Kisah Pak AR Nyaris Makmum pada Orang Gila ini mencuplik buku Biografi Pak AR karya Sukriyanto AR—anak Pak AR. Yang menerbitkan: Suara Muhammadiyah, Mei 2017.
PWMU.CO – Salah satu syarat sah ibadah dalam Islam adalah kewarasan pikiran—selain beragama Islam dan telah baligh (cukup umur). Bahasa fikih menyebut syarat itu sebagai berakal alias tidak gila.
Syarat berakal ini berlaku juga dalam shalat. Baik shalat sendirian (munfarid) maupun berjamaah. Baik menjadi makmum maupun, apalagi, jadi imam. Artinya orang gila tidak sah shalatnya.
Tapi saat menjadi orang gila itu Allah mengangkat “penanya” alias libur tidak memberikan catatan amal perbuatannya. Artinya, meski tidak shalat, orang gila tak berdosa. Sebagamana juga berlaku pada orang yang sedang lupa atau tidur. Allah menghentikan catatan pada mereka.
Orang Gila Nyaris Jadi Imam
Pada waktu bertugas di Talang Balai, Tanjung Raja, Palembang, suatu hari, pernah dalam suatu mushala orang-orang sudah siap untuk melaksanakan shalat Magrib.
Pada saat itu Pak AR Fachruddin—Ketua (Umum) Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1968-1990—dipersilahkan untuk menjadi imam. Karena merasa masih muda, dan di situ sudah ada imam rawatibnya, Pak AR tidak bersedia dan mempersilahkan imam rawatib untuk memimpin menjadi imam.
Tetapi, sang imam tetap mengharap Pak AR yang jadi imam. Ketika sedang terjadi saling mempersilakan, majulah seseorang memposisikan diri untuk menjadi imam.
Orang-orang di sekitarnya tentu saja terkejut dan segera menarik orang itu ke belakang, karena orang yang maju itu adalah orang yang ‘akalnya kurang lengkap’.
Melihat hal itu akhimya majulah Pak AR mengimami shalat itu. Komentar para jamaah, “Hampir saja kita makmum pada orang gila.”
Pesan Pak AR soal Pemimpin
Menurut Sukriyanto, atas dasar pengalaman ini, di berbagai pengajian Pak AR mengingatkan, agar dalam soal kepemimpinan—baik di organisasi, kampung, atau negara— orang-orang Muhammadiyah jangan berebut menjadi pimpinan.
Tetapi kalau diminta dan merasa mampu harus bersedia. Karena, kalau orang-orang yang mampu, tidak bersedia menjadi imam atau pemimpin pada akhirnya yang maju (memimpin) adalah orang-orang yang tidak beres.
Akibatnya, kampung, organisasi, atau negara itu akan rusak karena dipimpin oleh orang-orang yang tidak beres.
Nah lu! Kalau negeri ini punya pemimpin tidak beres, siapa yang salah? (*)
Editor Mohammad Nurfatoni