Anies Merawat Cinta Sepenuh Hati, kolom ditulis oleh: Ady Amar, pengamat masalah-masalah sosial.
PWMU.CO – Tidak tahu persis suasana kebatinan macam apa yang dibawa Anies Baswedan, saat akan menjumpai sahabatnya, Habib Rizieq Shihab (HRS), yang sudah tiga setengah tahunan tidak dijumpainya.
Itu terjadi pada tanggal 10 November 2020, malam hari, di rumah HRS, Jalan Petamburan III. Pada foto yang beredar mereka tampak duduk di karpet bercakap-cakap layaknya sahabat yang tengah melepas rindu.
Tampak juga Ustad Tengku Zulkarnain, Wakil Sekjen MUI, yang malam itu juga bersama mereka. Ada seorang lagi yang ikut bersama mereka, jika tidak salah menantu HRS.
Awalnya Pak Anies akan menjumpai HRS keesokan harinya, rencana pagi-pagi sekali di tanggal 11 nya, tapi akhirnya diputuskan malam hari saja. Pertimbangannya menurut dia, jika dilakukan pagi harinya maka pastilah akan banyak jamaah lain yang juga menemui HRS.
Tidak tahu persis apakah pertemuan itu diawali dengan peluk cium keduanya, khas seorang sahabat yang lama tidak jumpa. Atau hanya jabat tangan, atau bahkan hanya sentuhan genggaman tangan saja, karena pandemi. Tidak ada yang tahu bagaimana suasana awal perjumpaan mereka itu. Foto yang beredar, satu-satunya hanyalah foto mereka duduk berempat.
Jika perjumpaan mereka diawali, sebagaimana Ustad Abdul Shomad saat jumpa dengan HRS di Mega Mendung, Bogor, yang berpelukan erat, seperti pelukan yang rasanya tak mau dilepas, maka pemberitaan pertemuan Anies dan HRS akan lebih ramai lagi.
Akan lebih ditarik ke sana ke mari, digoreng saban hari sampai gosong. Ada bahan bagi para buzzerRp untuk ngerjai Anies sebagai gubernur yang tidak cuma bisa buat peraturan, tapi juga melanggarnya.
Melanggar karena menemui orang yang baru dari luar negeri, dan apalagi orang itu berhimpitan dengan banyak orang saat menjemputnya. Tapi foto pertemuan Anies-HRS tidak banyak memberi kesempatan itu, meski masih juga banyak yang berkomentar miring.
Sadar Akan Jadi Berita
Anies Baswedan itu pribadi yang terbiasa berpikir sebelum bertindak. Tidak grusa grusu. Ia memikirkan masak-masak sebelum melangkah. Ia mengukur efektivitas langkahnya itu dengan ukuran yang tepat.
Tidak banyak pemimpin model Anies ini. Bahkan banyak yang sebaliknya, bertindak tanpa berpikir matang. Eksekusi dulu, soal hasil belakangan. Hasilnya pun tidak pernah lalu dievaluasi.
Disamping itu, Pak Anies sadar betul bahwa langkahnya akan terus di bidik, seolah mata tanpa berkedip. Ia diawasi dengan pengawasan ekstra, dan lumatlah jika sampai melakukan kesalahan, apalagi kesalahan prinsip.
Pak Anies itu seperti orang yang berjalan dengan di sana-sini ada tumpukan api menyala, sehingga ia mesti awas dan lalu melompat berjungkitan menghindarinya. Lebih ekstra hati-hati lagi, meski kepribadiannya memang penuh kehati-hatian.
Maka, kedatangannya menemui sahabat yang dirindu, itu disadarinya sepenuh hati. Disadarinya bahwa pemberitaannya akan lebih seru bahkan dari pemberitaan pertemuan Presiden Jokowi dengan Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS.
Dan memang benar, lalu pemberitaannya jadi seru. Misal, menyayangkan kenapa Anies tidak mencontohkan hal yang baik di tengah negara masih berperang melawan Covid-19. Akan banyak lagi yang lalu seolah mendapat amunisi untuk menghajar Pak Anies rame-rame.
Tentu Pak Anies sadar betul akan konsekuensi yang didapat. Baik jika ia menunda untuk bertemu sahabat atau menyegerakannya. Semua punya hitungan-hitungannya sendiri, punya plus-minusnya.
Pak Anies tahu betul itu, dan muaranya akan ke mana. Tentu ia pun sudah memikirkan kesiapan untuk itu. Sebab sahabat yang akan didatanginya dianggap memiliki bobot politik sebagai oposan nomor wahid. Pastilah risiko besar yang akan dihadapinya.
Ternyata benar, pertemuan dengan sahabat itu merupakan pintu masuk untuk mempermasalahkan hal-hal lainnya, dan lalu peristiwa klarifikasi politis pemanggilannya sekitar 9 jam di Polda Jaya.
Tentu tidak akan berhenti di situ saja, bisa jadi perlakuan-perlakuan yang akan diterima Pak Anies akan berlanjut bahkan sampai pada hal absurd tidak sewajarnya.
Pak Anies pun pastilah menyadari, jika ia tidak lalu menemui sahabatnya sesegera mungkin maka risiko psikologis yang akan didapat. Mustahil seorang sahabat yang ikut urun bagian dari yang bekerja keras memenangkannya dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta, lalu harus tidak ditemuinya sesegera mungkin. Meski ia akan menemui masalah-masalah politis yang akan ditarik ke sana ke mari.
Maka malam itu Pak Anies lebih memilih menemui sahabatnya, berbicara lebih kurang satu jam. Lalu meminta pada HRS untuk sebaiknya beristirahat dulu karena pastinya amat lelah.
Ada yang menarik setelah Pak Anies akan mengakhiri silaturahim kerinduannya itu, sebagaimana yang diceritakan Ustad Tengku Zulkarnaen.
Menurut Ustad Tengku, yang menyampaikan dengan rasa takjubnya, melihat perangai Pak Anies yang santun, antara cinta dan tanggung jawab, tapi setengah memaksa bahwa besok pagi ia akan mengirim tenaga medis untuk men-swab HRS sekeluarga.
HRS menyatakan dengan setengah menolaknya, bahwa sebelum balik dari Mekkah, ia sekeluarga sudah melakukan tes swab itu. Pak Anies tetap menyatakan, bahwa ia akan mengirim tenaga medis itu, karena HRS sudah bersentuhan dengan banyak orang. HRS atas desakan Pak Anies itu, hanya diam tidak menjawabnya.
Tidak banyak yang bisa membidik pertarungan kebatinan Pak Anies antara psikologis vs politis. Dan psikologis untuk menemui sahabat sesegera mungkin menjadi pilihannya. Meski dampaknya akan terus bererotan tanpa tahu kesudahan ending politisnya.
Pak Anies punya hitungan-hitungannya sendiri, tentu jauh dari sikap pragmatis melihat sesuatu lalu harus dengan membuang sesuatu lainnya.
Wallahu a’lam. (*)
Anies Merawat Cinta Sepenuh Hati: Editor Mohammad Nurfatoni.