OTG Radikal dan Ramadhan oleh Daniel Mohammad Rosyid, dosen ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO-Sebentar lagi kita seharusnya menyambut Ramadhan mendatang ini dengan suka cita. Namun, sejak pandemi Covid-19 menghiasi media mainstream ataupun medsos setahun lalu, suasana ketakutan terpapar virus Covid-19 lalu mati karenanya telah mencekam kehidupan masyarakat hingga hari ini.
Dunia tunduk pada instruksi WHO untuk melakukan pembatasan sosial berskala besar atau bahkan lock down. Lalu ekonomi nyungsep, pengangguran meningkat tajam. Dunia masuk ke resesi, jika bukan depresi.
Situasi ketakutan dan kelumpuhan ekonomi ini bisa disebut sebagai konsekuensi yang dibawa teror biologis. Teror adalah semua tindakan yang membawa ketakutan bagi banyak orang untuk mencapai tujuan atau keuntungan politik.
Covid-19 sesungguhnya tidak mematikan bagi orang yang sehat, tapi penularannya jauh lebih cepat daripada flu burung yang jauh lebih mematikan bagi lebih banyak orang. Ketakutan ini tersebar melalui ekspose medsos bahkan lebih cepat dari penularan virusnya sendiri.
Ketakutan itu terutama disebar melalui sebuah istilah yang sesungguhnya aneh tapi kini bisa lebih kita pahami : OTG atau Orang Tanpa Gejala. Kita jadi tidak berani bersalaman, berkerumun, pergi ke sekolah dan kampus, ke masjid apalagi shalat berjamaah dengan barisan shaf yang rapat sebagaimana sunnah Rasulullah.
Menghadapi Ramadhan ini, tampaknya bagi pemerintah, tarawih perlu masih seperti Ramadhan tahun lalu. Dianjurkan di rumah saja. Sedangkan buka bersama dan mudik sama sekali tidak dianjurkan, bahkan dilarang.
Ramadhan sebagai bulan yang perlu disambut dengan perayaan dan sukacita masih akan disambut dengan kesuraman. Padahal optimism is the sign of the believers seperti dikatakan oleh Anish Daryani baru-baru ini dalam When Faith Trumps Fear.
Islamofobia
Bahkan vaksinasi besar-besaran dengan ongkos triliunan pun ternyata tidak mengurangi ketakutan luas yang kemudian diikuti oleh pembatasan sosial ini. Jika kekurangan tes keterpaparan semula menjadi alasan untuk membatasi agar OTG tidak berkeliaran di mana-mana, vaksinasi pun ternyata tidak menurunkan ketakutan akan OTG secara berarti.
Apalagi vaksinasi hanya memberi perlindungan beberapa bulan saja, tapi malah langsung menjadi ancaman kesehatan bagi kelompok masyarakat tertentu yang rentan.
Ketakutan akibat OTG itu kini bahkan telah bermutasi menjadi ketakutan bentuk lain, bahkan tanpa kaitan dengan Covid-19 sama sekali. Jika OTG semula hanya OTG Covid-19 yang menyebabkan sosiofobia (ketakutan bersosialisasi), kini ada OTG Radikal yang sengaja disemburkan untuk menyebut masyarakat dengan ciri-ciri tertentu untuk menyebarkan islamofobia (ketakutan pada Islam).
Jika Mardigu mengatakan pandemi Covid-19 sebagai political tools sudah berakhir, bagi penganut sekulerisme garis keras yang bersembunyi dalam rezim saat ini, wacana OTG Radikal ini masih diperalat untuk memecah belah berbagai komponen bangsa by socially distancing them.
Tidak saja wacana OTG Radikal dijadikan alat oleh OTG Sekuler-komunis untuk menyebar islamofobia, inipun dimanfaatkan untuk memecah belah umat Islam sendiri.
Sayidina Ali mengatakan bahwa ketakutan adalah dosa besar karena menyebabkan orang senang berdusta. Padahal jujur adalah syarat bagi iman. Jika prasangka buruk yang disebabkan ketakutan berlebihan dibiarkan menyebar luas atas orang lain, bahkan kawan, saudara atau orangtua sendiri maka Ramadhan mendatang ini akan sia-sia: tidak dimanfaatkan bagi kebangkitan sosial dan ekonomi kita.
Setelah setahun lebih kita socially masked and distanced, kebijakan pembatasan sosial ini tidak saja merugikan modal sosial ekonomi bangsa ini, namun sekaligus ancaman bagi orang-orang beriman yang diseru berpuasa. Seharusnya iman mengusir ketakutan. (*)
Rosyid College of Arts, 6 April 2021.
Editor Sugeng Purwanto