Arloji KW Moeldoko dan KLB Original oleh Made Supriatma, jurnalis.
PWMU.CO-Tahun 2014, Mothership, sebuah media Singapura menjahili Jenderal Moeldoko. Kala itu dia adalah Panglima TNI. Mothership menyoroti arloji-arloji yang dipakai oleh Moeldoko. Salah satu yang disoroti adalah arloji bermerek Richard Mille RM 011 Felipe Massa Flyback Chronograph Black Kite.
Itu bukan arloji sembarangan. Ia diproduksi terbatas hanya untuk kolektor. Arloji ini diproduksi tahun 2011. Harganya pun sangat fantastis untuk sebuah jam tangan, yakni lebih dari Rp1 miliar.
Jenderal Moeldoko sampai menggelar jumpa pers untuk menjelaskan perihal arloji itu. Dia mengklaim kalau arloji yang dipersoalkan itu palsu. Arloji itu dia beli hanya dengan Rp4,7 juta.
Dia mengaku punya koleksi banyak arloji. Di satu media, dia mengaku bahwa arloji Richard Mille itu membuatnya kagum akan inovasinya.
Seorang wartawan diberikan kesempatan memegang arloji itu. Si wartawan tampak ragu. Arloji itu terasa berat. Terasa lebih sebagai arloji asli. Moeldoko pun menyanggah keasliannya. Dia lalu membanting arloji tersebut dan bersikeras bahwa itu adalah arloji KW.
Tidak diberitakan apakah arloji itu pecah berantakan akibat bantingan itu. Moeldoko pun meninggalkan ruang konferensi pers dan anak buahnya kemudian memungut jam tangan Richard Mille yang diaku sebagai KW itu.
Ketua Original
Hari ini Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KW eh KLB. Seperti kita ketahui, awal Februari kemarin, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHaY) menggelar konferensi pers tentang upaya ”kudeta” atas kepemimpinannya di Partai Demokrat. Dia menuduh Moeldoko berada di balik kudeta tersebut.
Saya sendiri cenderung berpendapat bahwa KLB Partai Demokrat ini bukan satu kudeta. Seperti dalam dunia bisnis, ini adalah hostile take over atau pengambilalihan secara paksa.
Terbalik dari arloji Richard Mille di atas, kali ini Moeldoko tidak mengaku sebagai Ketua Umum Partai Demokrat yang KW. Dia mengklaim diri sebagai yang orisinil, yang terpilih secara sah lewat KLB.
Apakah dia akan berhasil meng-orisinil-kan dirinya, waktulah yang akan bicara. Namun yang jelas, proses pengambilalihan ini terjadi sangat sistematis. Sebenarnya tidak ada yang tersembunyi. Semuanya bisa terbaca dengan jelas. Orang hanya kaget karena itu benar-benar terjadi.
Segera sesudah Moeldoko mengambil alih Partai Demokrat, para buzzer melakukan serangan di dunia maya. Tagar #MoeldokoSaveDemokrat menjadi trending di Twitter.
Tidak terlalu aneh. Moeldoko adalah salah seorang ”kakak pembina” dalam mesin perang politik Jokowi. Dia memiliki pasukan yang bisa digerakkan. Tampaknya dia pun punya modal finansial yang memadai untuk membiayai hostile take over Partai Demokrat ini.
Pertarungan Legalitas
Yang kemudian akan terjadi adalah pertarungan di dua front. Pertama adalah pertarungan di medan legal. Kepengurusan yang manakah yang akan diakui Kemenkumham? Saya kira tidak sulit meramalkan hal itu.
Persoalan kedua adalah soal memenangkan hati para pengurus partai di tingkat bawah. Saya kira pertarungan ini akan menarik untuk dilihat. Sejauh manakah para kader Demokrat setia kepada SBY dan AHaY? Apakah loyalitas tanpa pelumas (baca: duit) itu cukup?
Menjadi oposisi di Indonesia itu sangat sulit. Anda tidak akan punya akses ke sumber-sumber pendanaan yang sangat diperlukan untuk menggerakkan partai. Bisa dibayangkan bagaimana keringnya kantong pengurus-pengurus Partai Demokrat yang ada di daerah-daerah karena partainya jauh dari kekuasaan.
Dalam hal ini, Moeldoko punya war chest alias sumber-sumber finansial yang cukup. Dia ada di pusat kekuasaan. Selain itu, agaknya mustahil dia mampu mengambilalih sebuah partai yang didirikan oleh seorang mantan presiden tanpa sepengetahuan boss-nya.
Bisa saya bayangkan bahwa sebentar lagi di daerah-daerah akan dibentuk pengurus-pengurus tandingan. Sulit untuk SBY dan AHaY bertahan bila mereka tidak punya peralatan perang yang cukup untuk mempertahankan loyalitas kader-kader di daerah.
Pada akhirnya, kalau Moeldoko berhasil secara definitif menjadi Ketua Umum non-KW maka dia akan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam politik Indonesia.
Masalahnya kemudian adalah akankah dia setia kepada boss-nya yang sekarang? Akankah dia mulai bermain sendiri? Atau, apakah dia menguasai Demokrat untuk mengamankan tiga periode?
Dalam politik, apa saja bisa terjadi. Namun, yang paling mendasar dari pengambialihan paksa Partai Demokrat ini adalah bahwa partai politik semakin menjadi urusan personal di antara para elite.
Di sini tidak ada rakyat jelata! Hanya ketika menghadapi rakyat jelata para elite ini bersatu untuk menjinakkannya. (*)
Editor Sugeng Purwanto