohammad Sholeh Nawawi, dan Muniatun.
Pendidikan Mohammad Sholeh Nawawi dilalui di desanya, kemudian Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Paciran lulus tahun 1965. Ijazahnya ditandatangani KH Abdurrahman Syamsuri.
Selepas itu ia melanjutkan ke Sanawiyah-Alijah Pondok Taman Pengetahuan Kertosono, Nganjuk. (lulus1970). Ijazah ditandatangani KH Salim Azhar. Lalu dia melanjutkan kuliah D-1 pendidikan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Surabaya lulus 1990.
Pulang Kampung
Selanjutnya ia kembali ke kampung halamannya. Ia mengajar ngaji dan menjadi guru di berbagai madrasah di sekitar desanya.
Yaitu di MIM Sugihan, MTsM Sugihan, PGAM Payaman, dan MAM Payaman. Ia mengajar sampai wafat pada tahun 2006.
Mohammad Sholeh Nawawi adalah aktivis sejak usia muda. Ia menjabat Kepala MIM Sugihan (1980-1988), Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Sugihan (1995-2005), ketua takmir masjid di desanya (1999-2005), Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Solokuro (1995-2000 dan 2000-2005), Anggota Majelis Wakaf dan Kehartabendaan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Lamongan (2000-2005).
Selain mengajar di madrasah, Nawawi membina pengajian rutin Nasyiatul Aisyiyah dan Aisyiyah di langgar al-Mukminun, sebuah langgar tertua di Desa Sugihan. Ia juga mengisi pengajian ke beberapa desa di sekitar rumahnya. Ia tidak pernah menolak untuk dimintai mengisi pengajian walau kadang kurang sehat dan capek.
Sebagai guru, mubaligh, takmir masjid, dan pimpinan persyarikatan, Nawawi harus mengatur waktu dengan sebaik-baiknya. Apalagi ia juga masih menyempatkan beternak kambing.
Terganjal Ijazah
Dalam perjalanan sebagai guru, Mohammad Sholeh Nawawi berkeinginan kuat untuk menempuh pendidikan tinggi. Motivasi belajar didasari bahwa ia sebagai guru harus selalu meningkatkan ilmu dan pengetahuan. Maka ia pun berniat melanjutkan ke Universitas Muhammadiyah Malang kampus Paciran.
Namun pada saat akan mengikuti Ujian Negara Cicilan (UNC) ia tidak bisa mengikutinya. UNC saat itu diberlakukan bagi perguruan tinggi swasta untuk menyamakan mutu pendidikan. Usut punya usut, ternyata ijazah dari madrasah di Pondok Taman Pengetahuan Kertosono tidak diakui. Tentu ia sangat kecewa.
Untuk memenuhi hasrat belajarnya yang besar di perguruan tinggi yang kandas itu, Nawawi akhirnya mengikuti kuliah Diploma Satu pendidikan Kemuhammadiyahan di Universitas Muhammadiyah Surabaya, kelas Paciran.
Semua Anaknya Aktivis Ortom
Mohammad Sholeh Nawawii menikah dengan Hj Aisyah pada tanggal 7 November 1971. Dari pernikahan itu ia dikaruniai tiga anak yaitu.
- Ummi Dzatin Ni’mah, alumni Pondok Karangasem Paciran dan IAIN Surabaya. Aktivis di IPM dan IMM. Kini sebagai guru negeri di Kemenag Jombang. Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua PDA Jombang
- Muhammad Faishol, alumni Pondok Muhammadiyah Babat dan ITS Surabaya. Aktivis di IPM. Kini sebagai guru neger di Kemenag Lamongan. Saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua PCM Babat.
- Dina Amalia, alumnus Pondok Karangasem Paciran dan IAIN Surabaya. Aktivis di IPM dan IMM. Kini sebagai guru di MTsM 6 Sugihan. Saat ini menjabat sebagai Sekretaris Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Sugihan.
Mohammad Sholeh Nawawi sangat ketat dan disiplin dalam mendidik anaknya. Di mana pun anaknya sekolah harus dengan nyantri dan aktif berorganisasi.
Dalam pandangan Ummi Dzatin Ni’mah , Beliau adalah ayah sejati dan panutan bagi anak-anaknya. Pantang menyerah dan suka membaca”
“Beliau selalu berlangganan majalah Suara Muhammadiyah dan majalah Panji Masyarakat. Bapak selalu mengidolakan Buya Hamka,” kenang istri Muhammad Abduh, Ketua Pimpnan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Jawa Timur 2010-2014.
Menurut Zahri Muttaqin, muridnya di MAM 6 Payaman tahun 1990-1993, Nawawi mengajar dengan tekun, sabar, dan berdisiplin tinggi.
“Kami biasa kami memanggil Ustadz Sholeh. Ia mengajar bahasa Arab. Beliau pulang pergi ke sekolah, sekitar 3 km—selalu ditemani sepeda motor Honda Astrea 800,” kenangnya.
Menurutt Zahr, gurunya itu selama tiga tahun tidak pernah absen mengajar alias masuk terus. “Ustadz Sholeh kalau mengajar tepat waktu. Kami sangat hormat dan segan dengan beliaunya. Kami meneladani budi pekertinya,” kenang Zahri Mutaqin yang saat ini bekerja di Pengadilan Agama Ngawi
Setelah sakit beberapa lama di RS Muhammadiyah Lamongan, Mohammad Sholeh Nawawi dipanggil Allah Swt pada hari Rabu, tanggal 15 November 2006. Ia dimakamkan di Makam Islam Desa Sugihan, Solokuro. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.