Partai Ideologis Masih Penting oleh Ir HM Masduki SH MH, Ketua DPW Partai Bulan Bintang (PBB) Jawa Timur.
Tulisan ini tanggapan atas artikel berjudul Parpol Ideologis, Masih Pentingkah? oleh Daniel Mohammad Rosyid, Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur yang sudah dimuat di PWMU.CO.
PWMU.CO– Sebagai seorang yang sedikit banyak bersinggungan dengan objek tulisan Daniel Mohammad Rosyid (DMR), saya perlu memberikan tanggapan pada beberapa statement. Tentu dengan harapan akan muncul sintesa yang mencerahkan.
Dunia politik bukan dunia eksak-mekanis. Siapa yang mau masuk ke dalamnya, harus memulai dari awal, perlahan dan tekun. Seorang tokoh yang sudah pakar di dunia luar, belum tentu otomatis menjadi pakar di dalam dunia politik praktis.
Tulisan DMR itu, menurut saya, ada kedangkalan data sebagai analisis dunia politik. Misalnya pada alinea: Baik korporasi maupun partai politik pada hakikatnya sama yaitu agen yang memanfaatkan pasar ekonomi atau politik. Dengan biaya yang makin tinggi, kedua institusi itu mengadopsi asas yang sama, yaitu pragmatisme dan pop culture. Banyak artis kini anggota parlemen dan bupati. Popularitas lebih penting daripada kredibilitas.
Mungkin tak sepenuhnya salah. Tapi statemennya itu menunjukkan bahwa kurang belajar dengan baik sejarah partai politik nasional pasca reformasi. Terutama bagaimana dinamika para tokoh Islam berupaya mengonsolidasi diri menghadapi era baru yang tiba-tiba saja terjadi: reformasi.
Reformasi 1998 adalah sebuah realitas yang tak bisa disesali atau dihadapi dengan rasa kecewa dan pesimistis. Harus dihadapi dengan keberanian dan optimistis. Dengan kondisi apa adanya, konsolidasi para tokoh dari semua Ormas Islam akhirnya melahirkan parpol ideologis. Ini sebuah langkah yang perlu diapresiasi oleh semua umat Islam.
Jadi, kalau hari ini tulisan itu seolah “menyesalkan” reformasi 1998 dan lahirnya banyak parpol, sepertinya ini jauh dari sikap seorang intelektual.
Konsep Parpol Ideologis
Konsep parpol Islam ideologis, tampaknya DMR menyandarkan pendapatnya kepada pendapat umum atau media. Semestinya terlebih dahulu melakukan kajian sejarah dan perkembangan masing-masing parpol. Minimal membaca AD dan ART-nya. Atau berdialog dengan pihak-pihak yang berkompeten.
Dia menulis: Bagi mereka, Ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, HTI atau FPI tidak bisa digunakan sebagai alat perjuangan politik yang efektif untuk melakukan perubahan nyata dan bermakna bagi sebuah masyarakat yang Islami jika bukan masyarakat bersyariah apalagi berkhilafah.
Kalimat itu juga menunjukkan kekurangpahaman tentang fungsi Ormas dan Parpol. Ormas memang bukan institusi politik praktis untuk melakukan perjuangan perubahan politik. Demikian itu adalah tugas partai politik.
DMR juga menyesalkan terjadinya proses amandemen UUD 1945 yang menghasilkan apa yang dia sebut sebagai UUD Liberal. Mungkin saja statementnya benar. Tapi terlambat untuk dikatakan sekarang.
Amandemen UUD 1945 itu secara langsung atau tidak langsung merupakan hasil dari usaha kita semua, bangsa Indonesia. Baik yang memilih maupun yang Golput dalam Pemilu 1999 dan 2004.
Kemudian, asumsinya bahwa lahirnya partai Islam baru akan memperkecil partai Islam yang sudah ada, mungkin saja benar. Tapi asumsi itu terlalu terburu-buru. Sebab kedua partai Islam baru tersebut belum juga terdaftar di Kemenkumham. Masih perlu waktu. Bisa saja kemudian menyatu dengan partai yang sudah ada.
Melalui Parpol
Alinea berikutnya: Hemat saya, kini tiba saatnya ditegaskan bahwa berpolitik praktis bagi setiap warga negara, terutama muslim, tidak harus lewat partai politik. Seperti belajar tidak harus di sekolah, berpolitik bisa di mana saja, kapan saja dan dengan institusi apa saja. Politik sebagai kebajikan publik harus disediakan oleh banyak agen, tidak boleh dimonopoli Parpol saja. Umat Islam bisa mulai dengan dakwah politik dan ekonomi melalui pribadi, keluarga, dan masjid. Masjid sebagai institusi dapat menjadi instrumen konsolidasi.
Pernyataan itu semakin tidak dimengerti. Bisa juga karena kekurangpahaman terhadap perundang-undangan.
Belajar memang bisa dimana-mana. Di sekolah, di rumah, atau di manapun. Tapi untuk menjadi PNS, advokat, notaris, dan lain-lain tentu perlu ijazah, bukan?
Belajar tentang politik memang tidak harus lewat Parpol. Banyak tempat untuk bisa mendalaminya. Tetapi untuk menjadi pelaku politik praktis, tidak ada jalan lain kecuali melalui Parpol. Untuk menjadi presiden, DPR, gubernur, DPRD, bupati/walikota harus melalui Parpol. Demikian undang-undang telah mengatur.
Puncak kebingungan DMR saat mengajukan alternatif. Dia menulis: Opsi lainnya adalah menyusupi Parpol besar yang ada, seperti yang dilakukan kaum sekuler kiri radikal. Jika mereka berani dan berhasil, mengapa kita tidak?
Menyusup ke Parpol besar ini pikiran paling runyam. Ini menunjukkan sikap frustrasi politik tingkat tinggi. Indikasi kurang pengalaman dalam politik praktis,dan kedangkalan pemahaman ideologinya. Langkah itu ibarat menggali liang kubur sendiri.
Berapa banyak kawan dan tokoh kita yang berhasil “menyusup”. Kemudian hilang. Jangan dianggap Parpol , apalagi yang besar, itu seperti remaja masjid atau takmir mushala. Parpol adalah sebuah mesin besar yang kuat dan keras. Ada proses produksi super hebat dan kompleks di dalamnya. Setiap input yang masuk akan diproses sedemikian rupa sehingga akan menjadi output seperti yang diinginkan.
Angka Politik
Penduduk muslim di Indonesia sekitar 87 persen dari sekitar 270 juta orang. Seharusnya, umat Islam dapat menentukan arah pembangunan negara. Tapi kenyataannya tidak. Mengapa?
Angka 87 persen itu adalah Angka Statistik. Angka yang diam. Hanya data. Tidak bisa bergerak. Tidak dapat digunakan untuk menggerakkan. Mengubah dan membuat kebijakan menyangkut peri kehidupan berbangsa dan bernegara.
Angka itu baru bisa berfungsi membuat dan mengubah kebijakan kalau sudah berupa Angka Politik. Maka diperlukan adanya proses transformasi dari Angka Statistik menjadi Angka Politik. Proses transformasi itu hanya bisa dilakukan melalui Pemilihan Umum.
Menurut UU Pemilu, peserta Pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik. Bukan Ormas, perguruan tinggi, perusahaan, pondok pesantren, atau lainya. Hanya Parpol!
Tugas Parpol Islam ideologis itu adalah mengikuti Pemilu untuk mengakumulasi suara umat Islam dengan mentransformasi Angka Statistik menjadi Angka Politik sehingga menjadi kekuatan umat dalam memperjuangkan kepentingan dan hajat hidupnya bagi kebaikan bersama bangsa dan negara Indonesia.
Maka keberadaan Parpol Islam ideologis bagi umat Islam ibarat cangkul atau alat pertanian bagi petani. Keberadaannya adalah keharusan.
Parpol Islam Wajib Ada
Di dalam Islam kita mengenal kaidah fiqih maa laa yatimmul wajib illaa bihi fahuwa wajib. ”Sesuatu yang suatu kewajiban tidak dapat terlaksana kecuali dengan sesuatu itu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.” Adanya cangkul dan alat pertanian lainnya adalah wajib bagi petani.
Kalau memperjuangkan kebaikan bangsa dan negara itu wajib, maka keberadaan partai yang dapat mengikuti Pemilu untuk mengakumulasikan suara umat agar menjadi kekuatan yang dapat mengubah dan memperbaiki keadaan itu, tentulah wajib adanya sesuai kaidah tersebut. Pun pula bagi umat sesungguhnya ada kewajiban itu di masing-masing pundaknya.
Maka kita menjadi ingat akan pesan Buya Mohammad Natsir bahwa sekalipun kecil partai Islam itu wajib tetap ada.
Dunia politik praktis itu ada di sini, di bumi yang kita injak, di udara yang kita hirup, dalam waktu yang kita jalani. Bukan menggantung di langit. Untuk memahami politik maka turunlah ke bumi.
Aktivis yang suka berteriak di luar arena politik menjadi sia-sia. Sebab keputusan-keputusan politik menyangkut perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara digedok dalam dunia politik. Hasilnya mengikat semua rakyat meskipun kita benci setengah mati kepada politikusnya dan sistem politiknya.
Pesan Pak Mohammad Natsir kiranya perlu menjadi pegangan: Kita lakukan perjuangan secara sah dan konstitusional. (*)
Malang, 14/4/2021
Editor Sugeng Purwanto