KH Ahmad Dahlan dan Keutamaan Khusyuk oleh M. Anwar Djaelani, peminat biografi Tokoh Islam
PWMU.CO – KH Ahmad Dahlan sadar, bahwa rata-rata manusia mudah lalai. Diminta khusyuk, tapi ternyata banyak yang berpenampilan sebaliknya. Maka, pendiri Muhammadiyah itu menjadikan al-Hadiid 16 sebagai salah satu ayat yang paling diperhatikannya. Ayat yang berisi pesan agar kita khusyuk itu “Harus kita perhatikan,” kata Hadjid – salah satu murid awal KH Ahmad Dahlan.
Kita simak dan renungkan ayat tersebut: 16 itu: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk (khusyuk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Atas ayat ini, kita harus menunduk dalam-dalam. Kita introspeksi terkait dengan pernyataan Hadjid (2013: 190) yang sangat mungkin meneruskan ucapan KH Ahmad Dahlan – sang guru, berikut ini: “Kapan kita ingat kepada Allah dengan khusyuk? Apakah yang kita tunggu-tunggu lagi?”
Renungan Hadjid di atas sangat boleh jadi adalah pancaran dari muhasabah Ahmad Dahlan yang dicatatnya pernah menyatakan: 1) Lihatlah golongan-golongan agama lainnya yang meninggalkan agama Islam. 2) Lihatlah keadaan umat Islam sendiri. 3) Pikirkanlah keadaan dirimu sendiri.
Urgensi dan Makna Khusyuk
Kita berkonsentrasi kepada al-Hadiid 16. Kita buka Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, kader penerus perjuangan KH Ahmad Dahlan. Soal khusyuk, Hamka lalu ingat bahwa di antara ciri-cirinya ada pada al-Anfaal: 2, yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
Orang yang beriman itu hati mereka selalu bersyukur kepada Allah. Di ayat tersebut sudah ditunjukkan tanda atas pengaruh iman kepada jiwa dan sikap hidup kita. Dikatakan, bahwa atas orang yang beriman bila mereka mendengar nama Allah disebut maka menjadi luluh hatinya. Apabila dibacakan orang kepadanya ayat-ayat Allah, imannya bertambah dan dia-pun tetap bertawakkal kepada Allah.
Khusyuk, kata Hamka, adalah hati yang rendah dan tunduk kepada Tuhan. Khusyuk adalah hati yang insaf akan kerendahan dan kelemahan diri di hadapan kekuatan dan kekuasaan Allah. Apabila nama Tuhan disebut orang, bila mendengar orang memberikan pengajaran Islam, bila mendengar orang membaca Al-Qur’an; Maka, adakah hati ini bergetar atau tidak? Lalu, setelah mendengar itu semuanya, adakah tekad untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oleh-Nya?
Hal yang menarik: Kapan pertanyaan bernada mengingatkan dalam al-Hadiid: 16 itu turun? Hamka mencatat, bahwa ada dua riwayat. Sebagian menyebut, bahwa peringatan itu turun tiga belas tahun setelah ayat pertama turun. Sementara, dalam riwayat lain, menyebut bahkan lebih awal lagi yaitu pada empat tahun setelah kehadiran Islam.
Fakta di atas menunjukkan apa? Kurang lebih, sikap lalai untuk selalu khusyuk telah terlihat gejalanya di masa-masa awal risalah Islam disampaikan. Artinya, kita yang berada jauh dari masa itu harus lebih hati-hati atas kemungkinan berperforma tidak khusyuk.
Jangan Tiru, Jangan Lalai!
Teladanilah Ahmad Dahlan dalam perkara khusyuk. Masalah ini harus kita perhatikan secara serius. Hendaknya, selalu kita pelihara sikap khusyuk.
Selalulah jaga suasana khusyuk. Hal ini, sebab sebagaimana dikutip Syaddad bin Aus, Rasulullah Saw pernah bersabda, bahwa “Sesungguhnya yang mula-mula diangkat oleh Allah dari hati manusia ialah rasa khusyuk”.
Selanjutnya, dalam hal khusyuk, Allah juga berpesan: “Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya. Kata Hamka, adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang kedatangan Al-Kitab sebelum Al-Qur’an adalah orang-orang Yahudi yang kedatangan Kitab Taurat lewat Nabi Musa As dan orang-orang Nasrani yang kedatangan Kitab Injil yang dibawa Nabi Isa As.
Pelihara rasa khusyuk, jangan lalai. Sikap lalai bisa sangat membahayakan. Misal, lewat aktivitas “menjual” ayat dengan harga yang murah. Isi Kitab yang asli mereka buang, kemudian lebih mereka pentingkan pendapat sendiri. Mereka berani mengubah-ubah ayat Al-Kitab (Hamka, 2003: 7180).
Ingat Dua Kisah
Teruslah pelihara rasa khusyuk. Ayat-ayat Allah di dalam Al-Qur’an hendaklah bisa menimbulkan rasa khusyuk dan dapat menimbulkan semangat yang tinggi untuk mengamalkan isinya. Terkait ini, ada dua kisah yang semoga bisa menambah tekad kita untuk menjaga sikap khusyuk kapanpun.
Kisah ini tentang dua tokoh besar dalam tasawuf yaitu Abdullah bin Mubarak dan Fudhail bin Iyadh. Kedua ulama terkemuka yang dikenal zuhud itu punya pengalaman luar biasa terkait ayat al-Hadiid 16.
Abdullah bin Mubarak dan Kecapi
Suatu saat kepada Abdullah bin Mubarak ditanyakan, apa gerangan asal mula beliau berubah menjadi seorang yang zuhud? Lalu beliau menjawab, sebagai berikut ini:
“Bahwa, pada suatu hari saya bermain-main dengan kawan-kawan di sebuah taman. Ketika itu buah-buahan sedang musim dan masak. Kamipun makan dan minum di sana, bersenang-senang sampai hari malam dan (sebagian dari) kami-pun mulai tidur. Saya sendiri asyik dengan berkecapi, lalu saya duduk dan memetik kecapi dengan lagu yang asyik. Begitu kami lakukan beberapa malam.”
“Di suatu malam,” lanjut Abdullah bin Mubarak, “Saya lakukan pula hal yang sama. Saya ambil kecapi dan saya mulai hendak memetiknya sambil bernyanyi. Sementara saya memetik-metik kecapi hendak mencari lagu yang cocok dengan jiwa di waktu itu, tapi belum juga dapat, tiba-tiba datanglah seekor burung hinggap di dekat saya hendak memetik kecapi itu. Si burung berbunyi, bernyanyi, tetapi mengherankan sebab lagu yang dinyanyikannya itu berbunyi sebagai ayat berikut ini: ‘“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk (khusyuk) hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)’.”
“Jelas,” lanjut Abdullah bin Mubarak, “Masuk bunyi ayat nyanyian burung itu ke telinga saya. Saya-pun tercengang dan saya ulangi ayat ini kembali. Lalu terlompat dari mulut saya: ‘Memang benar apa yang engkau katakan, demi Allah.’ Tidak pelak lagi, saya hempaskan kecapi ke batu sampai hancur. Saya-pun berdiri meninggalkan tempat itu menuju kehidupan sebagai orang yang engkau lihat sekarang ini.”
Fudhail bin Iyadh dan Cinta
Adapun kisah Fudhail bin Iyadh hampir serupa dengan kisah Abdullah bin Mubarak. Kala itu dia jatuh cinta kepada seorang perempuan muda. Lalu dia berjanji hendak bertemu di malam hari.
Tentang ini, Hamka mengutip riwayat dari Al-Qurthubi: Dikisahkan, bahwa ketika Fudhail bin Iyadh memanjat dinding hendak naik ke rumah perempuan muda itu, tiba-tiba terdengar orang membaca Al-Qur’an. Ayat yang terdengar adalah al-Hadiid: 16.
Tak pelak lagi, ayat itu mempengaruhi hati Fudhail bin Iyadh. Dia lalu turun. Mulai hari itu dia tobat dan terus meninggalkan hidup yang demikian.
Fudhail bin Iyadh meneruskan perjalanan sampai ke Mekkah dan menetap beberapa lama di sana. Beliau terkenal sebagai seorang ahli tasawuf yang terkemuka, sedemikian rupa sampai Khalifah Harun Al-Rasyid datang menziarahinya untuk meminta pelajaran dan fatwa.
Khusyuk, lalu Beruntung!
Alhasil, mari teladani KH Ahmad Dahlan yang menjadikan QS Al-Hadiid [57]: 16 sebagai salah satu fokus perhatian dalam menjalani hidup: Hendaknya kita khusyuk. Pesan itu sungguh sangat relevan kapanpun, sebab ada ayat yang sangat terkait dan “menjanjikan sesuatu yang sangat kita ingini”. Bahwa, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya” (al-Mu’minun 1-2). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni