Badai dan sejumput kenangan ditulis Relung Fajar Sukmawati SPsi, penulis novel dan demisioner aktivis IMM UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
PWMU.CO – Izinkan saya menulis perihal kenangan singkat saya bersama sahabat dekat Abah dan Ummi, Bapak Nadjib Hamid. Rangkaian kalimat ini saya niatkan untuk mengenang kebaikan beliau yang semoga saja dapat kita teladani.
Dulu saya pernah berpikir, “Mengapa teman-teman saya yang kehilangan ayah/ibu mayoritas juga kehilangan cahaya hidupnya?”
Tak lama kemudian, saya menemukan jawabannya, yakni karena Allah memberi kesempatan untuk merasakannya sendiri. Kehilangan orang tercinta selalu menyisakan luka mendalam. Tak sekadar kehilangan sosok fisik yang selalu ada, melainkan juga supporter, motivasi, semangat hidup, dan tempat berbagi kisah.
“Banyak yang berubah. Nyatanya, kehilangan itu seperih ini!” ujar saya pada seorang sahabat. Ya, unpredictable moment yang saat itu membuat saya harus berdamai dengan keadaan, belajar mengikhlaskan, meninjau ulang target masa depan, dan mengubah beberapa poin tujuan hidup.
Saya yang berusaha tegar di hari pertama meninggalnya ummi tak mampu lagi menyembunyikan duka. Saya yang di hari pertama terlihat paling sedikit mengeluarkan air mata menjadi orang yang tampak sering menangis dan menyendiri di hari-hari setelahnya.
Allah selalu mendatangkan penghibur di setiap lara yang ada.
Badai dan Sejumput Kenangan dari Pak Nadjib
Selang tiga hari pasca Ummi tiada. Pada 26 Desember 2020, Pak Nadjib bersama istri dan adik berkunjung ke rumah. Saya yang saat itu menyendiri di kamar beringsut ke ruang tamu menemui beliau. Obrolan demi obrolan berlangsung, secara bergantian beliau menanyakan kesukaan kami berempat. Beliau bertanya karya apa saja yang sudah saya tulis.
“Wah, Badai? Masyaallah, Allah sekarang menguji seperti apa yang kamu tulis!” Ini adalah ucapan sederhana beliau yang saya ingat sampai sekarang.
Di karya buku pertama, saya menulis tentang ketegaran tokoh utama dalam menghadapi ujian hidup. Ucapan beliau membuat saya tersadar bahwa ada kalanya kita akan diuji dengan apa yang kita sampaikan, karena dengan itulah kita bisa belajar mawas diri, melatih ketajaman hati, dan memperkuat energi.
“Keren Mbak, tapi harus selalu ingat ya kalau imajinasi itu ada batasannya. Kamu harus bisa membedakan antara imajinasi dan dunia nyata,” nasehatnya ini juga melekat kuat di benak saya.
Benar Pak, hidup ini tak seindah cerita dongeng yang saya simak saat kecil dulu. Happy end forever after itu hanya ada di surga kelak. Sebab dunia adalah tempat bersusah payah dan berjuang tiada henti sampai Allah memanggil kita pulang.
“Sudah ada calon? Atau mau dicarikan?” tanya beliau di sela-sela obrolan, yang hanya saya jawab dengan senyuman.
Tulisan Andalusia di Matan
Kehadiran beliau memberi oase kesejukan di hati kami terutama saya pribadi, beliau adalah sosok ayahanda yang tak rela generasi setelahnya kehilangan semangat hidup. Nasehat-nasehat singkat beliau memotivasi saya untuk kembali menimbun puing-puing kekuatan, menjadi perempuan tangguh yang harus mau diajak berjuang.
Usai obrolan singkat di rumah sederhana kami, saya sempat beberapa kali berkonsultasi masalah tulisan yang sudah sekian lama mendekam tidak terpublikasikan. Beliau memberi beberapa masukan kemudian mengarahkan saya untuk menghubungi redaktur majalah Matan.
Terima kasih Pak Nadjib, beberapa tema penting di catatan perjalanan saya saat mengunjungi Andalusia bisa dinikmati lebih banyak orang.
Rasanya masih sulit merelakan. Ternyata, tiga minggu yang lalu adalah komunikasi terakhir saya dengan Bapak. Selamat jalan sahabat abah dan ummi, bapak saya, bapak umat, insyaallah khusnul khatimah. Aamiin.
Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.