Rezeki Datang Kadang lewat Jalan yang Tak Kita Sukai, oleh Susilowati, apoteker dan tinggal di Banyuwangi.
PWMU.CO – Sore itu tak seperti biasanya saat Mas Bambang pulang ke rumah. Tampak, muka suamiku itu masam. Jelas terlihat, dia sedang sedih.
“Kenapa kok kelihatan sedih, Pa,” tanyaku.
“Bibitan semangka kita kuret dan keriting,“ jawab suamiku.
“Kok bisa begitu ya. Bukankah biasanya Papa kalau membibit semangka bagus.”
“Itulah yang bikin aku pusing. Sementara, uang modal kita pas-pasan. Kita tak punya uang lagi buat membeli bibit. Enaknya bagaimana ini, dilanjutkan apa tidak. Kalau dipaksa ditanam dengan bibit seperti ini biayanya akan lebih mahal dan hasilnya aku tak yakin bakal bagus,“ urai suamiku.
“Sebaiknya dilanjutkan, tapi harus dicari dulu apa penyebabnya. Apa mungkin bibitnya kadaluwarsa atau waktu penyiapan bibit ada yang salah prosedurnya atau ada sebab lain. Hal ini penting, karena sampai proses pembibitan ini kita sudah keluar modal sekitar 60 persen dan juga sayang jika uang sewa sawah jadi hilang karena kita sewanya per musim tanam bukan per tahun. Kalau sudah ketemu masalahnya walaupun terpaksa harus beli bibit dengan berhutang tak apa-apa. Semoga kita bisa segera membayar saat panen nanti,“ demikian pendapatku.
Kejadian di atas terjadi sekitar tahun 1990-an, di tahun-tahun awal kami menikah. Saat itu kami sudah punya satu anak.
Setelah menikah, suami bekerja di tambak udang dan saya sendiri bekerja di apotek swasta milik perorangan. Gaji kami tidak mencukupi untuk keperluan sehari-hari karena di samping untuk keperluan keluarga kecil kami, juga punya tanggung-jawab membantu mertua yang sudah pensiun dari kepolisian. Sedangkan adik-adik suami masih ada lima orang yang masih bersekolah. Suami anak ketiga dari delapan bersaudara.
Atas hal itu, walaupun dengan modal terbatas, kami mencari tambahan penghasilan. Kami-saya dan suami-mencoba bertanam semangka dengan cara menyewa sawah di sekitar tambak udang tempat suami bekerja. Dengan begitu, sambil bekerja di tambak, suami tetap bisa menjalankan dan mengawasi budidaya semangka yang kami jalankan.
Gembira dan Sedih
Selama beberapa hari suamiku belum menemukan apa penyebab bibit itu tidak tumbuh seperti yang diharapkan. Sampailah pada suatu sore saat pulang ke rumah, dia datang dengan muka terlihat gembira.
“Ma, alhamdulillah, aku sudah menemukan penyebab bibit kuret,“ Mas Bambang membuka pembicaraan.
“Alhamdulillah. Apa Pa penyebabnya,“ tanyaku.
“Aku tempo hari membibit semangka dekat sungai biar mudah saat menyiram. Hanya saja posisi sungai bersebelahan dengan tambak, jadi air sungai itu asin dengan kandungan garam cukup tinggi. Itu aku ketahui karena di tambak ada alat pengukur salinitas untuk mengukur kadar garam. Tersebab kadar garam yang tinggi itu, maka bibit semangka yang kita siapkan tidak bisa tumbuh sempurna. Jadi, kita harus beli bibit lagi dan tempat pembibitan akan aku pindah ke pinggir sungai yang tidak bersebelahan dengan tambak,“ jelas suamiku.
Tentu kami sedih karena harus berhutang untuk beli bibit baru. Tapi kami bersyukur karena sudah tahu masalahnya.
Panen Menggembirakan
Sekitar tiga bulan kemudian kami panen. Alhamdulillah, hasilnya memuaskan. Kami mendapat keuntungan lumayan besar untuk ukuran kami saat itu. Sebagai perbandingan, gaji saya waktu itu sebagai Apoteker Rp 250.000. Sementara saat itu gaji pokok ASN Golongan IIIA, jika saya tidak salah, sebesar Rp 75 ribu.
Harga semangka sangat fluktuatif. Waktu itu harga semangka di kisaran Rp 200 sampai Rp 500 per kilogram. Alhamdulillah, kami mendapat harga tinggi.
Di titik ini, setelah merenung, kami baru menyadari. Bahwa, setelah kami hitung waktu panen, masya-Allah ternyata Allah Swt hendak memberi rezeki lebih besar dengan cara menguji kami terlebih dahulu. “Skenario”-nya, yaitu dengan cara bibit pertama rusak dan terpaksa harus beli bibit baru walaupun dengan berhutang.
Nilai persis hitungannya saya lupa karena ini kejadian 30 tahun yang lalu. Hal yang terus saya ingat sebagai pelajaran jika sedang mendapat ujian dari Allah SWT adalah bahwa selalu ada hikmah di balik semua ujian-Nya.
Saya dengan bantuan suami mencoba mengingat nilai hitungan kejadian itu kira-kira sebagai berikut. Seandainya bibit yang pertama jadi, maka saat panen mendapat harga di kisaran Rp 325 per kg.
Dalam perkembangannya, panen kami menjadi mundur karena memulai lagi dengan bibit baru. Kira-kira, mundur dalam selisih waktu sekitar 2–3 pekan. Tapi, justru di sinilah rahasianya. Gara-gara kami harus membibit lagi dan mengakibatkan panen tertunda, kami malah mendapat harga tinggi yaitu Rp 525 per kg.
Modal yang kami keluarkan sekitar Rp 5.000.000. Hasil panen sekitar 23 ton (23.000 kg). Jika panen sukses dengan bibitan pertama, kami hanya mendapat hasil Rp 7.475.000 – Rp 5.000.000 = Rp 2.475.000.
Tapi, ternyata, dengan mengulang lewat bibit baru (kala itu harga bibit per kaleng sekitar Rp 500.000,) kami mendapat hasil Rp 12.075.000 – Rp 5.500.000 = Rp 6.575.000.
Apa arti kesemuanya? Walaupun kami harus keluar uang lagi untuk beli bibit dan tentu juga untuk biaya tenaga kerja serta bertambahnya waktu yang terpakai, ternyata Allah SWT hendak menambah rezeki kami dua kali lipat lebih besar.
Pelajaran Berharga
Di kemudian hari kami sering sekali mengalami peristiwa yang hampir sama. Maka, saat menghadapi masalah ketika mengurus sesuatu, kami selalu ingat peristiwa “semangka kuret” itu. Kami berusaha bersabar. Faktanya, lagi-lagi benar bahwa ketika kita bersandar sepenuhnya hanya kepada-Nya, Allah selalu memberi yang terbaik untuk yang kita butuhkan.
Inilah salah satu pengalaman yang terus kami ingat dan sering kami ceritakan kepada sanak keluarga dan sahabat. Semoga bisa menjadi pelajaran berharga bagi orang lain agar tetap bersabar ketika diuji dengan kesulitan karena boleh jadi Allah hendak memberi lebih.
Pada saat yang sama, jangan lupa bersyukur ketika diuji dengan kesenangan dan kelebihan karena semua karunia itu sejatinya dari Allah semata. (*)
Banyuwangi, April 2021
Rezeki Datang Kadang lewat Jalan yang Tak Kita Sukai; Editor Mohammad Nurfatoni