Nadjib Hamid dalam Kenangan Teman Sekolah catatan obituari oleh A. Zahri dari Paciran Lamongan.
PWMU.CO– Telah sepekan Nadjib Hamid meninggalkan kita, Jumat (9/4/2021) lalu. Banyak kenangan mengendap di kalangan kenalannya. Apalagi kerabat dan teman di Paciran, desa kelahirannya. Meskipun sudah tinggal lama di Surabaya, dia tak putus kontak dengan kehidupan desanya.
Di kampungnya dia dikenal sebagai Pak Nadjib PWM. Sebutan itu untuk membedakan dengan nama Nadjib lainnya yang juga ada di kampung ini. Atribut itu melekat di namanya karena saking lamanya dia aktif di Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Mulai dari staf administrasi, kepala kantor, lalu masuk PWM menjadi wakil sekretaris, sekretaris, dan wakil ketua.
Di awal tahun 1976, saya bersama Nadjib Hamid masuk kelas 1 PGA 4 tahun di Paciran Lamongan. Sekolah ini kelak berubah menjadi Madrasah Tsnawiyah.
Juga satu sekolah ketika masuk Madrasah Aliyah Muhammadiyah di Pondok Pesantren Karangasem Paciran asuhan KH Abdrurahman Syamsuri, ulama Muhammadiyah Lamongan.
Di usia SMP, Nadjib Hamid sudah fasih menghafal perubahan kata bahasa Arab di kitab Al Amtsillah At Tashrifiyyah karangan Syekh Muhammad Maksum bin Ali dari Maskumambang, menantu Hadhratus Syekh Hasyim Asyari.
Dia menghafal dengan lancar, baik tashrif istilahi maupun lughowi. Padahal saya dan kebanyakan teman belum familiar dengan tashrifan itu. Nadjib ternyata juga bagus dan rapi tulisan Arabnya dibandingkan teman-teman lainnya.
Menikmati Legen
Selama bersekolah dia jago mata pelajaran agama saat di Tsanawiyah maupun Aliyah antara tahun 1976-1982. Begitu pun bidang pelajaran umum lainnya tidak kalah dengan teman-temannya.
Lulus MAM lantas nyantri di Ma’had Ali lil Fiqh wad Dakwah Bangil Pasuruan (1987). Pendiri ma’had ini KH Muamal Hamidy, ulama fiqih Muhammadiyah.
Selain cerdas, Nadjib orangnya grapyak. Mudah bergaul dan hangat dalam pertemanan. Suka menggembirakan kawan. Saat di Madrasah Aliyah, beberapa kali mengajak saya dan teman-teman datang ke ladang orangtuanya menikmati segarnya legen yang baru diambil dari pohon aren.
Air legen yang di-deres dari kuncup bunga siwalan yang dipotong ujungnya itu ditampung dalam bethek atau bumbung bambu selama sehari. Esoknya dipanen lalu dikumpulkan sedikit demi sedikit dalam bumbung bambu yang lebih panjang. Kami biasa minum legen langsung dari bethek dengan saringan daun jambu biji. Nikmatnya air legen segar itu seperti masih terasa di kerongkongan ini.
Air legen, disebut juga nira, diolah menjadi gula merah atau gula aren. Nadjib membantu ayahnya mengolah nira menjadi gula merah dengan memasaknya hingga mendidih. Dia sangat cekatan memutar dan mengaduk air nira sampai mengental lalu dicetak dalam bambu kecil-kecil. Gula aren itu lantas dijual ke pasar.
Buku Kenangan
Sewaktu kelas III Aliyah, ada hobi anak-anak muda membuat buku kenangan. Sesama teman saling mengisi biodata. Ada cita-cita, hobi, zodiak, membuat puisi, atau kata mutiara.
Kolom hobi paling populer saat itu ditulis makan bakso. Kolom cita-cita kebanyakan ditulis tidak spesifik, sangat normatif. Misalnya, menjadi orang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa.
Nadjib Hamid juga mengisi buku kenangan saya. Kolom nama dia isi sesuai namanya sekarang ini. Biasanya ada yang menambahi namanya agar lebih keren. Alamat dia tulis: Ponpes 125 Paciran. Lahir 17-12-1963. Hobby: Ngobrol. Study: MAM Paciran. Cita-cita: Ingin jadi Presiden RI.
Lalu kolom pesan-kesan dia menulis: Teruskanlah karermu sbg ahli filsafah.
Di bawahnya dia menggoreskan tanda tangan yang masih sama modelnya dengan tanda tangannya sekarang.
Setelah lulus, 30 tahun kemudian saya buka-buka buku kenangan itu. Pas membaca kembali catatan Nadjib Hamid langsung saya foto dan share WA kepadanya. Saya komentari: Hanya antum yang paling tinggi cita-citanya di antara teman sekelas.
Dia membalas: ”Oh iya, ini menarik.”
Ada yang aneh pada teman saya ini dibanding teman lainnya. Dia tidak bisa naik sepeda. Apalagi sepeda motor dan mobil. Tidak ingin mencoba belajar menaikinya. Mungkin takut. Dia biasa naik angkutan umum atau berjalan kaki. Namun begitu tak mengganggu mobilitasnya dalam berdakwah.
Genk 82
Sekitar tahun 2012, dia membuat Grup WhatsApp teman sekelas di Tsanawiyah dan Aliyah. Nama grupnya Genk ’82. Dia sebagai admin grup sekaligus ketua Genk 82.
Hampir semua teman seangkatan masuk anggota grup WA Genk 82 setelah saling kontak dan berbagi nomor telepon. Kecuali beberapa teman yang telah meninggal dunia. Usia teman-teman di atas 50 tahun dan kebanyakan sudah punya cucu. Nadjib Hamid putranya belum ada yang menikah.
Kegiatan Genk 82 menjalin silaturahmi dengan acara dua tahun sekali reuni di bulan Syawal. Hadir bersama keluarganya. Kemudian reuni menjadi setahun sekali. Juga media informasi untuk hadir di acara pernikahan, menjenguk teman yang sakit atau takziyah kalau ada teman atau keluarganya meninggal.
Sejak ada grup WA Genk 82 hubungan kekeluargaan antar teman sekolah semakin akrab. Ibarat ngumpulno balung pisah. Kami yang putus kontak lama setelah lulus sekolah bisa bertemu kembali.
Saat reuni, seorang teman yang ahli memijat, langsung diminta Nadjib memijatnya. Sambil dikerubungi anggota Genk laki-laki terjadilah obrolan penuh seloroh, joke, dan bully-an hingga membuat tertawa lepas.
Nadjib juga mengusulkan saat reuni agar bermakna tidak hanya diisi obrolan dan makan-makan, tapi mengumpulkan dana untuk menolong teman. Terkumpullah uang untuk diberikan kepada teman yang membutuhkan pertolongan.
Ketika berkumpul dia sering membagikan oleh-oleh seperti makanan ringan dan suvenir. Seperti buku terbitannya, kain batik, kaus. ”Jangan melihat harganya, namun rasa simpati dan peduli yang akan berkesan,” katanya setiap memberi oleh-oleh.
Saat dia maju menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah Jatim, saya sempat bertanya persiapannya bersaing dengan calon lain yang berkantong tebal? Dia menjawab datar, ”Yang penting kita berusaha, hasilnya kita serahkan kepada Yang Kuasa.”
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْه
Editor Sugeng Purwanto