Menjawab Teka-teki dan Pro-Kontra Vaksin Covid-19, wawancara PWMU.CO dengan pengamat vaksin dan ahli mikrobiologi Universitas Indonesia Prof Maksum Radji M Biomed Apt.
PWMU.CO – Dunia masih dihadapkan pada wabah pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum bisa dikendalikan dengan baik. Bahkan dalam beberapa pekan terakhir pertambahan kasus baru penderita Covid-19 semakin tinggi dan mengkhawatirkan.
Berdasarkan data yang dilansir oleh situs https://www.worldometers.info/coronavirus/ angka kesakitan akibat wabah pandemi Covid-19 di seluruh dunia hingga tanggal 24 Januari 2021 telah mencapai lebih dari 99 juta orang, dan telah menyebabkan kematian lebih dari 2 juta orang.
Di Indonesia, dalam beberapa hari terakhir ini juga menunjukkan angka pertambahan kasus baru Covid-19 yang sangat tinggi. Pertambahan kasus baru setiap harinya mencapai rerata 13 ribu kasus baru, bahkan pernah mencapai lebih dari 14 ribu kasus positif.
Sampai dengan tanggal 24 Januari 2021, situs covid19.go.id mencatat sebanyak 977.474 kasus, dan jumlah yang meninggal 27.474 orang. Tingkat hunian rumah sakit juga sudah sangat tinggi. Pasien Covid-19 di Jabodetabek dan di beberapa daerah lainnya mengalami kesulitan untuk mendapatkan perawatan di rumah. Hal ini tentunya menjadi keprihatinan kita semua.
Di sisi lain, saat ini lebih dari 30 negara yang telah memulai program vaksinasi massal Covid-19 termasuk di Indonesia. Namun demikian, seberapa jauh program vaksinasi ini dapat diterima oleh masyarakat, mengingat masih adanya berbagai penolakan dari sekelompok masyarakat tertentu terhadap program vaksinasi yang telah dimulai oleh pemerintah Indonesia sejak tanggal 13 Januari 2021 yang lalu?
Berikut hasil wawancara daring Kontributor PWMU.CO Isrotul Sukma dengan Prof Maksum Radji M Biomed Apt yang juga Ketua Dewan Pembina Pondok Pesantren Babussalam Socah, Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Sabtu (23/1/2021).
Tantangan dan kendala Indonesia dalam menyukseskan program vaksinasi Covid-19?
Tantangan utama yang kita hadapi adalah bagaimana agar secepatnya wabah pandemi Covid-19 ini segera dapat diakhiri dengan baik. Upaya pemerintah Indonesia, melalui program pembatasan sosial berkala besar (PSBB), Pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), sosialisasi protokol kesehatan, dan upaya pencegahan lainnya, telah dilakukan oleh pemerintah.
Namun, peran masyarakat dalam mematuhi ajuran protokol kesehatan belum sepenuhnya dijalankan dengan baik. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk mempercepat upaya mengurangi angka kematian dan kesakitan akibat virus penyebab Covid-19 ini, WHO dan pemerintah Indonesia menjalankan program vaksinasi guna melindungi masyarakat dari penularan wabah Covid-19.
Tujuan vaksinasi Covid-19 dan kendalanya?
Tujuan utama program vaksinasi massal ini adalah untuk memutus mata rantai penularan virus penyebab Covid-19 di dunia termasuk di Indonesia.
Adapun kendalanya adalah pengadaan vaksin Covid-19, penyimpanan, distibusi, dan proses vaksinasinya itu sendiri. Jika jumlah penduduk Indonesia sekarang sejumlah 270,2 juta jiwa, maka vaksinasi ini harus bisa mencapai 70-80 perseen penduduk di Indonesia guna menghasilkan kekebalan komunitas atau herd immunity.
Program vaksinasi ini harus betul-betul dipersiapkan sedemikian rupa agar dapat diselesaikan dalam waktu yang tidak terlalu lama, sebagaimana yang telah direncanakan yaitu selama 1,5 tahun.
Kendala lain yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menyadarkan masyarakat akan pentingnya program vaksinasi serta menemukan cara bagaimana mengatasi dengan bijak dalam merespon adanya berbagai penolakan sebagian masyarakat terhadap program vaksinasi Covid-19 ini.
Untuk itu, peran tokoh masyarakat dan pemuka agama sangat diharapkan guna ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat agar program vaksinasi ini berjalan dengan baik. Peran pemuka agama dan ormas keagamaan sangat strategis dalam membantu menyukseskan vaksinasi Covid-19 ini. Karena mereka menjadi salah satu sumber informasi dipercaya oleh publik.
Penyebab penolakan terhadap vaksin Covid-19?
Sebetulnya penolakan terhadap vaksin ini sudah lama terjadi. Termasuk penolakan terhadap program vaksinasi utama, yang selama ini ditujukan pada bayi yang baru lahir, pada anak balita, dan bagi wanita pada usia subur. Bahkan berdasarkan berbagai informasi, penolakan ini juga sudah ada sejak era Hindia Belanda hingga Indonesia merdeka.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda, penduduk di kepulauan Nusantara pernah berhadapan dengan penyakit cacar dan kolera yang menyebar di Pulau Jawa.
Masyarakat yang saat itu belum begitu mengenal pengobatan modern dan adanya anggapan bahwa penyakit tertentu dikaitkan dengan adanya kutukan, maka upaya kesehatan modern termasuk program vaksinasi mendapatkan penolakan dari masyarakat saat itu.
Pada penyakit cacar, misalnya, vaksin yang tiba di Indonesia pada awal abad ke-19 pernah ditolak oleh sebagian masyarakat di Pulau Jawa karena dinilai sebagai jalan menolak takdir. Demikian juga yang terjadi manakala dilakukan sosialisai terhadap program vaksinasi masal dengan vaksin polio pada tahun 1980-an.
Dewasa ini sebenarnya sudah mulai terjadi pergeseran ke arah yang lebih rasional, walaupun masih ada penolakan terhadap vaksin.
Hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bersama Unicef dan WHO secara daring tentang Persepsi Masyarakat untuk Vaksin Covid-19 di Indonesia, yang melibatkan responden sebanyak 112.888, pada 9-30 September 2020 yang lalu, disebutkan bahwa secara nasional, 64,8 perseen masyarakat Indonesia dapat menerima vaksinasi Covid-19, sedangkan 7,6 persen menolak, dan 27,6 persen menyatakan tidak tahu.
Adapun alasan kelompok masyarakat Indonesia yang belum bisa menerima vaksinasi Covid-19 adalah: (1) tidak yakin akan keamanan vaksin sebanyak 30 presn, (2) tidak yakin akan efektivitasnya sebanyak 22 persen, (3) tidak percaya terhadap vaksin sebanyak 13 persen, (4) takut terhadap efek sampingnya, seperti demam dan nyeri sebanyak 12 persen, (5) alasan kepercayaan agama sebanyak 8 persen dan (6) alasan lainnya sebanyak 15persen.
Sedangkan hasil survei Badan Litbang Kementerian Agama (Kemenag) yang melakukan survei secara daring terhadap 2.610 responden di 34 provinsi pada 22-30 Desember 2020, dengan metode accidental sampling yang non-probabilitas, menunjukkan bahwa agama bukanlah faktor utama dalam penolakan terhadap program vaksinasi Covid-19.
Hasil survei menunjukkan bahwa responden umumnya (54,37 peresn) siap divaksin Covid-19, namun ada juga yang menolak (9,39 persen), dan memilih belum memutusan (36,25 persen). Alasan mereka yang menolak vaksin ini cukup beragam. Umumnya mereka masih ragu atas keamanan vaksin, dan masih ragu dengan kehalalannya. Alasan lainnya adalah responden khawatir dengan efek samping yang ditimbulkan vaksin Covid-19, serta ragu akan efektivitasnya.
Teka-teki mengapa vaksin Covid-19 begitu cepat dikembangkan?
Wabah pandemi Covid-19 yang begitu cepat melanda dunia dalam setahun terakhir ini, telah memacu pengembangan teknologi pembuatan vaksin, yang selama ini teknologinya telah dikuasai oleh para peneliti di berbagai negara.
Kerja sama peneliti lintas negara inilah, memungkinkan percepatan penemuan dan pengembangan vaksin Covid-19. Kemajuan teknologi bioinformatika, dan tersedianya mega data dalam bidang biosciences dan bioteknologi yang sudah jauh lebih maju daripada masa sebelumnya, dan juga karena dunia serentak fokus mengembangkan vaksin Covid-19, memungkinkan dikembangkannya berbagai platform jenis vaksin Covid-19.
Menurut berbagai informasi hasil penelitian, pada akhir Desember 2020, sudah ada sekitar 60 kandidat vaksin yang telah memasuki tahap uji klinik dan 172 kandidat vaksin yang masih dalam tahap uji pra-klinik.
Adapun platform jenis vaksin yang telah dikembangkan antara lain adalah: (1) Inactivated vaccine, Sinovac, dan Sinopharm. (2) Ribo Nucleic Acid, Moderna dan Pfizer-BionTech, (3) Non Replicating Viral Vector, AstraZeneca dan (4) Protein Subunit, Novavax.
Walaupun berbagai jenis vaksin tersebut dikembangkan dengan cepat, namun semua tahapan prosedur pengembangan vaksin-vaksin ini tetap dilalui sebagaimana kaidah-kaidah penemuan obat dan vaksin yang baik, dimana faktor keamanan, dan efektifitasnya tetap menjadi perhatian utama.
Bagaimana dengan anggapan vaksin Covid-19 dapat mengubah susunan DNA manusia?
Ini merupakan salah satu info yang dapat dikatagorikan sebagai infodemik. Infodemik ini berbahaya karena dapat menjadi info yang menyesatkan. Info-info yang semacam ini perlu diluruskan, agar jangan sampai menimbulkan pemahaman yang keliru di masyarakat.
Salah satu platform vaksin Covid-19 yang berbasiskan asam nukleat, yaitu messenger RNA (mRNA) adalah vaksin Covid-19 buatan Moderna dan Pfizer-BionTech, yang juga merupakan salah satu jenis vaksin yang akan digunakan di Indonesia.
Vaksin mRNA untuk COVID-19 mengandung mRNA (messenger RNA), yang merupakan materi genetik spesifik yang mengkode pembuatan protein S (spike). Di dalam tubuh, mRNA memasuki sitoplasma sel manusia dan memerintahkan mereka untuk menghasilkan protein S (spike) yaitu protein yang menyerupai protein yang berada di permukaan virus Covid-19.
Setelah sel membuat protein S (spike), sel tersebut mendegradasi mRNA menjadi bagian yang tidak berbahaya. mRNA ini tidak bisa memasuki inti sel manusia, yang merupakan tempat materi genetik (DNA). Sehingga dengan demikian tidak mungkin vaksin yang mengandung mRNA ini dapat terintegrasi dengan DNA untuk mengubah DNA manusia.
Setelah vaksin mRNA akan memproduksi satu komponen virus SARS-CoV-2. Yaitu protein S (spike) yang ada di permukaan virus, sistem kekebalan tubuh mengenali protein spike ini sebagai antigen dan sel kekebalan tubuh akan membentuk antibodi untuk melawannya.
Jika nanti ada virus yang sebenarnya masuk ke dalam tubuh manusia, maka antibodi yang telah dibentuk oleh tubuh ini dapat mengenali virus penyebab Covid-19, maka antibodi ini siap mengikatnya dan menghalangi virus masuk ke dalam sel, sehingga virus tersebut tidak dapat menyebabkan penyakit.
Adapun terkait isu adanya microchip dalam vaksin Covid-19, dan kode atau barcode juga telah dibantah. Tidak mungkin dapat memasukkan suatu microchip ke dalam tubuh seseorang melalui jarum suntik.
Saat ini banyak platform vaksin Covid-19 yang telah melalui tahap akhir uji klnik di seluruh dunia, termasuk vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh AstraZeneca, Moderna, dan Pfizer-BionTech.
Namun tidak ada satupun publlikasi ilmiah yang menyebutkan tentang adanya penyertaan microchip dalam vaksin Covid-19 yang telah disetujui izin edarnya.
Sedangkan, barcode adalah semata-mata dibuat untuk pelacakan distribusi vaksin, dan sama sekali tidak dapat difungsikan untuk melacak keberadaan orang yang telah divaksin.
Bagaimana dengan aspek kehalalan vaksin Covid-19?
Aspek halal ini menjadi salah satu alasan bahwa vaksin tidak dapat diterima, khususnya bagi umat Islam.
Menurut Dr Oni Sahroni, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, tentang pandangan fikih vaksin Covid-19, sebagaimana yang dirilis pada laman Republika, Selasa 19 Januari 2021, vaksin Sinovac telah dinyatakan halal dan suci. Hal ini berdasarkan hasil kajian dan telaah MUI tentang vaksin Sinovac tersebut sebagai berikut.
Pertama, tidak memanfaatkan babi atau bahan yang tercemar babi dan turunannya serta tidak memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia dan menggunakan fasilitas produksi yang suci dan hanya digunakan untuk produk vaksin Covid-19.
Kedua, proses pengembangbiakan virus untuk vaksin Covid-19 tersebut dilakukan dari sel ginjal kera hijau Afrika.
Ketiga, media yang disediakan untuk pengembangbiakannya adalah plasma. Disimpulkan, plasma tersebut tidak dikategorikan najis karena bukan darah. Namun, ada unsur najis dalam proses pengembangbiakkannya, yaitu sel ginjal kera hijau Afrika.
Selanjutnya, sel itu dibersihkan dengan air murni (water for injection) sebanyak 1.076 liter untuk membersihkan najis tersebut. Berdasarkan proses tersebut dan lainnya, komisi fatwa dan LPPOM MUI berkesimpulan vaksin ini halal dan suci
Dengan demikian setelah melalui proses uji klinis dan penilaian oleh Badan POM dan MUI, maka vaksin Sinovac sudah dinyatakan aman, efektif, suci, dan halal.
Imbauan selama proses vaksinasi di Indonesia?
Program vaksinasi Covid-19 ini merupakan salah satu ikhtiar dan harapan untuk memutus mata rantai penyebaran virus penyebab Covid-19. Meskipun pada dasarnya vaksin tidak akan serta-merta dapat menghentikan pandemi, tanpa dukungan kita semua.
Kekebalan komunitas (herd immunity) yang dapat melindungi semua masyarakat itu, baru kita dapatkan jika sebagian besar penduduk (sekitar 182 juta penduduk dari 270 juta penduduk) Indonesia telah mendapatkan vaksin. Untuk merealisasikan semua ini dibutuhkan kerjasama dan dukungan semua pihak, termasuk para pemuka agama dan masyarakat luas guna mensukseskan program vaksinasi masal Covid-19.
Oleh sebab itu, dengan seraya berdoa untuk mendapat perlindungan dari dari Allah Ta’ala, marilah kita tetap untuk selalu menjaga pola hidup bersih dan sehat, menerapkan 5 M (mencuci tangan dengan sabun, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobiltas), serta meningkatkan imunitas kita melalui program vaksinasi, agar kita terhindar dari infeksi virus penyebab Covid-19.
Di dalam Islam, juga terdapat tuntunan untuk berobat dan mencegah risiko dari paparan penyakit, termasuk Covid-19, agar kondisi tubuh dan imunitas tubuh kita tetap terpelihara dengan baik, sehingga kita dapat menunaikan kewajiban kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita semua dari wabah Covid-19 ini dan wabah penyakit menular lainnya. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni.