PWMU.CO – Dakwah Sosial Muhammadiyah: Sejarah dan Gerakan Kekinian Al-Maun disampaikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) dr Agus Taufiqurrahman MKes SpS dalam kajian Ramadan Sehat dan Aman, Sabtu (17/4/21).
Program kajian spesial Ramadhan ini persembahan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan dukungan Lazismu.
Membuka kajian ini, pemandu acara Budi Santoso MKM menanyakan, “Bagaimana spirit dakwah sosial yang mengiringi gerakan dakwah Muhammadiyah?”
Menurut Agus, berbicara gerakan dakwah Muhammadiyah tidak bisa terlepas dari kiprah dakwah melalui pelayanan sosial Muhammadiyah.
Jika mengingat sejarah, Agus menyatakan ada empat bagian kepengurusan yang telah dibentuk sejak awal. Pertama, mengurusi pendidikan. Kedua, mengurusi taman pustaka, termasuk majalah Suara Muhammadiyah yang masih bertahan diusianya lebih dari 100 tahun.
Ketiga, tabligh yang mengurusi pembinaan jamaah secara langsung, pengajian, dan masjid. Keempat, penolong Kesengsaraan Umum (PKU) yang kini menjadi “Pembina Kesejahteraan Umat”
Kiai Dahlan Dorong Teladani Al-Maun
Di sinilah, menurut Agus, kiprah dakwah Muhammadiyah sebagai pengejawantahan spirit al-Maun yang KH Ahmad Dahlan ajarkan kepada para muridnya.
“Luar biasa ketika KH Ahmad Dahlan beserta para muridnya dulu—generasi awal persyarikatan—gerakan dakwah melalui sosial itu betul-betul ditanamkan,” ujarnya.
Agus lalu bercerita. Saat itu, karena Kiai Dahlan mengulang pengajian al-Maun terus-menerus, sampai ada muridnya yang bertanya, “Kiai, bukankah al-Quran itu tidak hanya surat al-Maun saja?”
“Apa sudah ngerti?”
“Sudah, Kiai,” jawab murid itu, karena sudah membaca berkali-kali.
“Wis diamalke durung (sudah diamalkan apa belum)?”
Baru setelah mendapat pertanyaan itu, para muridnya menyadari mereka belum mengamalkan surat al-Maun.
Dari sini, menurut Agus, Kiai Dahlan mengajarkan pola pembelajaran yang menarik. Mengaji al-Quran bukan berarti banyak membacanya. Yang terpenting adalah memahami, lalu menjadikannya pedoman berperilaku.
Saat belajar al-Maun itulah Kiai Dahlan mengajak para muridnya mengumpulkan orang-orang yang tidak beruntung, kaum dhuafa di sekitar Masjid Gede, Keraton, dan pasar untuk dibina.
” Spirit-nya adalah menolong kesengsaraan umum,” ungkapnya.
Jejak Sejarah Hadapi Bencana
Agus menyatakan, dari sisi kebencanaan, pada tahun 1919, Kiai Sudja yang mendapat amanah mengurus bagian PKU, memimpin Laskar Kebencanaan Muhammadiyah saat Gunung Kelud meletus.
Lalu PKU memunculkan Klinik PKU pada tahun 1923. “Hebatnya, spirit-nya adalah klinik yang terbuka, inklusif, melayani siapa pun yang butuh pertolongan tanpa dibatasi sekat agama, ras, suku, dan antargolongan,” jelasnya.
Waktu itu, lanjutnya, kliniknya masih gratis dan bisa bertahan sampai sekarang. Inilah yang menunjukkan spirit al-Maun. Seseorang harus memperhatikan orang lain yang membutuhkan.
Agus menceritakan ketika dr Soetomo—perintis Klinik Muhammadiyah yang kedua—menyampaikan pidatonya, kalau diterjemahkan bebas, “Ini berbeda dengan Teori Darwin dimana yang kuat mengalahkan yang lemah!”
Justru, Agus menyatakan, gerakan Muhammadiyah ini untuk memperhatikan yang lemah dengan spirit kasih sayang. Jadi semangatnya adalah dakwah rahmatan lil alamin. “Inilah yang dibawa para pendiri persyarikatan yang kemudian kita teruskan sampai sekarang,” tuturnya.
Jadi, tambahnya, kita berusaha menampilkan Islam yang sejuk, yang memberi solusi, sehingga orang berkomentar “Inilah Islam yang berkemajuan itu”.
“Kehadirannya memberikan arti, khairunnas anfauhum linnas,” terangnya.
Gerakan al-Maun Kekinian
Agus mengimbau agar saat ini kita harus melakukan gerakan-gerakan al-Maun dalam bentuk kekinian. Katanya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah berharap ada al-Maun center di banyak tempat melalui seluruh amal usaha Muhammadiyah (AUM).
“Lembaga pendidikan kita menjadi bagian dari itu karena di daerah terjauh, terluar, terpencil, terdalam, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan Aisyiyah berpihak kepada kaum dhuafa. Belum dari AUM lainnya,” ujarnya.
Sekarang, Agus menerangkan, ada lembaga-lembaga baru yang Muhammadiyah munculkan, seperti Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang menangani bencana. Kiprahnya sudah mencapai internasional.
Ia juga menyebut Lazismu yang kiprahnya mewarnai kerelawanan terhadap saudara-saudara yang sedang tidak beruntung. Lembaga ini sudah kredibel, sudah diaudit akuntan publik. “Semuanya juga bisa dipertanggungjawabkan, sehingga kita tidak ragu menyakurkan dana melalui Lazismu,” jelasnya.
Bahkan, selama pandemi ini, Muhammadiyah wujudkan dalam Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) sebagai gugus tugas mengawal pandemi Covid-19.
Dakwah Sosial di Tengah Bencana
Agus menyatakan, “Muhammadiyah berkomitmen sejak awal harus menjadi bagian tidak terpisahkan dalam rangka menghadapi pandemi ini. Muhammadiyah senantiasa berada di posisi ‘jangan sampai tidak menjadi teladan dari ikhtiar menghadapi pandemi ini’,” ucapnya.
Maka, lanjutnya, program-program yang sudah tersusun dengan baik untuk menghadapi pandemi ini dilakukan terus-menerus. “MCCC di banyak tempat telah mendapat dukungan ortom dan AUM. Perguruan tinggi dan rumah sakit bergerak, termasuk saat musim vaksinasi sudah berjalan,” terang Agus.
Agus menekankan, Muhammadiyah mendukung dengan banyak hal. Misal, jaringan tempat AUM menjadi tempat vaksinasi. Juga vaksinasi lintas agama yang terus dilakukan sebagai bagian dari jihad kemanusiaan.
Begitu pula ketika berbagai bencana berturut-turut melanda Indonesia, Muhammadiyah tidak tinggal diam, dengan segala komponen yang ada.
“Muhammadiyah itu sudah dikenal satu respon bersama-sama: MDMC, Lazismu, Ortom mulai Aisyiyah, Pemuda Muhammadiyah dengan Kokamnya. Semua bergerak,” ucapnya.
Ia menyadari hal ini berat pelaksanaannya, karena terjadi di banyak tempat secara bersamaan. “Di situlah (organisasi) butuh mengatur agar teman-teman di lapangan tidak kehilangan stamina,” tutur Agus.
Berkat punya jaringan yang luar biasa untuk kebencanaan, Agus bersyukur MDMC maupun MCCC dapat penghargaan dari negara dalam hal penanganan kebencanaan.
Dalam menghadapi bencana non-alam, lanjutnya, biasanya Muhammadiyah kembali fokus memperkuat keluarga. “Bagaimana menjadikan keluarga itu tahan bencana, Aisyiyah kemudian membantu bagaimana agar keluarga punya potensi ekonomi yang menggembirakan,” jelasnya.
Agus menyampaikan pesan Kyai Dahlan, “Kalau memang cinta kepada Islam, tidak perlu siap bela Islam dengan jiwa-raga, karena kematian sudah Allah tentukan, tapi tawarkan harta-benda untuk perjuangan.”
Menurutnya, hal ini sudah Muhammadiyah lakukan sejak awal dan kalau sekarang dilanjutkan, tidak kaget kalau setiap ada gerakan, sejak dari pusat sampai ranting itu semuanya beresonansi: One Muhammadiyah, One Response.
“Tidak ada ego masing-masing!” tegasnya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni