PWMU.CO– Muhadjir Effendy: alumni Ponpes Muhammadiyah harus punya dua sisi mata uang sama kuat, yakni100 persen Islam dan Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Menko PMK RI yang juga Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Muhadjir Effendy MAP, dalam Webinar #17 Lembaga Pengembangan Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2PPM), Jumat (26/2/21).
Dalam kegiatan bertajuk “Pesantren Muhammadiyah sebagai Pusat Kaderisasi Ulama: antara Realitas, Harapan, dan Tantangan” itu, Muhadjir menyampaikan pentingnya Pondok Pesantren (Ponpes) Muhammadiyah mempunyai visi besar.
“Jadi pondok-pondok pesantren Muhammadiyah harus bisa melahirkan ulama-ulama besar. Kalau kurang tenaga, ya harus outsorcing dan tidak harus dari Muhammadiyah. Karena Muhammadiyah itu juga tidak linier, dalam perjalannnya juga ada proses transformasi nilai dari bermacam pemahaman yang hidup di sekitar kita,” ujarnya.
Harus Open Minded
Dia menilai, bagaimanapun Muhammadiyah tidak boleh terkurung secara steril, tertutup dengan perkembangan-perkembangan yang terjadi. “Ini tentu saja pikiran-pikiran saya yang tidak harus diterima atau disepakati. Tapi saya waktu memimpin Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) begitu,” ungkap alumnus Pondok Mbah Haji Ridwan, Gang Puntuk, Kota Madiun tersebut.
Muhadjir mengaku membikin paradigma yang open minded. “Saya lebih memilih dosen yang mempunyai kompetensi tinggi tapi dia belum Muhammadiyah. Daripada dia Muhammadiyah tapi tidak kompeten. Karena dosen yang punya kompetensi tinggi itu, lebih mudah memuhammadiyahkannya daripada dosen yang Muhammadiyah tapi ga kompeten, itu sulit untuk bikin dia kompeten,” terang dia.
Dulu waktu awal Pak Malik juga kontroversi itu. Karena kita merekrut anak-anak yang dianggap pintar walau tidak Muhammadiyah. “Tapi sekarang saya kira tidak ada yang tidak Muhammadiyah. Biasanya kalau benar-benar fanatik itu mundur. Tapi kalau tidak biasanya tetap berkhidmat di UMM, bahkan keluarganya kemudian jadi Muhammadiyah. Nah itu sebenarnya salah satu cara mengembangkan Muhammadiyah melalui amal-amal usaha kita,” tuturnya.
Karena itu perlu dipikirkan di LP2PPM, untuk bidang-bidang dan keahlian profesi tertentu itu sebaiknya diurus, bukan dipercayakan sepenuhnya kepada pesantrennya. “Misalnya untuk kemampuan bahasa Inggris, saya kira pesantren tidak bisa diminta untuk mencarinya sendiri. Mestinya LP2PPM yang kerja sama,” kata mantan Mendikbud RI tersebut.
Perbedaan Gradual
Tidak ada jeleknya misalnya pondok pesantren yang sudah punya tradisi kuat dwibahasa, misalnya Gontor. “Saya lihat banyak sekali alumni Gontor yang direkrut untuk mengembangkan ponpes Muhammadiyah. Maka tidak ada jeleknya kemudian kita mengambil dari pihak lain, pada NU misalnya untuk penguasaan kitab-kitab klasik,” terang dia.
Mantan Rektor UMM ini mennyampaikan jika ponpes harus ada keterbukaan. Termasuk untuk mencairkan hubungan-hubungan yang meregangkan, yang sebetulnya itu memboroskan energi yang tidak perlu antara Muhammadiyah dengan kelompok-kelompok Islam yang lain. Yang sebetulnya perbedaan pemahamannya lebih pada bersifat gradual, bukan substansial.
Dan itu sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi di luar pondok pesantren. Misalnya antara MDMC dengan lembaga penanggulangan bencana milik NU. “Di lapangan mereka saling bahu-membahu menutup kekurangannya masing-masing. Termasuk antara Lazismu dan Lazisnu,” ungkap Muhadjir.
Dalam aspek kemitraan, dia juga menyampaikan untuk tidak lupa menjalin kerja sama dari luar negeri terutama untuk penguasaan bahasa Arab dan Inggris. Karena tantangan Pesantren Muhammadiyah ada pada aspek organisasi, termasuk penguatan santri sebagai kader ulama dan tokoh agama, yang berintegritas dan kreatif di era 4.0.
“Bagaimanapun perkembangan teknologi harus direspon Ponpes Muhammadiyah agar santri-santrinya up to date, disiapkan untuk merespon perkembangan zaman,” jelasnya.
Sisi Mata Uang
Kedua adalah masalah identitas, yakni mempertahankan kekhasan santri Muhammadiyah yang ber-Islam secara moderat dan berwawasan nusantara.
“Saya selalu menekankan pentingnya ponpes-ponpes Muhammadiyah ini yaitu keislaman dan keindonesiaan. Jangan sampai berat sebelah. Islamnya kuat tapi keindonesiaanya kurang. Atau sebaliknya, keindonesiaannya kuat tapi Islamnya kurang. Jadi seluruh alumni pondok pesantren Muhammadiyah harus 100 persen Islam dan 100 persen Indonesia. Tidak boleh kurang. Dan itu sudah menjadi komitmen kita,” pesan Muhadjir.
Sudahkah ponpes-ponpes Muhammadiyah menempatkan dua sisi mata uang ini, yakni keislaman dan keindonesiaan ini secara utuh dan terpadu. Karena Muhammadiyah itu jika kehilangan satu sisi maka akan kehilangan kemuhammadiyahannya. Kalau Muhammadiyah itu hanya Islam saja, itu bukan Muhammadiyah. Sebaliknya, kalau Muhammadiyah itu hanya Indonesia, itu juga bukan Muhammadiyah.
“Jadi harus 100 persen Islam, dan 100 persen Indonesia. Ingat, banyak sekali alumni-alumni Pondok Pesantren Muhammadiyah yang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang gugur di medan pertempuran, dan itu harus dilacak kembali. Dijadikan dasar untuk penguatan,” ungkap dia.
Pemimpin Pondok Perlu Karisma
Muhadjir juga menyampaikan pikirannya, jika pondok pesantren itu bagaimanapun tetap pendidikan tradisional. Diberi kata modern pun tetap tradisional. “Namanya pendidikan tradisional itu butuh namanya karisma,” jelasnya.
Karena itu, sambung Muhadjir, pemimpin-pemimpin pondok pesantren Muhammadiyah diupayakan yang punya karisma, baik keilmuan maupun spiritual. “Karisma spiritualitas ini yang terkadang kurang kita dalami. Karena Muhammadiyah itu sangat terkenal rasional dalam beragama. Padahal, agama itu kalau rasional melulu bukan agama. Agama itu ya pasti ada yang sifatnya supra-rasional, yang satu sisi ada aspek rasionalnya,” ujarnya.
Pesantren Muhammadiyah itu juga harus punya spirit of corps, yakni kebanggaan almamater. Itu juga harus ditanamkan. “Saya lihat tamatan Ponpes Darul Arqam Garut punya karakter bangga dengan almamaternya. Jangan sampai mereka yang alumnus ponpes Muhammadiyah tertentu tapi dia tidak pernah menunjukkan kalau dia alumni ponpes itu,” tandas Muhadjir.
Penulis Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.