Hubungan Intim Suami Istri di Bulan Ramadhan ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Hukum Jimak di Bulan Ramadhan ini berangkat dari hadits riwayat Bukhari.
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ كَانُوا لَا يَقْرَبُونَ النِّسَاءَ رَمَضَانَ كُلَّهُ وَكَانَ رِجَالٌ يَخُونُونَ أَنْفُسَهُمْ فَأَنْزَلَ اللَّهُ (عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ). رواه البخاري
“Dari Abu Ishaq dia berkata; Aku mendengar Al Barra radliallahuanhu: tatkala diperintahkan puasa Ramadhan, orang-orang tidak mau mendekati para wanita sepanjang bulan Ramadlah tersebut. Dan ada beberapa orang yang mengkhianati dirinya sendiri. Maka Allah menurunkan ayat; ‘Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian sendiri. Maka Dia menerima taubat kalian dan memaafkan kalian.'”
Keringanan Allah
Pada awal mula diwajibkan puasa di bulan suci Ramadhan, kaum muslimin diperkenan jimal (hubungan suami istri) tapi syaratnya sebelum tidur. Jika telah tertidur maka diharamkan, walaupun bangun tidurnya itu sebelum terbit fajar atau masuknya waktu Subuh.
Dalam keterangan yang lain, kaum Muslimin bahkan dilarang makan, minum dan jimak setelah tidur. Walhasil, hal ini dirasakan sangat memberatkan bagi kaum Muslimin. Kemudian Allah memberi keringanan diperbolehkan jimak pada malam Ramadhan dengan tidak ditentukan sebelum atau setelah tidur.
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.
Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (al-Baqarah 187)
Allah Maha Memaafkan
Pada saat itu banyak di antara kaum Muslimin berkhianat dengan hukum yang demikian, kemudian Allah menerima tobat mereka dan memaafkan pengkhiatan yang mereka lakukan sebagaimana firman-Nya dalam surah al Baqarah tersebut.
عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ
“Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu.” (al-Baqarah; 187)
Sehingga menjadi ketetapan bahwa setelah Maghrib kaum Muslimin boleh makan, minum, dan jimak sampai terbitnya fajar.
Hati-Hati Pasangan Muda
Para ulama bersepakat, melakukan jimak pada saat puasa adalah haram dan sekaligus merusak puasanya, yakni membatalkannya. Oleh karena itu terutama bagi pasangan muda atau yang memiliki libido seks yang kuat, jangan berdekat-dekat dengan istri atau suaminya ketika berpuasa yang dapat menimbulkan syahwat.
Karena jika terjadi hubungan suami istri kafarat atau hukuman sebagai tebusannya sangat berat. Sebagaimana Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ هَلَكْتُ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالَ وَقَعْتُ بِأَهْلِي فِي رَمَضَانَ قَالَ تَجِدُ رَقَبَةً قَالَ لا قَالَ فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ لا قَالَ فَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُطْعِمَ سِتِّينَ مِسْكِينًا قَالَ لا قَالَ فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ بِعَرَقٍ وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ اذْهَبْ بِهَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ قَالَ عَلَى أَحْوَجَ مِنَّا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ مِنَّا قَالَ اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
“Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata: “Ketika kami sedang duduk bermajelis bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba datang seorang laki-laki lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, binasalah aku’.
Beliau bertanya: ‘Ada apa denganmu?’
Orang itu menjawab: ‘Aku telah berhubungan dengan istriku sedangkan aku sedang berpuasa.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: ‘Apakah kamu memiliki budak, sehingga kamu harus membebaskannya?’
Orang itu menjawab: ‘Tidak’.
Lalu beliau bertanya lagi: ‘Apakah kamu sanggup bila harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”
Orang itu menjawab: ‘Tidak’.
Lalu beliau bertanya lagi: ‘Apakah kamu memiliki makanan untuk diberikan kepada enam puluh orang miskin?’
Orang itu menjawab: ‘Tidak’
Sejenak Nabi terdiam. Ketika kami masih dalam keadaan tadi, Nabi diberikan satu keranjang berisi kurma, lalu beliau bertanya: “Mana orang yang bertanya tadi?”
Orang itu menjawab: ‘Aku’.
Maka beliau berkata: ‘Ambillah kurma ini lalu bersedekahlah dengannya’.
Orang itu berkata: ‘Apakah ada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah. Demi Allah, tidak ada keluarga yang tinggal di antara dua perbatasan, yang dia maksud adalah dua gurun pasir, yang lebih falir daripada keluargaku.”
Mendengar itu Nabi SAW menjadi tertawa hingga tampak gigi serinya. Kemudian beliau berkata: ‘Kalau begitu berilah makan keluargamu dengan kurma ini.'”
Urutan Denda
Ada urutan kafarat dari pelanggaran jimak di waktu sedang berpuasa. Yaitu, memerdekakan budak. Dalam kondisi sekarang perbudakan sudah tidak ada maka diganti dengan puasa berturut-turut selama dua bulan. Sangsi ini menurut pendapat para ulama juga berlaku bagi istrinya.
Dan jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturut maka hendaknya ia memberi makan kepada 60 fakir miskin, atau berupa bahan makan pokok setara kurang lebih 1,5 kg per harinya atau total 90 kg. kemudian jika hal itu dilakukan tidak hanya sekali, maka kafaratnya sebanyak ia melakukannya itu.
Tetapi jika semua itu juga tidak mampu, Allah dan Rasul-Nya sangat baik, maka hendaknya ia memperbanyak istighfar memohon ampun kepada Allah, bertaubat dengan merasa menyesal atas tindakannya itu, untuk kemudian tidak mengulanginya lagi.
Allah sangat peduli kepada hamba-Nya, banyak sekali kemudahan-kemudahan yang telah diberikan dalam pelaksanaan ibadah ini. Maka sudah seyogyanya sebagai hamba Allah kita harus terus berusaha untuk memaksimalkan diri dalam rangka menjaga ketaatan kepada-Nya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni