PWMU.CO – Muhammadiyah bertahan karena ikuti kaidah Islam dan harapan zaman. Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr H Haedar Nashir MSi.
Dia menyampaikannya saat memberikan Pidato Milad pada Resepsi Virtual Milad 108 Muhammadiyah via Zoom, Rabu (18/11/2020).
Menurut Haedar Nashir, Muhammadiyah dalam rentang usia 108 tahun penting meneguhkan jati diri sebagai gerakan keagamaan.
Kenapa Muhammadiyah Lahir?
“Sejak kelahirannya tahun 1912 Muhammadiyah menegaskan diri sebagai perhimpunan Islam yang ‘menyebarloeaskan’ dan ‘memajoekan’ hal agama Islam. Radius gerakannya semula di Karesidensi Jogjakarta, selanjutnya di Hindia Timur atau Indonesia,” ujarnya.
Kenapa Muhammadiyah kala itu lahir? Kondisi umat Islam di awal abad ke-20 itu tidak berpegang teguh kepada ajaran Islam yang murni dan terpecah belah tanpa persatuan.
“Pendidikan tidak sejalan dengan tuntutan zaman. Mereka hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis, konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme. Serta pengaruh misi zending yang semakin kuat,” ungkapnya.
Kiai Dahlan, lanjutnya, memberi jawaban dengan melakukan pembaruan (tajdid) pemahaman Islam. Memperkenalkan pendidikan Islam modern. Gerakan baru membangun kesehatan dan pelayanan sosial berbasis al-Maun dan PKO. Serta pengorganisasian zakat dan haji.
“Selain itu memelopori lahirnya organisasi perempuan Islam Aisyiyah, gerakan cinta tanah air Hizbul Wathan, publikasi Islam melalui majalah Suara Muhammadiyah yang memperkenalkan penggunaan bahasa Indonesia, tabligh di ruang publik, dan usaha-usaha lain yang bersifat baru,” urainya.
Membersihkan Islam di Indonesia
Menurut Haedar Nashir, Prof Mukti Ali (1958) meringkas misi pembaruan Muhammadiyah menjadi pertama membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam.
“Kedua reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern. Ketiga reformulasi ajaran dan pendidikan Islam. Dan keempat mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar,” rincinya.
Para ahli menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern atau reformis. Sebutan modernisme dan reformisme Islam secara khusus dilekatkan pada Muhammadiyah, sehingga label itu begitu kuat sampai saat ini.
Dia menambahkan James Peacock (1986) memberikan kesaksian etnografis tentang kuatnya Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern.
“Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam-macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur.
Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah pergerakan kecil-kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara.
Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik kesehatan, beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia.
Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”
Setelah 108 Tahun
Kini setelah 108 tahun berjalan, apakah etos tajdid, modern, dan reformis itu masih melekat pada Muhammadiyah? Para anggota lebih khusus kader dan pimpinan Muhammadiyah di seluruh tingkatan dan institusi organisasi berkewajiban menyambung mata rantai pembaruan Muhammadiyah yang diwariskan Kiai Dahlan itu.
“Pandangan tajdid yang berwatak modernis dan reformis harus menyatu ke dalam jiwa, pemikiran, sikap, dan tindakan yang membawa kemajuan Muhammadiyah, umat, bangsa dan kemanusiaan semesta,” pesannya.
Menurutnya berbagai perangkat pemikiran Muhammadiyah saat ini lebih dari cukup sebagai rujukan bagi para anggota, kader dan pimpinan dalam meneguhkan dan membawa Muhammadiyah sebagai gerakan keagamaan yang berwawasan tajdid, modern, dan reformis.
“Kini diperkenalkan dan telah meluas publikasi tentang pandangan Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam Berkemajuan. Para anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah niscaya merujuk pada pemikiran-pemikiran kontemporer Muhammadiyah,” jelasnya.
Di antaranya, sambungnya, Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua (2010), Dakwah Kultural (2002), Khittah Denpasar dalam Berbangsa dan Bernegara (2002), Manhaj Tarjih dengan Pendekatan Bayani, Burhani, dan Irfani (2000), Dakwah Komunitas (2015), dan Fikih Siyasah Baru Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah (2015)
“Serta sejumlah fikih kontemporer hasil Majelis Tarjih dan Tajdid dapat menjadi rujukan pemikiran pembaruan Muhammadiyah fase baru. Demikian halnya dengan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup, Kepribadian, Khittah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan lainnya yang lahir sebelum ini,” tambahnya.
Jadikan pemikiran-pemikiran resmi tersebut sebagai wawasan dan orientasi tindakan dalam bermuhammadiyah dan menghadirkan cara pandang yang khas dari Muhammadiyah di tengah dinamika umat, bangsa, dan relasi global saat ini.
“Selain itu dapat diperkaya dengan pemikiran-pemikiran Islam dan wawasan ilmu pengetahuan mutakhir yang berperspektif pembaruan dalam spirit dan tradisi iqra, ulul albāb, dan tafaqquh fid-dīn, ungkapnya.
Memahami Islam, ujarnya, dan kehidupan penting diperdalam dan diperluas dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani secara interkoneksi.
“Ketika umat tengah semarak beragama dan masyarakat luas haus akan nilai-nilai agama, Muhammadiyah niscaya hadir dengan misi dakwah Islam yang memberi kepastian nilai, kedamaian, keselamatan, kebahagiaan, dan pencerahan,” terangnya.
“Seraya menghadirkan nilai keagamaan yang mampu mengeliminasi segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan anarki dalam kehidupan. Hadirkan Islam sebagai hudan lin-nasiwa bayyinatinminal-huda wal-furqan, sekaligus menjadi ‘kanopi suci’ yang memberi arah hidup li ṣalahil-ibādi dunya-hum wa ukhrahum,” imbuhnya.
Tatkala di fora dunia tumbuh fenomena Islamofobia, Muhammadiyah mesti hadir mempublikasikan dan menampilkan Islam ‘Wasaṭiyah-Berkemajuan’ sebagaimana spirit al-Quran surat al-Baqarah ayat 143 Wa kadzalika ja‘alnakum ummatan wasaṭan litakunu syuhada’a ‘alan-nas.
“Peran PCIM/PCIA dan program Internasionalisasi Muhammadiyah dapat difungsikan untuk menghadapi arus global itu sehingga Islam dan umat Islam dunia tampil sebagai representasi raḥmatan lil-alamin,” ajaknya.
Ikhtiar meneguhkan dan membawa Muhamamdiyah sebagai gerakan keagamaan yang bermisi tajdid dengan watak modern dan reformis di abad kedua menjadi tanggung jawab para pimpinan di semua tingkatan dan lini organisasi.
“Kita yang mengaku pengikut Nabi Muhammad dan nama Muhammadiyah dinisbahkan kepada Nabi akhir zaman itu. Penting menyerap inspirasi dari hadis yang artinya, ‘Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang memperbarui untuk umat agama mereka’,” sitirnya pada hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah.
Mujadid, menurutnya, tidak mesti bersifat personal-individual, tetapi dapat diwakili secara kolektif dan sistem. Namun pikiran tajdid atau pembaruan mesti bersemi dalam diri pimpinan, karena para pimpinan itu yang bertanggungjawab atas kepemimpinannya.
“Maju mundurnya Islam dan umat Islam, termasuk Muhammadiyah, sangat tergantung kepada para pimpinannya sebagai aktor utama kemajuan,” tegasnya.
Dalam pidato bersejarah berjudul “Tali Pengikat Hidup” tahun 1921, lanjutnya, Kyai Ahmad Dahlan mengingatkan tentang luruhnya cahaya agama.
“Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram,
padahal yang suram bukan agamanya, akan tetapi manusianya yang memakai agama,” ungkapnya.
Agama, lanjutnya, menurut pendiri Muhammadiyah itu harus dijadikan rujukan sekaligus dihadirkan untuk menghadapi perubahan zaman. “Kiai bertutur ‘Awit miturut paugeraning agama kito Islam sarta cocok kaliyan pikajenganipun jaman kemajengan’.” ujarnya mengutip Suara Muhammadiyah No. 2, 1915.
“Muhammadiyah mampu bertahan melintasi ruang dan waktu, karena mengikuti kaidah agama Islam, serta sesuai dengan harapan zaman kemajuan,” paparnya.
Oleh karena itu, pesannya, khusus bagi para pimpinan Muhammadiyah, Kyai mengingatkan agar menjadi “pemimpin kemajuan Islam”. Para pemimpin Islam Berkemajuan di tengah dinamika zaman saat ini dan ke depan mesti hadir dengan jiwa mujadid dalam perspektif dunia besar, yang bebas dari sankar-besi dunia kecil.
“Risalah pencerahan dan pandangan Islam berkemajuan harus menjadi jiwa, alam pikiran, sikap, dan orientasi tindakan para pimpinan Muhammadiyah jika Gerakan Islam ini ingin bertahan sampai jauh ke depan,” tuturnya. (*)
Penulis Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.