AM Fatwa Dihukum 18 Tahun karena Lembaran Putih Tanjung Priok mengutip buku Dari Panggung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan Peristiwa karya Lukman Hakiem, yang ditebitkan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. Dilengkapi sumber lain.
PWMU.CO – Pada 12 September 1984 pecah peristiwa berdarah di Tanjung Priok, ketika demonstrasi rakyat dihadapi dengan peluru tajam. Korban jatuh tidak terhindarkan. Pemerintah dengan cepat mengumumkan korban meninggal dunia hanya sembilan orang.
Publik tidak sepenuhnya percaya kepada keterangan pemerintah yang disampaikan oleh Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani itu. Akan tetapi hanya kelompok Petisi 50 yang berani bersuara.
Mengutip wikipedia.org Petisi 50 adalah sebuah dokumen yang isinya memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya.
Petisi ini diterbitkan pada 5 Mei 1980 di Jakarta sebagai sebuah ‘Ungkapan Keprihatinan’ dan ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia.
Di dalamnya ada mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, mantan gubernur Jakarta Ali Sadikin. Juga mantan Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dan Mohamamd Natsir. Dan AM Fatwa termasuk ‘anggota’ Petisi 50 yang aktif menggalang tanda tangan.
Lahirnya Lembaran Putih
Lukman Hakiem menulis, tidak lama sesudah tragedi berdarah di Tanjung Priok itu, Petisi 50 membentuk Panitia Kecil. Tujuannya mengumpulkan bahan di sekitar Tanjung Priok dan merumuskan sikap atas kejadian tersebut.
Panitia Kecil Petisi 50 itu diketuai oleh Letnan Jenderal HR Dharsono (non-Petisi 50), dengan Andi Mappetahang Fatwa alias AM Fatwa sebagai sekretaris, dan tiga anggota: Sjafruddin Prawiranegara, Slamet Bratanata, dan Anwar Harjono.
Selain lima orang itu, Letnan Jenderal Marinir (Purn) H Ali Sadikin dan Marsekal Pertama (Purn) Suyitno Sukardi selalu ikut dalam rapat-rapat panitia kecil.
Rapat panitia kecil sering diselenggarakan di rumah AM Fatwa di bilangan Kramat Pulo Gundul, Jakarta Pusat. Di sebuah ruangan yang kelak diberi nama Perpustakaan Ayah Ton—merujuk kepada nama panggilan HR Dharsono.
Pada 17 September 1984, keluarlah “Lembaran Putih Peristiwa September 1984 di Tanjung Priok” yang ditandatangani oleh 22 orang.
Selain tujuh orang Panitia Kecil, para penandatangan Lembaran Putih antara lian Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso, Boerhanoeddin Harahap, Wachdiat Sukardi, HM Sanusi, Bakri Tianlean, dan M Radjab Ranggasoli.
Lembaran Putih berpendapat bahwa kejadian yang berlangsung di Tanjung Priok sejak tanggal 8 hingga 12 September 1984 sudah diakui sebagai musibah. “Tetapi musibah di dalam musibah adalah keberpihakan keterangan yang disiarkan oleh yang berwajib,” tulisnya.
Dokumen itu mengusulkan, demi keadilan bagi semua pihak, termasuk bagi pemerintah sendiri, sebaiknya dibentuk suatu komisi yang bebas (independen) untuk mengumpulkan keterangan yang jujur mengenai kejadian September 1984 di Tanjung Priok.
Laporan komisi itu harus diumumkan kepada khalayak umum, “Supaya kita semuanya dapat menarik pelajaran daripadanya.”
Tiga Penandatangan Ditangkap
Alih-alih menerima usul simpatik Lembaran Putih, pemerintah malah menangkap tiga penandatangan Lembaran Putih: mantan Pangdam Siliwangi, Letnan Jenderal TNI (Purn) HR Dharsono, mantan Menteri Perindustrian, Tekstil, dan Kerajinan Rakyat (1966-1968) HM Sanusi, dan AM Fatwa.
Melalui lembaga peradilan yang tunduk kepada kekuasaan pemerintah, HM Sanusi dihukum 19 tahun penjara dengan tuduhan mendalangi dan membiayai peledakan gedung BCA dan jembatan Metro di Glodok.
HR Dharsono dihukum tujuh tahun penjara. Fatwa dihukum 18 tahun penjara. Keduanya dituduh merancang sebuah aksi teror dengan menjadikan peristiwa Tanjung Priok sebagai modal.
AM Fatwa yang ikut menyusun Lembaran Putih itu dijerat pasal subversi. Aparat tidak sekadar mempermasalahkan keterlibatan Fatwa dalam menyusun Lembaran Putih, namun aktivitas yang dianggap memprovokasi masyarakat Tanjung Priok.
Harian Kompas yang terbit pada 6 September 1985, seperti dikutip kompas.com—menulis, AM Fatwa didakwa dengan tuduhan “melakukan serangkaian forum khotbah, ceramah, dan pertemuan yang merongrong dan menyelewengkan ideologi negara, kewibawaan pemerintah atau menyebarkan rasa permusuhan dan perpecahan dalam masyarakat.”
Jaksa juga mempermasalahkan kehadiran AM Fatwa dalam pertemuan di rumah Ali Sadikin pada 15 September 1984, yang menghasilkan Lembaran Putih”.
Sidang Spektakuler
Pada edisi 28 Agustus 1998 Harian Kompas menyebut rangkaian sidang itu ‘spektakuler’. Ini dikarenakan sidang berjalan panjang dari siang hingga malam, yang bahkan pernah membuat AM Fatwa pingsan.
Pleidoi AM Fatwa dalam sidang itu pun tercatat setebal 1.188 halaman. Tidak hanya itu, kuasa hukumnya, Adnan Buyung Nasution, dicabut izin praktiknya oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh atas tuduhan menghina peradilan.
“Saya gembira bukan karena dihukum 18 tahun. Tetapi, karena sudah dipertontonkan sebuah sandiwara pada Orde Baru ini,” kata AM Fatwa yang mantan aktivis PII dan HMI itu.
Hidup di penjara—di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang —jalani AM Fatwa sejak 1984 hingga 1993. Seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru, Presiden BJ Habibie merehabilitasi nama baik sejumlah tahanan politik rezim Orde Baru. Termasuk AM Fatwa yang mendapat amnesti. Status kepegawaian dia pun dipulihkan. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni