Bukan Salah Sekolah Daring oleh Moh. Ernam, guru di Sidoarjo.
PWMU.CO– Membaca tulisan Choirul Amin yang bertajuk Sekolah Online: Afeksi Siswa Kering, Minat Belajar Rendah, saya jadi tersenyum. Benarkah demikian?
Tulisan yang diunggah PWMU.CO pada tanggal 24 Maret 2021 ini mengingatkan saya pada satu diskusi menarik dengan wali siswa.
Sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, berhadapan dengan wali siswa hal yang lumrah. Urusan keringanan biaya, masalah anak, prestasi, siswa baru adalah biasa dilayani. Ketika pelaksanaan ujian satuan pendidikan (USP) kelas XII hendak digelar, banyak orang tua datang dengan berbagai tujuan.
Salah satunya meminta dispensasi atau pengunduran waktu pembayaran SPP. Wali siswa yang saya hadapi ini sangat berbeda dengan yang lain. Ketika jumlah tunggakan SPP begitu banyak. Itu terjadi sejak pertengahan pandemi. Orangtua banyak menjelaskan imbas Covid-19 terhadap usahanya. Bahkan ada yang gulung tikar dan harus memulai dari nol lagi.
Tapi sekali lagi wali siswa yang satu ini berbeda. Ia justru menjawab bahwa sengaja tidak mau bayar. Ingat… tidak mau bayar.
Sambil tersenyum saya tanya, ”Mengapa tidak mau membayar, Pak?”
Dia dengan tegas dan keras menjawab, ”Karena sekolah tidak melaksanakan kewajibannya!”.
Walau agak kaget saya bertanya kembali,”Mohon maaf, Bapak, kewajiban apa yang belum kami penuhi?”
Orang berpeci putih ini langsung menjawab dengan lantang bahwa sekolah hanya mengajar tapi tidak mendidik.
Seperti wali siswa yang hadir menemui saya itu, Choirul Amin membuat pernyataan yang terlalu terburu-buru. Tidak ada hasil riset yang digunakan tapi sudah sampai pada kesimpulan.
Wali siswa yang bertemu saya menjelaskan bahwa sekolah hanya mengajar tapi tidak mendidik berarti hanya memberikan pengajaran tapi meninggalkan persoalan sikap. Moral atau akhlak. Jadi selama ini guru mengurusi ketuntasan nilai pedagogik dan psikomotor, tapi abai dengan penilaian afektif. Padahal sejatinya ketiga bentuk penilaian itu tetap harus dilakukan bagaimanapun kondisinya.
Bukan Sistem Pendidikan
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi ini menjadi pilihan yang bisa dilakukan. Larangan pembelajaran langsung tatap muka membuat dunia pendidikan melirik pembelajaran model daring (dalam jaringan) atau online.
Ini adalah keterpaksaan. Saat mengikuti pelatihan bagi Waka Kesiswaan di Malang, salah satu pembicara menegaskan, bahwa daring ini bukan sistem pendidikan. Sekali lagi, bukan. Ini hanya cara kreatif agar pendidikan tetap berlangsung. Sifatnya darurat. Hal ini menjadikan semua menganut sistem darurat. Termasuk kurikulum juga mengalami revisi khusus selama pandemi. Jadi bukan salah sekolah daring.
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan belum menurunkan ilmu mengajar dalam kondisi pandemi. Sama halnya mengajar di daerah pengungsian akibat banjir atau gempa bumi. Ilmu belum diberikan. Alhasil semua meraba-raba dan berkreasi agar pendidikan tetap berlangsung. Tak boleh berhenti.
Persoalan penilaian afeksi yang dianggap kering tentu tidak tepat, karena sifatnya darurat. Apalagi tanpa ada yang digunakan. Berapa orang, di mana sekolah, apa yang diajarkan, sama sekali tidak ada.
Menggunakan perbandingan antara pelaksanaan pendidikan langsung sebelum pandemi dengan daring saat ini juga perbandingan yang tidak wajar. Membandingkan sistem pendidikan sejak zaman renaisans hingga awal tahun 2020 dengan model pembelajaran daring yang berlangsung selama pandemi tentu naif.
Membandingkan sesuatu harus seimbang. Apple to Apple. Bukan Apple to Ciplukan. Atau Apple with Bukkol (Bidara). Sekali-kali jangan. Tak sebanding. Model pendidikan yang sudah mapan selama berabad-abad kemudian dibandingkan model pembelajaran yang hadir karena keterpaksaan. Ibarat pegulat peraih emas olimpiade ditandingkan dengan anak baru lahir tadi sore. Sungguh jauh. Bainas samak wa sumur.
Solusi Terbaik
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, masih menganggap pembelajaran model daring sebagai solusi terbaik untuk menekan jumlah penyebaran virus Corona dan menyelamatkan jiwa manusia. Persoalan pendidikan harus digarap oleh para pihak bersama-sama.
Kalau semua pihak bisa bekerja sama maka tidak ada generasi yang hilang. Pemerintah, orangtua, lembaga pendidikan, dan pranata sosial yang lain bisa melakukan perannya dalam mengedukasi anak-anak didik. Anak-anak kita.
Pemerintah harus serius menciptakan sistem pembelajaran yang mudah dilakukan guru dan gampang diikuti siswa. Orangtua bisa mengambil peran lebih besar dalam memberikan pendidikan moral sebagaimana kewajiban orangtua yang telah dituntunkan agama.
Lembaga pendidikan tetap melaksanakan fungsinya dengan baik dan melakukan perbaikan agar pembelajaran menjadi ideal seperti tatap muka langsung. Pranata yang lain bisa membantu mengedukasi anak-anak agar tertib waktu belajar serta tidak menggunakan waktu secara sia-sia hanya untuk game online atau ngopi di warkop.
Jadi tidak tepat jika persoalan daring kemudian jadi tertuduh utama keringnya afeksi. Masih sangat tergesa dijadikan tersangka.
Di sekolah yang sudah memiliki sistem manajemen baik, mereka memiliki e-learning. Siswa bisa belajar dengan banyak model yang disiapkan oleh guru. Tugas-tugas juga diperiksa dengan baik karena tersimpan rapi dalam e-learning.
Peserta didik juga masih sangat sopan ketika mereka mengirim WA dengan kata-kata yang baik. Meminta izin untuk telepon lewat WA, atau membuat janji bertemu jika terpaksa harus dilakukan. Semua menunjukkan bahwa anak didik masih memiliki sikap yang baik.
Jadi bukan salah sekolah daring. Janganlah karena setitik nila maka keruhlah kolam renang. Kumohon jangan. (*)
Editor Sugeng Purwanto