PWMU.CO – Sibuk Urus Kaos Kaki, Lupa Latih Ketrampilan Berpikir. Hal ini disampaikan Rosalina Awaina Risman, Ahad (6/12/20).
Dalam kegiatan Pengajian Ahad Malam yang mengangkat tema Thinking Skill dalam Pengasuhan Anak Era Milenial alumnius S1 Jurusan Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) mengatakan hendaknya tidak orangtua dan guru merasa malu untuk melatih thinking skill (ketrampilan berpikir).
“Para guru dan orangtua bisa melatih cara berpikir sehingga anak memiliki ketrampilan berpikir. Kemampuan ini sangat membantu mereka untuk bisa mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Dia menjelaskan berpikir dengan menggunakan ketrampilan berpikir tentu berbeda dengan yang tidak menggunakan ketrampilan. Berpikir tanpa ketrampilan bagaikan dokumen yang terserak di gudang. Jika dibutuhkan membongkar lebih dahulu. Sedangkan ketrampilan berpikir bagaikan dokumen yang ada di file yang sudah tertata.
Berharganya Otak Anugerah Allah
Wina, sapaan akrabnya, menyampaikan, berpikir itu sepertinya spontan saja. “Padahal, masyaallah otak kita merupakan anugerah Allah yang sangat berharga. Sayangnya belum banyak yang dapat mengoperasionalkannya,” jelas Wina yang pernah menjadi tutor Edukasi untuk Bangsa (EUB) Sekolah Indonesia di Kuala Lumpur.
Melatih Ketrampilan Berpikir Anak
Wina memaparkan untuk melatih ketrampilan berpikir anak balita, orangtua bisa melakukan melalui cerita karangan sendiri. Sedangkan anak TK yang lebih besar dengan cara cerita yang dikombinasi dengan pertanyaan terkait dengan isi cerita.
“Melatih thinking skill anak usia SD dengan banyak bertanya kepada mereka tentang lingkungannya,” ujarnya.
Adapun melatih thinking skill anak SMP/SMA dan yang sederajat, lanjutnya, dengan mengajak berdiskusi dengan mereka bukan dengan menghafal. Misalnya, sambungnya, sila Persatuan Indonesia dikaitkan dengan masalah Papua.
Dia berpesan pada guru dan orangtua dalam mengasuh anak dengan thinking skill. Pertama perbanyak bertanya. Jangan memberi masukan ataupun perintah. Kedua mengurangi kritikan. Ketiga, mengizinkan bermain warna. Keempat tidak memberikan tantangan berpikir yang tidak mungkin. Kelima belajar pendekatan berpikir.
Kelemahan Kurikulum di Indonesia
Dalam Pengajian Ahad Malam yang digagas Dr HM Amien Sulthon MM, Wina menyayangkan di perguruan tinggi Indonesia banyak jurusan tetapi belum ada satupun yang membuka Jurusan Teaching Thinking Skills.
“Padahal di mancanegara seperti Malaysia sudah ada. Bahkan di Singapura sudah jauh-jauh memiliki Center of Thinking Skills. Hal ini yang menyebabkan di negara ini banyak orang yang sudah berusia empat puluh tahun masih giat belajar untuk beradaptasi dengan perubahan zaman,” ungkapnya.
Dia juga mengkritik kelemahan kurikulum di Indonesia. Salah satunya tidak mengikuti cara natural otak bekerja, semua diseragamkan. Contohnya, secara natural otak menyukai semua warna tetapi dalam kenyataan setelah masuk SD hanya diperbolehkan warna biru dan hitam.
“Akhirnya buku catatan tidak menarik lagi. Mengapa anak tak boleh menulis warna ungu, oranye, merah, itukan catatannya sendiri dan warna-warni itu kesukaannya. Guru dan orangtua hendaklah melatih thinking skill,” tegas alumnus S2 bidang Teaching Thinking Skill International Islamic School Malaysia.
Menurutnya, sekolah tidak perlu sibuk dengan kaos kaki yang tidak menutupi mata kaki atau dasi, sementara lupa melatih ketrampilan berpikir. (*)
Penulis Hilman Sueb. Co-Editor Ichwan Arif. Editor Mohammad Nurfatoni.
Discussion about this post