PWMU.CO – Islam Ajarkan Kerja Keras agar Produktif dan Bisa Memberi. Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Drs Hajriyanto Yasin Thohari MA membahasnya pada Kajian Ramadhan 1442 H yang digelar Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, Ahad (18/4/21).
Sebelum membahas ini, Hajriyanto menjelaskan konsep dasar produktif. Ia mengenalkan arti kata produktif dalam KBBI. Yaitu mampu menghasilkan dalam jumlah besar; mendatangkan hasil dan manfaat, menguntungkan; serta mampu menghasilkan terus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur-unsur baru.
Hajriyanto menjelaskan, begitu pentingnya alat produksi—dalam ilmu antropologi di madzhab materialisme (Marvin Harris, Marcel Mauss)—sehingga bisa menentukan kesadaran manusia. Bukan kesadaran yang menentukan materi (alat produksi).
Jika alat produksi berubah, maka akan mengubah kebudayaan. “Masyarakat yang mata pencahariannya berburu tentu beda dengan yang bertani. Demikian juga (yang bekerja) di bidang industri, jasa, dan lainnya,” jelasnya.
“Di masa pandemi alat produksinya apa? Itulah yang akan menentukan produktivitas,” ujar Hajriyanto.
Islam Ajarkan Produktif
Hajriyanto menekankan, kita perlu tahu Rasulullah, para Nabi, dan sahabat adalah orang-orang yang bekerja secara profesional, memiliki keahlian, dan pekerja keras. Mereka selalu menganjurkan orang lain untuk mengerjakan hal yang sama.
Dalam sejaran kenabian, lanjutnya, diceritakan profesi Nabi Idris adalah tukang jahit dan Nabi Daud—meskipun menjabat raja yang merangkap nabi—jago membuat senjata dari besi. “Untuk itu, jika kita ingin mencontoh mereka, maka yakinkan diri kita juga telah mempunyai profesi dan semangat bekerja keras!” tutur pria kelahiran 26 Juni itu.
Sebagaimana dalam al-Quran Surat at-Taubah ayat 105: “Dan katakanlah, Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Maka dari itu, Hajriyanto menyatakan, dalam Islam kita diajarkan untuk berdoa meminta perlindungan Allah dari kemalasan, kesedihan, ketertindasan, bahkan utang yang membuat tidak produktif.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالحَزَنِ، وأَعُوذُ بِكَ مِنَ َالعَجْزِ وَالكَسَلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَالبُخْلِ وَالجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ من غلبة الدين و قهرِ الرِّجَالِ
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, dan aku berlindung kepada-Mu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung keada-Mu dari sifat bakhil dan penakut, dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan utang dan penindasan orang lain.”
Islam mengecam kata-kata yang tidak diusahakan. Mungkin ada yang berdoa untuk mendapat kekuasaan tapi dia tidak bekerja, atau melakukan kerja politik untuk mendapat sulthanan nashira (kekuasaan yang menolong).
Kemudian Hajriyanto mengutip surat as-Saff ayat 2-3:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَكَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Produktif untuk Penuhi Kebutuhan dan Eksistensi
Oleh karena itu, Hajriyanto menegaskan, bekerja adalah suatu keharusan. Dia menyimpulkan gagasan tokoh ekonomi Adam Smith: aku bekerja maka aku ada. Bekerja menjadi mode of existance (bukti keberadaan) umat manusia.
Begitu pula dengan ungkapan populer Rene Descartes, “Aku berpikir maka aku ada. “Kesimpulan yang bisa diambil dari tulisan al-Ghazali, “Aku berkehendak maka aku ada.”
Bagi para penulis, ada ungkapan verba volant scripta manent (omongan akan hilang dibawa angin, tapi kalau tulisan itu permanen). Menulis menjadi bukti eksistensi dirinya, “Aku menulis maka aku ada.”
“Ulama-ulama yang menulis, namanya lebih abadi dari presidennya, kalau dulu khalifahnya. Sampai sekarang kita tahu Imam Ghazali, tapi tidak tahu siapa khalifah pada masanya,” ujar Hajriyanto.
Topik hari ini, ujarnya mengingatkan, “Aku memberi maka aku ada; Aku menerima maka aku ada; Aku membalas memberi maka aku ada” sebagaimana yang diungkap Mauss.
Untuk itu, tambahnya, bekerja dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan eksistensial. “Menurut Mauss, produktif untuk memberi. Pasalnya, homo sapien ini belum punah karena kewajiban memberi pemberian, menerima pemberian, dan membalas pemberian masih terus bertahan dan membesar,” jelasnya mengingatkan konsep Gift-Giving (beri-memberi).
Dengan demikian, memberi begitu sentral dalam Islam, membalas pemberian begitu penting dalam Islam. “Bahkan kita harus memberi salam dan diwajibkan membalas dan menerimanya. Dan balasan itu minimal sama dengan pemberiannya,” tuturnya.
Hajriyanto memaparkan, seperti kata Mauss, memberi tidak hanya barang; tapi juga orang, ilmu, makan, ASI, dan juga ilmu. Betapa kita hidup ini karena dibantu oleh ilmu dan temuan dari para ilmuwan di masa lalu. Untuk itu, kita juga perlu mengajarkan ilmu ke generasi setelah kita, bahkan harus lebih baik karena pemberian harus lebih.
“Pasalnya, watak ilmu itu akumulatif. Demikian juga ilmu agama. Khazanah keilmuan telah menjadi tradisi dan kita harus mengembangkannya untuk selanjutnya kita wariskan,” ucapnya.
Islam Agama Filantropisme dan Voluntarisme
Pada kesempatan ini, ia mengaku mulai paham mengapa Islam sangat tampil sebagai agama filantropisme dan volunterisme. Ketika membuka al-Quran, ayat-ayat pertama yang tersaji membahas filantropisme: memberi.
Maka, lanjutnya, Islam mengharuskan kerja keras, untuk produktif, agar bisa memberi. “Dalam Islam tidak direkomendasikan tidur sehabis Subuh karena orang harus bekerja,” tuturnya.
Orang diminta untuk bergerak menggelinding. When I am rolling I exist (kalau saya menggelinding, maka saya ada). When I rest I am no more (Tapi kalau saya diam saja, saya tidak ada).
Kemudian, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia 2009-2014 itu menyampaikan sajak Imam Syafii yang menekankan gerak, pergi, kerja, dan produktif berikut:
Orang yang punya akal dan beradab, tidak akan berada di tempatnya saja. Untuk santai-santai saja. Maka tinggalkan negerimu, dan beranjaklah pergi.
Pergilah, maka kamu akan mendapat pengganti apa yang terpisah ketika kamu pergi. Maksudnya, Hajriyanto menjelaskan, kalau kamu pergi berpisah dengan teman, maka di tempat baru akan mendapat teman baru.
Maka sibuklah kamu, karena kelezatan hidup itu terletak pada kesibukan.
Lalu Imam Syafii membuat perumpamaan dengan air, dalam sajaknya: Sungguh aku melihat air yang diam saja, yang tidak mengalir itu rusak, busuk. Jika bergerak, air yang mengalir itu sehat.
Singa itu kalau tidak meninggalkan camp-nya, dia tidak kuat. Anak panah yang tidak meninggalkan busurnya itu busuk.
Matahari kalau diam saja kiamat, demikian juga dengan bintang-bintang.
Emas ketika masih di tambangnya, tidak ada bedanya dengan lempung (tanah liat).
Kayu cendana kalau maish di hutannya saja, tidak ada bedanya dengan kayu-kayu yang lain.
Lantas ia menjelaskan bagaimana kerja keras para pendahulu. “Jangan membayangkan orang-orang sebelum kita itu tidak bekerja keras dan tidak produktif! Mereka bekerja keras,” katanya.
“Kita sering salah paham tentang para sufi itu pemalas dan lembek.Tidak! Mereka gagah, kuat dan produktif. Kalau tidak, bagaimana mungkin bisa menulis kitab berjilid-jilid itu?” tutup Duta Besar Indonesia untuk Lebanon itu. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni