Tentara Santri: Panglima Besar Jenderal Soedirman, ditulis oleh M. Anwar Djaelani, peminat sejarah dan aktif menulis sejak 1998.
PWMU.CO – Pada diri Soedirman setidaknya ada tiga citra: Pertama, sebagai aktivis Muhammadiyah. Kedua, sebagai tokoh Islam. Ketiga, sebagai tokoh militer. Atas ketiga citra yang melekat pada dirinya itu, boleh kiranya jika kita sebut Soedirman itu sebagai “Jenderal Alim”, “Panglima Santri”, atau “Pemimpin Shalih”.
Sekilas Performa
Soedirman lahir di Purbalingga Jawa Tengah pada 24 Januari 1916. Dia berasal dari kalangan rakyat biasa. Dia bersahaja dan jujur. Hanya saja, yang menarik, Soedirman tumbuh dalam lingkungan yang sangat memerhatikan pendidikan agama.
Semasa bersekolah, Soedirman termasuk murid yang rajin dan berpikiran maju. Dia menyukai pelajaran Bahasa Inggris, Ilmu Tata Negara, Sejarah Dunia, Sejarah Kebangsaan, dan Agama Islam.
Ketekunannya dalam memelajari agama Islam dikenal banyak orang, terutama oleh teman-temannya. Hal itulah yang membuat dirinya dijuluki “Haji” oleh orang-orang di sekitarnya.
Semangat belajar Soedirman memang tinggi. Dalam belajar agama, dia santri atau jamaah yang aktif dalam pengajian malam Selasa yang diselenggarakan PP Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta.
Sisi menarik, sesibuk apapun, di rumah Sudirman rajin membantu berbagai pekerjaan “rumahan” seperti mengisi bak kamar mandi dan menyapu. Dia sangat taat pada orangtua. Hal lain, dia suka olahraga dan dikenal cakap di cabang sepakbola
Aktivis Dakwah
Semasa sekolah, Soedirman aktif di kegiatan Muhammadiyah dan kepanduan. Awal, dia menjadi anggota Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Kemudian menjadi anggota kepanduan Hizbul Wathan (HW) Muhammadiyah.
Bakat dan jiwa kepejuangan Soedirman terlihat sejak dari kepanduan HW. Juga, peningkatan kemampuan fisik dan penggemblengan mental kemiliterannya ditempa melalui organisasi berbasis dakwah ini. Di HW, Soedirman tak hanya sebagai anggota tapi kemudian menjadi ketua.
Di kalangan HW, pengaruh Soedirman sangat besar sehingga dia diangkat sebagai pimpinan. Meski pendiam, dia tegas. Dia selalu berpegang kepada kebenaran. Dia dapat mengayomi kawan-kawannya.
Di HW, di samping memberikan latihan teknik kepanduan seperti pada umumnya, Soedirman juga memberikan pelajaran agama Islam kepada anggotanya.
Lebih dari itu, semangat dan kebanggaan para anak buahnya selalu dipertinggi dengan sering menampilkan mereka di berbagai acara. Salah satunya, pernah tampil di Muktamar Muhammadiyah.
Keberhasilan Soedirman memimpin HW tidak hanya di skala lokal, Cilacap. Di tingkat wilayah dan nasional, ada juga jejak prestasi Sudirman. Misal, di Muktamar Ke-29 Muhammadiyah pada 1939 di Yogyakarta, dia mengusulkan agar pandu HW mengenakan celana panjang. Alasan Soedirman, agar saat waktu shalat tiba mereka tidak perlu sulit mencari sarung tapi langsung bisa mengerjakannya. Usulan argumentatif itu diterima forum.
Soedirman memiliki semangat berdakwah yang tinggi. Saat berdakwah, dia lebih banyak menekankan ajaran tauhid. Berikutnya, Soedirman menekankan kesadaran beragama dan kesadaran berbangsa.
Urutan berpikirnya, bahwa dengan membenahi tauhid maka akan timbul dengan sendirinya semangat jihad untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Memang, kapanpun, pekerjaan membenahi tauhid harus selalu didahulukan. Terlebih ketika itu masyarakat masih sangat kental dipengaruhi adat-istiadat yang tak sejalan dengan nilai tauhid.
Di soal jihad, ada beberapa ayat al-Quran yang sering dikutip Soedirman. Di antaranya adalah as-Shaf 10-11, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih, (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di Jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Juga, al-Baqarah 154 yang artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Makna “hidup” di ayat itu, yaitu hidup dalam alam yang lain yang bukan alam kita ini. Di situ, mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah. Selebihnya, tentang makna “hidup” ini, hanya Allah sajalah yang mengetahuinya.
Dalam pergerakan menegakkan kemerdekaan, diniatkan oleh Soedirman bahwa hal itu sebagai bagian dari pelaksanaan jihad fi-sabilillah. Dia tanamkan kepada para anak-buahnya, bahwa jika mereka gugur dalam perang maka itu tidaklah mati sia-sia melainkan gugur sebagai syuhada.
Soedirman berusaha meneladani seluruh kehidupan Rasulullah SAW. Terasakan oleh lingkungannya, bahwa dia sebagai pribadi terlihat sederhana, suka kebersihan, memelihara kebersamaan, dan punya siasat tangguh dalam melawan musuh.
Pemimpin Militer
Soedirman dikenal tabah dan teguh dalam bersikap. Pernah, misalnya, pada 1935 HW Banyumas mengadakan jambore di Dieng, Jawa Tengah. Kala itu, kawan-kawan Soedirman banyak yang meninggalkan kemah pindah ke rumah-rumah penduduk karena tidak tahan udara dingin. Berbeda dengan Soedirman, dia tetap bertahan. Alasan dia, sebagai latihan untuk menguatkan diri apabila mengalami keadaan yang lebih dingin.
Semua perjalanan hidup Soedirman sangat berpengaruh positif ketika dia menjadi pemimpin tertinggi tentara. Di antara pengalaman hidup itu termasuk pernah menjadi guru di sekolah Muhammadiyah di Cilacap dan pernah juga menjadi kepala sekolah Muhammadiyah.
Mengawali karir militernya sebagai seorang dai muda yang giat berdakwah di era 1936 sampai 1942 di daerah Cilacap dan Banyumas, hingga pada masa itu Soedirman adalah dai masyhur yang dicintai masyarakat (Fadli Rachman, Sabili 2003: 64).
Perhatikan sekali lagi, Soedirman adalah dai masyhur.
Di antara tema yang sering disampaikan Suoeirman adalah tentang jihad. Terkait ini, doktrin paling menonjol yang dipegangnya adalah “amar makruf nahi mungkar”.
Pemahaman Soedirman itu tak lepas dari aktivitasnya di Muhammadiyah yang spirit gerakannya adalah “amar makruf nahi mungkar” (memerintahkan berbuat baik dan mencegah berbuat kerusakan). Spirit itu beririsan dengan ruh jihad.
Dalam dakwahnya, terutama di internal kepanduan HW, yang sering disampaikan Soedirman kepada anak buahnya adalah ungkapan “Hidup mulia atau mati syahid” (Nadjamuddin Ramly dan Hery Sucipto, 2010: 231).
Perang gerilya yang Soedirman lakukan tak luput dari usahanya dalam mencontoh Rasulullah SAW. Sewaktu berada di Desa Karang Nongko, setelah sebelumnya menetap di Desa Sukarame, Panglima Besar Soedirman memiliki “kalkulasi”. Dia menilai desa tersebut tidak aman bagi keselamatan pasukannya.
Soedirman lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan desa dengan taktik penyamaran. Ini diilhami atas apa yang dilakukan Rasulullah SAW beserta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Setelah shalat Subuh, Soedirman dengan beberapa pengawal pergi menuju hutan. Mantel yang biasa dipakai olehnya ditinggal dalam rumah di desa itu termasuk beberapa anggota rombongan, yaitu Supardjo Rustam dan Heru Kesser.
Pagi harinya, Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Supardjo Rustam berjalan menuju arah selatan. Sampai pada sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati pergi menyusul Soedirman.
Sore harinya, pasukan Belanda dengan pesawat pemburunya membombardir rumah yang sempat disinggahi Supardjo Rustam dan Heru Kesser itu. Hal ini membuktikan, betapa Soedirman sangat menguasai taktik dan sejarah perjuangan dalam Islam
Sang Teladan
Bangsa Indonesia beruntung dan harus bersyukur pernah memiliki putra terbaik. Soedirman adalah Bapak Tentara Indonesia yang shalih. Dia salah satu tokoh besar.
Soedirman wafat pada 29 Januari 1950 di Magelang. Umurnya relatif pendek, hanya 34 tahun. Tapi, jasa-jasanya kepada agama dan bangsa sungguh sangat panjang.
Untuk itu, pertama, atas jasa-jasanya maka sangat pantas jika pada 1997 pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Jenderal Besar.
Kedua, atas jasa-jasanya, nama Soedirman lalu diabadikan sebagai nama sebuah perguruan tinggi negeri di Purwokerto.
Ketiga, atas jasa-jasanya maka patut jika nama Soedirman kemudian diabadikan menjadi nama ruas-ruas jalan utama di hampir seluruh kota di Indonesia.
Tentu, atas setidaknya tiga catatan di atas, hal yang demikian itu bertujuan agar Soedirman selalu diingat dan diteladani. Bahwa, Soedirman—salah satu tokoh Muhammadiyah—adalah seorang jenderal yang santri. Bahwa, Soediman adalah pemimpin shalih yang berhasil. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.
Artikel Tentara Santri: Panglima Besar Jenderal Soedirman ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 11 Tahun ke-XXV, 20 November 2020/4 Rabiul Akhir 1442.