Puasa, Jalan Lapar sebagai Lifestyle, kolom oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO.
PWMU.CO – Banyak kajian tentang hikmah puasa. Tapi menurut saya, hikmah penting dari puasa itu adalah mempraktikkan “jalan lapar” dalam kehidupan.
Selain diajarkan via puasa wajib Ramadhan, Baginda Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan jalan lapar melalui puasa sunah. Ada puasa Senin-Kamis, puasa ayyamul bidh (13,14,15 bulan Qamariyah), atau puasa Daud (sehari puasa sehari berbuka).
Ada puasa Arafah setiap tanggal 9 Dzulhijjah, ada lagi puasa 9 dan 10 Muharram dan. Juga puasa 6 hari di bulan Syawal.
Ibadah Tambahan
Apa yang menarik dari teladan puasa sunah itu? Sama seperti ibadah lainnya, ternyata selain ada yang diwajibkan—setidaknya menurut ahli fikih—Nabi SAW masih memberi teladan-teladan di luar yang wajib. Shalat lima waktu masih belum cukup bagi Nabi SAW, maka “lahirlah” shalat-shalat sunnah. Zakat saja tidak cukup, masih ada sedekah sunah. Haji pun tak cukup, masih ada umrah.
Tambahan ibadah di luar yang wajib ini sebenarnya adalah petunjuk bahwa yang wajib saja belum cukup, khususnya bagi mereka yang hendak mendaki puncak spiritual yang lebih tinggi atau menyelam samudera spiritual yang lebih dalam.
Bagi mereka, ibadah wajib hanyalah sekadar menggugurkan kewajiban; sesuatu yang masih minim bagi perkembangan spiritualitas manusia, meskipun, tentu saja, bagi kebanyakan awam, menjalankan sebuah kewajiban adalah sebuah prestasi luar biasa jika dibandingkan dengan mereka yang masih sering mengingkari kewajiban.
Anggaplah kita ini hendak mendaki puncak spiritual, maka menjalankan yang wajib saja kelihatannya belumlah cukup. Malah mungkin, jika paradigma fikih sedikit kita abaikan; maka apa-apa yang dicontohkan oleh Nabi SAW, seyogyanya kita pun mengikutinya, karena kita yakin bahwa perjalanan mengikuti jejak Nabi saw [tanpa harus memilah-milah secara fikih: ini wajib, ini sunah] akan mengantarkan kita pada kemuliaan.
Bukankah mengikuti Nabi SAW adalah bukti kecintaan pada Allah: “Katakanlah (Muhammad), jika engkau cinta Allah, maka ikutilah aku …” (Ali Imran/3:31)] juga bukti kecintaan kita pada beliau. Dan bukankah pula beliau diutus untuk memuliakan akhlak.
Puasa dan Makhluk Sejarah
Muhammad Zuhri (Hidup Lebih Bermakna, Serambi, 2007) memberi uraian menarik tentang betapa pentingnya puasa (sunnah) bagi manusia. Pertama, puasa menciptakan situasi komunikatif dengan Tuhan, sehingga memungkinkan seseorang diberi limpahan qudrah-Nya. Qudrah atau kekuatan ekstra dari Allah diperlukan oleh manusia yang superringkih untuk mengemban tugas yang cukup berat, yaitu mengelola semesta.
Dalam skala personal, setiap orang mempunyai beban hidup sendiri-sendiri. Kadang beban itu terasa mendera. Maka puasa menjadi sarana yang penting untuk mengunduh kekuatan dari Allah. Dengan kekuatan itulah, seseorang akan merasa mampu mengatasi problem hidupnya.
Kedua, puasa adalah sebuah deformasi, yaitu proses penjungkirbalikan sistem tubuh, baik sistem metabolisme maupun psikologis. Kebiasaan makan tiga kali diubah dua kali. Saat seorang ingin makan justru dicegah untuk tidak makan. Saat seseorang tidak berselera makan, justru disuruh makan (sahur).
Dengan berpuasa, tubuh yang biasanya disuplai kalori dari luar tiba-tiba dihentikan. Maka energi keluar terus, tetapi kalori tidak masuk. Sebagai gantinya, sel-sel yang ada dalam daging, tulang, bahkan otak dibakar untuk menjamin tetap adanya suplai kalori. Maka, sel-sel lama dalam tubuh berguguran dan digantikan sel-sel yang baru. Yang lebih segar dan terlepas dari rekaman dosa-dosa.
Deformasi dibutuhkan untuk menemukan cara-cara baru dalam pengelolaan terhadap semesta. Mungkin cara lama sudah usang dan lapuk sehingga tidak lagi memadai. Maka diperlukan cara-cara baru. Maka, puasa menjadi sarana untuk mendapatkan cara-cara baru di luar sistem yang telah ada. Dengan cara-cara baru itu, ada peluang untuk menyelesaikan segala problem hidup yang menimpa.
Ketiga, puasa adalah sebuah metode untuk menghayati apa yang dihayati Allah. Dalam surat al-Anam: 14 Allah berfirman, “… padahal Dia memberi makan tetapi tidak makan.” Dengan berpuasa, maka manusia mencoba menghayati keadaan Tuhan, tidak makan, tetapi memberi makan, sehingga memungkinkan manusia menyandang sifat Tuhan. Manusia dengan citra Tuhan.
Salah satu sifat Tuhan yang hendak diperoleh manusia dengan puasanya adalah sifat baqa’ (kekal). Dengan berpuasa, maka manusia akan menjadi makhluk sejarah, yaitu makhluk yang mampu mengarungi waktu, maju terus sampai ke ujung kehidupan (yaum al-akhir).
Sebagaimana kisah Ki Ageng Selo, seorang bangsawan Jawa yang melakukan puasa selo (puasa Daud) seumur hidupnya, maka sebelas dari keturunannya berhasil menjadi Raja Mataram.
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa kita memerlukan puasa (tambahan) di samping puasa wajib di bulan Ramadhan. Kita butuh puasa sebagai lifestyle alias gaya hidup. Tinggal mau pilih puasa sunah yang mana?
Praktik Jalan Lapar di Kehidupan
Sebagai lifestyle, jalan lapar puasa tidak boleh berhenti pada syariat. Apalagi cuma bergeser jam makan.
Puasa, juga ibadah lain dalam Islam, tidak bisa dipisahkan dari dimensi: simbolik dan filosofis. Kehilangan satu dari dua dimensi itu menyebabkan ketimpangan. Tanpa simbol, sulit mengukur eksistensi dan identitas suatu ibadah. Dan sebaliknya, tanpa filosofi, ibadah bagaikan kulit tanpa isi.
Dalam dimensi simbol, yang disebut shalat adalah perpaduan antara gerak, bacaan, dan diam. Diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Sangat sulit diukur jika seorang mengakui telah melakukan shalat, padahal ia tak melakukan perbuatan seperti itu. Sekalipun ia berdalih telah memahami dan mempraktikkan filosofi atau makna shalat dalam kehidupan. Misalnya ia mengaku tidak berbuat jahat atau kriminal (inna shalata tanha an al fakhsyai wa al munkar).
Sebaliknya dengan orang yang menjalankan shalat secara simbolik. Jika shalatnya tidak membawa implikasi kebaikan pada diri dan lingkungannya, maka akan dikelompokkan pada golongan manusia celaka (fawailul lil mushallin). Al-Quran mengecam orang yang melalaikan filosofi shalatnya karena tidak menyantuni orang miskin (al-Maun: 1-7).
Berpuasa juga demikian. Puasa bukan sekadar tidak makan dan minum. Puasa mengandung filosofi. Puasa adalah gerakan menahan nafsu. Nafsu kenyang. Nafsu serakah. Kesuksesan puasa tidak sekadar diukur, sejauh mana shaimin mampu menahan makan dan minum dari Subuh sampai Maghrib. Di balik itu, puasa adalah jalan lapar. Dan jalan lapar adalah jalan kebaikan.
Jika sudah mampu menahan lapar, maka seharusnya juga mampu menahan ‘rasa kenyang’ lainnya dalam kehidupan. Seperti serakah terhadap harta benda. Agak sulit dinalar, jika ada orang Islam yang korupsi. Hampir semua sepakat, korupsi dilakukan bukan karena pelakunya tidak bisa makan.
Para tersangka koruptor adalah orang kaya. Malah sangat kaya. Tetapi mengapa ia masih menumpuk-numpuk harta secara tidak halal? Jawabnya, ia gagal dalam jalan lapar. Gagal mempraktikkan puasa formal dalam kehidupan. Ia ingin selalu ‘kenyang’. Ada nafsu serakah yang membuncah. Nafsu yang belum bisa dikendalikan. Sebagaimana dikendalikannya lapar atau dahaga dalam puasa.
Maka, sekali lagi, puasa sebagai jalan lapar harusnya menjadi gaya hidup, lifesstyle. (*)