Tahun Baru, Spirit Berubah oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo dan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung.
PWMU.CO-Awal tahun Masehi dihitung dari tahun kelahiran Nabi Isa atau Yesua Ha-Masiah. Namun perayaan tahun baru Masehi baru dimulai pada abad ke-13 pada masa Kekaisaran Gregorius, sebatas kalangan Katolik.
Sebab mayoritas orang Kristen saat itu beranggapan, tradisi peringatan 1 Januari adalah praktik kaum kafir warisan Roma. Orang-orang Protestan mengikuti tradisi perayaan 1 Januari baru pada abad ke-18. Lalu diikuti oleh hampir seluruh dunia. Di Indonesia, tren peringatan pergantian tahun dirayakan pasca kemerdekaan dan masuknya gelombang modernisasi pada masa Orde Baru.
Perayaan pergantian tahun lainnya yang tak kalah meriah adalah Tahun Baru Imlek. Perayaan tahun baru Imlek dimulai pada hari pertama bulan pertama Hanzi di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh pada tanggal ke-15 pada saat bulan purnama.
Malam tahun baru Imlek dikenal sebagai Chúxī yang berarti malam pergantian tahun. Peringatan Imlek biasa dilakukan dengan perjamuan makan malam dan penyulutan kembang api. Meskipun banyak versi dalam penetapan tahun baru Imlek, tetapi yang paling mashur adalah tanggal kelahiran kaisar Qin Shi Huang (210 SM).
Dia adalah kaisar pertama dari negara Qin, setelah mempersatukan Tiongkok dengan menaklukkan enam negara lainnya. Ia kemudian mendirikan dinasti Qin dan mengangkat diri menjadi kaisar dari Tiongkok bersatu.
Sebagian besar masyarakat Tionghoa di luar negeri dan penganut Taoisme lebih suka menggunakan penanggalan Huang karena dianggap sebagai bapak bangsa etnis Han atau orang Tionghoa pada umumnya. Para Taois menggunakan penanggalan Huang Di, karena dalam kepercayaan Taoisme, Kaisar Kuning ini adalah pembuka ajaran agama Tao.
Semangat Hijrah
Sementara dalam Islam, tahun baru ditetapkan berdasar peristiwa hijrah Nabi Muhmmad saw dari Makkah ke Madinah. Khalifah Umar bin Khattab yang menginisiasi penetapan kalender Hijiriyah dikarenakan banyaknya laporan zakat dari berbagai daerah tanpa penanda tahun sehingga membingungkan petugas bait al maal.
Umar kemudian mengumpulkan para sahabat untuk membahas masalah tersebut. Ada yang mengusulkan tanggal kelahiran nabi, tetapi ditolak oleh forum sahabat karena kelahiran seseorang bukanlah prestasi. Yang lain mengusulkan masa wafatnya nabi, usul ini juga ditolak karena kematian seseorang adalah akhir dari prestasinya di dunia.
Akhirnya disepakati peristiwa hijrah sebagai tonggak awal penghitungan setiap peristiwa dalam Islam, karena hijrah adalah peristiwa besar yang menentukan keberlangsungan Islam.
Dari beberapa sejarah penetapan tahun baru tersebut tampaknya ada beberapa kesamaan semangat, meskipun alasan penetapannya berbeda-beda. Tahun Masehi ditetapkan sebagai konsekuensi logis keyakinan beragama, sehingga kelahiran nabi panutan dijadikan penanda dalam hitungan kalender.
Sementara tahun baru Imlek meskipun ditetapkan juga berdasar tanggal kelahiran namun alasan penetapannya dinisbatkan pada tokoh yang mempersatukan Tiongkok menjadi imperium besar yang berjaya hingga kini.
Sedangkan tahun baru Hijriyah didasarkan pada peristiwa penting yang menentukan masa depan dakwah Islam yang terbukti mampu melintasi puluhan abad dalam membangun peradaban dunia.
Spirit Perubahan
Paling tidak ada beberapa catatan penting setiap kita melintasi penanda-penanda hari tersebut supaya kita tidak tenggelam dalam sekadar perayaan yang kehilangan makna dan hikmah di balik apa yang rutin diperingati. Peringatan tahun baru mestinya melahirkan kesadaran baru spirit perubahan dalam membangun peradaban dunia.
Pertama, membangun kesadaran bahwa merayakan tahun baru berarti terus memperbaharui spirit sebagaimana makna dan hikmah peringatan tersebut. Bagi umat Kristen maka cinta kasih mestinya menjadi spirit bagi pemeluknya dalam menjalankan kehidupan.
Warga Tionghoa mestinya memperoleh spirit persatuan dari Qin Shi Huang ketika memperingati Imlek. Begitu pula umat muslim memperoleh spirit hijrah dalam arti mampu berkorban harta, jiwa, tenaga, waktu dan pikiran dalam melakukan perubahan besar untuk memakmurkan dunia sebagai khalifatullah fil ard sebagaimana para sahabat yang rela meninggalkan semua yang dimiliki untuk mengikuti Rasulullah saw hijrah ke Madinah.
Kedua, kesadaran bahwa eksistensi manusia di dunia ini tidak didasarkan pada hal-hal yang bersifat personal, tetapi apa yang kita lakukan untuk peradaban dunia. Kita adalah apa yang kita lakukan, karena hidup adalah perbuatan.
Dari sini kelihatan alasan penetapan tahun baru Hijriyah lebih tegas menonjolkan aspek prestasi dibanding sekadar kelahiran. Meskipun sesungguhnya baik Masehi maupun Imlek juga merujuk pada apa yang melekat pada tokoh yang kelahirannya dijadikan penanda kalender tersebut.
Keberlangsungan Peradaban
Ketiga, kesadaran bahwa dalam penetapan tonggak-tonggak sejarah dalam kalender mencerminkan spirit keberlangsungan atau kontinuitas. Artinya apa yang dilakukan oleh para aktor yang diperingati tersebut mestinya terus menginspirasi manusia selama kalender tersebut dipakai dalam menentukan aktivitas kehidupan. Bagi seorang muslim maka spirit hijrah akan terus menyertai langkahnya baik terkait ibadah mahdhah maupun sosial karena kalender Hijriyahlah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, tidak penting bentuk peringatan yang kita lakukan untuk merayakan pergantian tahun. Yang lebih penting adalah spiritnya mampu menyadarkan kita bahwa penanda-penanda itu tidak hampa akan makna.
Penanda itu lahir dari peristiwa-peristiwa besar yang mengiringinya. Apa lagi masa pandemi covid 19 seperti yang tengah kita alami, sangat tidak bijak dan tidak mencerminkan spirit hikmah tahun baru jika dirayakan dengan melanggar protokol kesehatan yang membahayakan keberlangsungan umat manusia. (*)
Editor Sugeng Purwanto