PWMU.CO– Problematika Pancasila sebagai dasar negara selama ini, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menggambarkan seperti tiga macam bentuk pernikahan.
Pertama, ada kelompok warga negara yang menganggap Pancasila sebagai tanggung jawab besar akad mitsaqan ghalida sehingga berusaha sekuat mungkin menerjemahkan dalam aksi nyata membangun negara dan bangsa. ”Muhammadiyah ada di posisi ini,” kata Haedar Nashir ketika menjadi pembicara di Musyawarah Kerja V Partai Keadilan Sosial (PKS) secara online, Rabu (25/11/2020) seperti ditulis muhammadiyah.or.id.
”Indonesia kita sebut sebagai negara Pancasila agar kita punya value yang mendasar dan tidak asal-asalan. Sebagai tempat kita berkomitmen dan kita tidak boleh keluar karena sifatnya sudah akad yang kokoh. Tetapi tidak cukup dengan akad dan komitmen normatif itu. Harus kita isi agar menjadi negara yang berdaulat, bersatu, adil dan makmur seperti yang dicita-citakan bukan hanya di atas kertas,” jelas Haedar Nashir.
Kedua, Haedar mengandaikan ada kelompok yang menganggap Pancasila sebagaimana kawin paksa sehingga ikatannya tidak kokoh. Untuk kelompok ini, negara harus merangkulnya lebih erat.
Sedangkan yang ketiga, sambung Haedar, ada kelompok yang menganggap tidak ada ikatan secara ideologis atau batin dengan Pancasila sehingga Pancasila hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi cita-cita sempit diri dan kelompoknya sendiri.
”Karena itu kita harus kembalikan ke mitsaqan ghalida. Pertama, semua harus punya visi yang sama bahwa Pancasila adalah titik tengah, tempat semua pihak bertemu. Jangan ditarik-tarik ke kanan (agama) atau ke kiri (sekuler). Sekali ada yang menarik, maka akan ada problem,” tandas Haedar yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Mengaku Pancasilais
Dengan pemikiran ini, Haedar menganjurkan agar seluruh kekuatan dan institusi politik negara baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mengamalkan Pancasila 18 Agustus 1945 secara konsekuen. ”Bukan hanya dalam komitmen, tapi juga dalam berbagai kebijakan. Jangan bikin kebijakan-kebijakan yang justru bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai luhur Pancasila,” tegasnya mengurai problematika Pancasila.
Selain negara, warga bangsa terutama para tokoh masyarakat, menurut Haedar, juga wajib memberikan keteladanan yang memancarkan nilai luhur Pancasila sebagai budaya kolektif.
”Ada banyak orang mengaku paling Pancasilais, tapi apakah perilakunya mencerminkan Pancasila? Dimulai dari keteladanan. Tokoh agama harus paling depan, karena dia membawa nilai yang paling sakral: membawa Tuhan, nabi dan kitab suci. Sekali tidak sejalan kata dan tindakan, maka luruhlah uswah hasanah itu,” tuturnya.
Dikatakan, Pancasila lahir sebagai konsensus bersama untuk menjadi rel pijakan dan acuan arah ke mana Indonesia sebagai sebuah negara dikelola dan berjalan. Tapi Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal tersebut.
Masih banyaknya problem keteladanan dari elit politik, produk hukum dan kebijakan publik yang tidak menjiwai Pancasila hingga problem integrasi komunitas beragama dengan Pancasila masih menjadi PR bersama. (*)
Editor Sugeng Purwanto