Iktikaf Disyariatkan sejak Nabi Ibrahim ditulis oleh Ustadz Muhammad Hidayatulloh, Pengasuh Kajian Tafsir al-Quran Yayasan Ma’had Islami (Yamais), Masjid al-Huda Berbek, Waru, Sidoarjo.
PWMU.CO – Kajian Iktikaf Disyariatkan sejak Nabi Ibrahim ini berangkat dari hadits riwayat Muslim.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ. رواه مسلم
Dari Aisyah radliallahu ‘anha, ia berkata: ‘Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan iktikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan.’
Iktikaf, Kontemplasi Seorang Hamba
Rasulullah selalu memberikan pelajaran yang terbaik bagi umatnya. Semua aktivitas, khususnya ibadah mahdhah, selalu beliau contohkan dan anjurkan sedemikian rupa. Termasuk dalam hal ini adalah iktikaf.
Dan ternyata, iktikaf ini merupakan syariat yang diperintahkan sejak masa Nabi Ibrahim alaihissalam. Sebagaimana firman Allah:
وَعَهِدْنَا إِلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud.” (al-Baqarah 125)
Iktikaf merupakan bentuk kontempalsi seorang hamba kepada Tuhannya. Yaitu meninggalkan semua kesibukan dalam urusan duniawinya, dengan selalu berdzikir kepada Allah dalam rangka tazkiyatun nafs atau mensucikan diri dari hal-hal yang mengotorinya. Ber-taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah dengan se-dekat-dekatnya. Menyambung atau wushul hati dan pikiran hanya kepada Allah Subhanahu wa Taala.
Prinsipnya yaitu mensucikan diri dari berbagai kotoran-kotoran hati baik kepada sesama hamba yang berupa penyakit-penyakit hati seperti iri hati, dengki, dendam, gengsi, atau tidak mau kalah atau terlampui orang lain. Serta penyakit hati lainnya, lebih-lebih kepada kepada Allah baik berupa keraguan akan Allah sebagai Dzat Yang Maha Kasih Sayang Sempurna, sifat nifaq, bahkan syirik, atau menyekutukan kepada Allah Azza wa Jalla.
Tempatnya di Masjid atau Mushalla
Para ulama sepakat bahwa tempat ikikaf adalah di masjid yang biasa digunakan untuk sahalat jamaah, dalam hal ini kalau di Indonesia termasuk mushala.
لَا تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا ۚ لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَىٰ مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ ۚ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا ۚ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ
“Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa, sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah 108)
Hukum Iktikaf
Para ulama sepakat bahwa hukum iktikaf itu ada dua yaitu wajib dan sunnah. Wajib bagi yang telah bernadzar untuk iktikaf.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Dari Ibnu Umar radliallahu anhuma bahwa Umar bertanya kepada Nabi shallallahu ‘laihi wasallam, katanya: ‘Aku pernah bernadzar di zaman jahiliah untuk beriktikaf dalam satu malam di Masjidil Haram’. Maka beliau berkata: ‘Tunaikanlah nadzarmu itu.’ (HR Bukhari)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Dari Aisyah radliallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: ‘Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia menaati-nya, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepada-Nya.’ (HR Bukhari)
Kedua sunnah, maka iktikaf dapat dilakukan kapan saja walaupun di luar bulan Ramadhan, dan tidak harus disertai puasa, tentu dengan berpuasa akan lebih utama. lebih-lebih di sepuluh akhir bulan Ramadhan menjadi sunnah muakkadah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ قَالَ فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ فَدَنَوْا مِنْهُ فَقَالَ إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ قَالَ وَإِنِّي أُرْبِئْتُهَا لَيْلَةَ وِتْرٍ وَإِنِّي أَسْجُدُ صَبِيحَتَهَا فِي طِينٍ وَمَاءٍ فَأَصْبَحَ مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَقَدْ قَامَ إِلَى الصُّبْحِ فَمَطَرَتْ السَّمَاءُ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَأَبْصَرْتُ الطِّينَ وَالْمَاءَ فَخَرَجَ حِينَ فَرَغَ مِنْ صَلَاةِ الصُّبْحِ وَجَبِينُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيهِمَا الطِّينُ وَالْمَاءُ وَإِذَا هِيَ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ. رواه مسلم
“Dari Abu Said Al Khudri radliallahu anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan iktikaf pada sepuluh awal bulan Ramadlan, kemudian dilanjutkannya pada sepuluh pertengahan, dalam sebuah kubah kecil yang terbuat dari permadani dan pintunya ditutup dengan tikar.
Lalu beliau ambil tikar itu, dan diletakkannya di sudut kubah. Kemudian diulurkannya kepalanya seraya berujar memanggil orang banyak. Maka mendekatlah mereka pada beliau, beliau bersabda: ‘Aku telah iktikaf sejak sepuluh awal bulan untuk mendapatkan lailatul qadar, kemudian sepuluh yang pertengahan. Kemudian dikatakan kepadaku bahwa lailatul qadar itu terdapat pada sepuluh akhir Ramadhan. Karena itu, siapa yang suka iktikaf, maka silahkan.’
Maka para sahabat pun ikut iktikaf bersama-sama dengan beliau. Dan beliau juga bersabda: ‘Aku bermimpi melihat lailatul qadar di malam ganjil, yang pada pagi harinya aku sujud di tanah yang basah.’
Memang, pagi-pagi malam kedua puluh satu beliau shalat Subuh sedangkan hari hujan sehingga masjid tergenang air. Aku melihat tanah dan air. Setelah selesai shalat Subuh, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar, sedangkan di kening dan hidungnya ada tanah basah. Malam itu adalah malam ke-21 dari sepuluh yang akhir bulan Ramadhan.” (HR Muslim)
Dengan demikian lailatul qadar itu diturunkan oleh Allah pada setiap bulan suci Ramadhan, dan waktunya tidak ada yang mengetahuinya sebelumnya secara pasti, termasuk Rasulullah. Maka upaya untuk mendapatkannya adalah dengan selalu melakukan kebaikan dan menjauhi larangan-Nya.
Betapa besar kepeduliaan Rasulullah kepada umatnya dan juga rahmat Allah kepada umat Rasulullah. Semua fasilitas kebaikan telah diturunkannya, tinggal bagaimana umat ini memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Maka tatkala dengan besarnya kasih sayang Allah dan Rasulnya ini kita tidak bisa menjadi orang-orang yang shalih yang bersih hati dan pikiranya, betapa ruginya.
Peluang menuju surga Allah sangatlah besar dan pintunya dibuka lebar-lebar. Dan sebaliknya pintu neraka ditutup rapat-rapat. Setan tidak berkutik dengan banyaknya rahmat yang diturunkan-Nya.
Masihkah justru kita menjauh dari rahmatNya dengan tidak mengubah cara hidup yang jahiliyah? Sebuah pertanyaan yang perlu terus dan selalu kita renungkan dalam diri kita masing-masing. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni