Dua Arus Pemikiran di Muhammadiyah tulisan opini Nurbani Yusuf, pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu
PWMU.CO-Duta Besar Indonesia di Lebanon Hajriyanto Y. Thohari yang juga Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberi pernyataan menarik. ”Kader masa kini Muhammadiyah yang masuk ke arus utama negara sedang meneruskan warisan para tokoh besar Muhammadiyah. Muhammadiyah jangan jauh-jauh dari gelanggang penyelenggaraan negara. Dari awal berdirinya sampai awal kemerdekaan Indonesia, peran Muhammadiyah sangat besar dan penting.”
Saya merasakan betul kenapa pernyataan ini mengemuka. Jangan bilang pernyataan seperti ini tiba-tiba atau kebetulan. Dari awal sejarahnya dirancang moderat. Namun tetap kritis terhadap kebijakan yang yang dianggap kolot dan tak berpihak kepada rakyat.
Kisah KH Ahmad Dahlan konflik dengan hoofdpenghulu kraton KH Muhammad Khalil Kamaludiningrat adalah contoh sikap kritisnya terhadap cara pandang keagamaan para ulama dan pejabat.
Waktu KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah tidak bertujuan mengumpulkan massa lantas berteriak keras takbir kemudian menyerukan perang jihad dengan pemerintah Belanda. Tapi Kiai Dahlan ingin mencerdaskan bangsa dan mengajak rakyat memahami agama tauhid menurut al-Quran dan sunnah Nabi. Caranya dengan membuka majelis pengajian dan sekolah.
Saat mengurus beslit izin Muhammadiyah, Kiai Dahlan harus menggalang jaringan dengan tokoh-tokoh Budi Utomo untuk menguatkan lobi politik. Juga agar memudahkan keluarnya rekomendasi Sultan Yogyakarta harus membina hubungan baik bersama hoofdpenghulu kraton. Kiai Dahlan sendiri adalah Katib Amin penghulu kraton dan imam Masjid Gede. Jadi Kiai Dahlan adalah pejabat kraton.
Begitulah tradisi berpolitik yang dikembangkan Muhammadiyah yang diwariskan kepada para pemimpin dan warganya. Sejak awal berdiri, masa perjuangan kemerdekaan, hingga mengisi kemerdekaan. Tokoh seperti Mas Mansur bisa bekerja sama dengan politisi seperti Bung Karno dan Suwardi Soerjaningrat untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu juga dengan Ki Bagus Hadikusumo dengan pikiran kritisnya ikut menyusun dasar negara dan konstitusi.
Dua Pandangan
Dalam perkembangan politik hari ini, ada dua arus pemikiran kuat yang sedang berebut dominasi di persyarikatan. Pertama, ingin menempatkan Muhammadiyah head to head berhadapan dengan penguasa dengan dalih nahy munkar. Kedua, ingin tetap menempatkan sebagai mitra konstruktif sebagai kawan membangun negeri. Dua arus utama ini terus menguat dengan berbagai varian yang mengikuti.
Beberapa kader yang saat ini dipercaya duduk dalam penyelengaraan pemerintahan, dengan prinsip idealismenya memberikan gagasan dan kerja terbaiknya. Namun mereka tak lepas menjadi sasaran kritik. Dan jangan harap ada perlindungan apalagi pembelaan bila berbuat salah.
Warga Muhammadiyah tak bisa lepas dari pembelahan keberpihakan waktu Pilpres 2014 dan 2019. Sebelumnya lagi pembelahan keberpihakan pada Aksi 212. Jadi wajarlah kalau ada warga persyarikatan yang memandang saudaranya berdekatan dengan rezim adalah salah.
Karena itu dapatlah dipahami ketika Sekretaris Umum Abdul Mu’ti menolak jabatan wakil Mendikbud langsung diapresiasi tinggi sebagai sikap menjaga marwah Muhammadiyah. Sebaliknya saat Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Sunanto dan Ketua Umum IMM Najih Prastiyo menerima pengangkatan sebagai komisaris anak perusahaan BUMN mendapat celaan karena dinilai merendahkan organisasi.
Menyikapi situasi dua arus pemikiran seperti ini harus ada yang berani bicara keras tentang wasatiyah atau moderasi di tengah sengkarut opini dan sikap oposisi sebagian warga Muhammadiyah terhadap rezim. Saya salah satunya memberanikan diri meskipun menimbulkan salah pengertian dikira berpihak kepada rezim.
Saya bersama Komunitas Padhang Maksyar akan tetap istiqomah menyuarakan Muhammadiyah sebagai gerakan wasatiyah. Menghidupkan kembali ideologi Dahlaniyah yang bersumber dari surat al-Maun untuk melawan pendusta agama.
Membenturkan dengan Rezim
Pandangan kritis terhadap penguasa memang harus dijalankan agar pemerintah berada di jalan lurus dan adil. Sekali-kali unjuk gigi untuk mengukur kekuatan perlu dilakukan. Misalnya, Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menyikapi merger bank syariah BUMN dengan ancaman akan menarik semua uang Muhammadiyah menjadi cara berpolitik yang elegan.
Main politik ini harus terukur dan jelas goal-nya. Bukan asal beda. Apalagi kebablasam seperti orang yang bersuara kritis ingin membenturkan Muhammadiyah dengan rezim kemudian mengambil keuntungan politik darinya. Kelompok ini sukses meng-kapitalisasi opini bahwa Muhammadiyah anti rezim, demikian masif dan terstruktur.
Dikapitalisasi menjadi kekuatan suara dan tempatnya bersandar sehingga menjadi pandangan yang dianut dan dibenarkan sebagian warga persyarikatan dengan sadar atau tidak sadar. Akibat kapitalisasi opini ini maka di luaran berkembang opini bahwa Muhammadiyah menjadi rumah singgah gerakan radikal.
Tidak dipungkiri ada perubahan dan pergeseran pemikiran di sebagian warga persyarikatan yang terus berkembang dinamis. Saya tak punya kemampuan meramal masa depan Muhammadiyah lima atau seratus tahun yang akan datang. Apakah benturan pemikiran ini menjadikan Muhamamdiyah makin eksis memberikan sumbangan untuk negeri.
Kembali ke khittah perjuangan Muhammadiyah adalah pilihan paling rasional untuk merawat dan menjaga pikiran maju Kiai Dahlan sebagai ciri gerakan.
Muhammadiyah memilih strategi perjuangan dakwah non-politik praktis. Muhammadiyah menekankan pada pembinaan masyarakat. Muhammadiyah tetap istiqomah dalam mengemban fungsi dakwah dan tajdidnya sebagai gerakan Islam yang berkiprah dalam lapangan kemasyarakatan.
Khittah Denpasar 2002 dirumuskan bahwa peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis).
Kedua, melalui kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat memengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok kepentingan (interest groups).
Wallahu taala a’lam.
Editor Sugeng Purwanto