Refleksi Hardiknas: Pendidikan Kita Terbelenggu Imperasi Ekonomi, kolom oleh Prof Zainuddin Maliki, Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PAN (Partai Amanat Nasonal).
PWMU.CO – Ketika kita menyambut Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2021, bangsa Indonesia tengah dihadapkan fakta menarik.
Pendidikan yang dimaksudkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, memanusiakan manusia, dan membangun peradaban bangsa, tengah terbelenggu imperasi (tujuan) ekonomi.
Dalam perspektif imperasi ekonomi yang belakangan kecenderungannya terus menguat, pendidikan dilihat sebagai wadah investasi guna mencari keuntungan material.
Para pengikut perspektif imperasi ekonomi—yang tampaknya memiliki bergaining politik kuat ini—sempat berusaha memasukkan pendidikan menjadi salah satu klaster dalam pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja tahun 2020 kemarin.
Di dalam klaster omnibus law yang dirancang untuk memberikan kemudahan masuknya investasi tersebut pendidikan tidak dipandang sebagai lembaga yang bersifat nirlaba melainkan bagian dari instrumen investasi. Spirit-nya, pendidikan tidak dilihat sebagai lembaga nirlaba yang dimaksudkan untuk membangun peradaban bangsa.
Pendidikan tidak dilihat sebagai upaya memperkuat kecerdasan intelektual, emosional, maupun spiritualitas anak didik, melainkan dilihat sebagai instrumen investasi yang dapat membantu mendatangkan devisa negara.
Berbagai kemudahan diberikan kepada lembaga pendidikan asing, termasuk yang tidak terakreditasi di negaranya, untuk berinvestasi dengan mendirikan lembaga pendidikan di Indonesia.
Amanat UU Sisdiknas
Bersyukur—tentu setelah melalui tarik menarik yang alot di parlemen—akhirnya pendidikan berhasil dikeluarkan dari klaster omnibus law UU Cipta kerja. Dengan demikian pendidikan masih dilihat sebagai organisasi nirlaba sehingga peluang untuk menjadikan pendidikan sebagai tempat mengembangkan potensi anak didik sebagaimana diharapkan oleh UU 20 tahun 2003 tentang Sidiknas masih terbuka.
UU Sisdiknas mengamanatkan agar pendidikan diselenggarakan untuk mengembangkan potensi anak didik sehingga menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam pedagogi yang dikemas berdasarkan tujuan atau imperasi ekonomi, spirit pendidikan terutama digunakan dalam rangka mengejar national survival. Asumsinya jika ingin negara ini survive dalam persaingan ekonomi maka harus siap memenuhi kebutuhan pasar. Oleh karena itu harus di ciptakan pedagogi yang mengajarkan berbagai keterampilan dan kecakapan yang dibutuhkan untuk mengelola segenap sumber daya yang dimiliki oleh bangsa ini.
SDA Melimpah tapi Tertinggal
Memang, negara kita diberi karunia sumber daya alam yang melimpah, tetapi belum bisa mengatasi problem kemiskinan. Juga belum bisa dikapitalisasi dalam persaingan global. Bangsa kita masih menghadapi kenyataan menjadi negara yang yang tertinggal di halaman belakang Asia baru.
Beberapa negara tetangga di Asia, sudah berada di halaman depan di tengah-tengah pergeseran kekuatan global. Asia, seperti yang dilaporkan Kishore Mahbubani, berhasil meninggalkan Amerika dan negara-negara barat lainnya.
Berada di halaman depan Asia baru mengendalikan kekuatan ekonomi maupun politik global itu adalah Tiongkok, Jepang, India, Singapura, bahkan Malaysia dan Vietnam.
Dalam posisi tertinggal di halaman belakang Asia baru seperti ini semangat mengemas pendidikan berdasarkan imperasi ekonomi semakin menguat. Spirit yang muncul kemudian adalah mengemas pendidikan yang bisa mendekatkan lulusannya dengan dunia usaha dan dunia industri.
Anak-anak didik harus dibekali survival skills seperti nalar kritis, kecerdasan literasi dan numerasi, kreativitas dan sejumlah keterampilan vokasional yang dibutuhkan pasar maupun dunia industri yang saat ini telah memasuki era industri 4.0.
Dalam logika imperasi ekonomi, bukan dunia industri yang harus belajar inovasi kepada dunia pendidikan. Justru dunia pendidikan harus belajar inovasi kepada dunia industri karena industri telah terbukti memiliki pengalaman dan sukses menundukkan kemauan pasar yang terus berubah.
Oleh karena itu bukan LPTK atau lembaga pendidikan lainnya, tetapi dunia industri yang perlu diundang untuk hadir menjadi organisasi penggerak inovasi sekolah.
Agama Beban Kurikulum?
Dalam semangat imperasi ekonomi yang menguat seperti ini, mengajarkan karakter, mentalitas, dan penguatan nilai-nilai agama dianggap hanya membebani kurikulum sehingga menghambat akselerasi dalam mengejar kepentingan national survival tersebut.
Oleh karena itu para ‘insinyur’ kurikulum berbasis imperasi ekonomi sangat senang kalau mata pelajaran agama dihapus, frasa nilai agama tidak perlu hadir di Peta Jalan Pendidikan, atau Pancasila dibuat absen dari kurikulum.
Bagi perancang kurikulum berimperasi ekonomi, mereka berpendapat memasukkan nilai agama atau ideologi Pancasila sebagai mata pelajaran hanya akan membuang waktu sehingga membuat pendidikan tertinggal dan tidak bisa mengejar tuntutan pasar yang mengalami disrupsi.
Namun kalau para perancang kurikulum bangsa ini menggunakan logika dan imperasi ekonomi seperti itu, pertama hanya akan menjadikan bangsa ini tercerabut dari akar budaya dan sejarah bangsa yang religious.
Selebihnya jelas bertolak belakang dengan road map membangun bangsa yang berkemajuan. Sebab seperti banyak negara maju yang diriset Fukuyama, mereka maju bukan hanya bermodal survival skill tetapi terutama karena bermodal sosial kuat.
Dengan demikian sebenarnya mengejar national survival tidak cukup dengan hanya memberi bekal ketrampilan seperti yang diobsesikan para ‘insinyur’ kurikulum berimperasi ekonomi.
National survival justru akan terwujud jika diterapkan pedagogi yang mendidik anak-anak muda sehingga tidak hanya cerdas dan terampil tetapi juga bermodal sosial kuat yang hal itu akan terwujud jika memiliki nilai-nilai spiritualitas yang baik. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni