PWMU.CO – Haedar Nashir: Rekonstruksi Konsep Pendidikan secara Fundamental. Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir MSi mengimbau itu pada Pelantikan Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) periode 2021-2025 Dr Ma’mun Murod MSi, Selasa (25/5/2021) siang.
Prof Haedar Nashir hadir secara daring melalui Zoom Cloud Meetings. Sementara itu, ada beberapa pejabat penting yang hadir secara langsung. Yaitu, Ketua MPR Bambang Soesatyo, Menko Polhukam Mahfud MD, dan Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Menurut Prof Haedar, pelantikan rektor ini spesial karena banyak tokoh hadir memberi kesan, sambutan, dan amanah. Maka, dia berharap, azzam Ma’mun Murod akan memperluas relasi, kerja sama, dan dukungan berbagai pihak.
“Agar UMJ semakin berkemajuan di pusat Ibu Kota, sebagai barometer dari kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
PP Muhammadiyah Amanahkan Peran
Hamdalah dia lantunkan, karena menjadi saksi pelantikan Rektor UMJ yang PP Muhammadiyah amanahkan kepada Dr Ma’mun Murod, kader muda yang menurutnya sudah berpengalaman dan terbina melalui angkatan muda Muhammadiyah.
Melihat tokoh-tokoh yang memberikan sambutan sebelumnya maupun ‘Mas Rektor Santri’ yang baru dilantik mengutip hadits, maka Haedar juga mengutip sebuah hadits.
“Wamankana dakwahu amanat falyuadduha ila man atmanahu alaiha,”
Pesan ini dia tujukan untuk semua yang hadir. Artinya, “Barang siapa yang diberi amanah, maka tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Lebih-lebih kepada mereka yang memberi amanah.”
Haedar menegaskan, PP Muhammadiyah telah memberi amanah kepada rektor. Maka, dari lima poin ikrar sebagai rektor dan sambutan rektor menurutnya sangat jelas, “Segala tugas, kewajiban, dan peran yang dilakukan tetap dalam koridor Muhammadiyah sebagai organisasi dakwah,”
Juga, lanjutnya, sebagai organisasi kemasyarakatan yang punya peran untuk membawa pembaruan, tajdid, dalam kehidupan umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta; di samping koridor-koridor organisasi.
Haedar menambahkan, Muhammadiyah sebagai ormas—kekuatan civil society dan ikut mendirikan Republik Indonesia—punya peran sendiri, sebagaimana juga ormas lain di negeri Indonesia tercinta.
Amanah Nilai-Nilai Luhur
Prof Haedar yakin, jika teman-teman yang ada di pemerintahan; di lembaga legislatif, yudikatif dan semua yang di institusi kenegaraan mengikuti pesan Nabi maka bangsa Indonesia semakin bermartabat, berdaulat, bersatu, adil, makmur, dan berkemajuan.
Dia menegaskan, nilai-nilai luhur itu, termasuk amanah, biasanya sering mengalami lag (tertinggal) ketika pada proses institusionalisasi dan internalisasi.
Sebagaimana Mahfud MD mencontohkan shalat dan Bambang Soesatyo menggambarkan pentingnya merekonstruksi kehidupan berkebangsaan berdasar pada nilai-nilai dasar cita-cita nasional.
Seringnya, lanjut Haedar, nilai-nilai utama itu tidak mewujudkan ketika proses internalisasinya tidak masif, tersruktur, dan sistemik. “Biasanya urusan ini hanya keluar setiap lima tahun sekali, dalam isu politik kompetisi,” ungkapnya.
Mestinya, menurut dia, nilai-nilai luhur itu harus menjadi proses internalisasi kehidupan di Muhammadiyah. Umat Islam dengan Islam dan bangsa Indonesia dengan nilai luhur agama, Pancasila, dan kebudayaan bangsa.
Gagal Melembagakan Nilai dalam Sistem
Selain itu, masalah yang dihadapi biasanya gagal dalam proses institusionalisasi: melembagakan nilai-nilai itu di dalam sistem.
Haedar bersyukur, Muhammadiyah sejak awal belajar meletakkan pondasi untuk mewujudkan nilai-nilai agama dan orientasi kehormatan kebangsaan dalam lembaga atau institusi. Sehingga, lanjutnya, menjadi barometer dalam kehidupan persyarikatan.
“Jadi kalau ada apresiasi di mana sistem pemilihan kita sudah mapan, ya karena mewujudkan musyawarah sebagai sistem, bukan value!” terangnya.
Dia menjelaskan, kalau dibandingkan dan dihubungkan, sistem di Muhammadiyah itu praktik dari sila keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. “Tokoh-tokoh Muhammadiyah juga ikut merumuskannya,” ungkap Haedar.
Begitu sekarang ada masalah, Haedar menduga, mungkin waktu itu kita tidak sadar betul, yang kita ubah itu sesungguhnya yang sudah mapan dan punya prospek jangka panjang sejalan dengan kepribadian kita.
“Tapi orientasi pemikiran-pemikiran politik kontemporer yang mungkin terlalu positivistik dan pragmatis itu, kemudian serta-merta konstruksi demokrasi kita menjadi sangat liberal, lalu membongkar seluruh tatanan kita,” ungkapnya.
Setelah seperti ini, biarpun Ketua MPR meminta untuk memberi masukan dan sebagainya, menurut Haedar memang tidak mudah.
Nilai Uswah Hasanah
Haedar percaya, Muhammadiyah akan terus bergerak dengan apa yang diterangkan lewat pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan ekonomi, membangun kesadaran umat masyarakat tingkat bawah untuk punya kesadaran rasional, maju, berbangsa, bernegara, dengan pemikiran-pemikiran pencerahan dan kemajuan.
Dia menegaskan, itulah yang harus terus dilembagakan. Di samping, dalam subjektivitas yang ada, diinternalisasikan agar menjadi uswah hasanah.
Nilai uswah hasanah menurutnya sangat penting karena kita sering mengatakan sesuatu yang baik, mempublikasikan kebaikan. Tapi, dia menyadari, mempraktikkan kebaikan terutama ketika ada banyak godaan keburukan memang tidak mudah.
Di sinilah, Haedar percaya Ma’mun dan kawan-kawan di UMJ dapat menginternalisasikan dan melembagakan apa yang tadi sudah menjadi komitmen untuk memajukan UMJ sebagai universitas Muhammadiyah tertua.
Sehingga nanti UMJ bisa bersandingan dengan UMM, UMS, UMY, dan lain-lain yang sudah memimpin. “Beberapa waktu yang lalu sudah termasuk dalam 4th Islamic University in the World,” ujarnya.
Tingkatkan Daya Saing Global
Haedar menekankan, global talent competitiveness index Indonesia masih berada di posisi nomor enam di ASEAN. Daya saing ini tolak ukurnya sumber daya manusia dengan banyak variabel.
Melihat posisi itu, Haedar menyimpulkan, Indonesia masih kalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan bahkan Brunei Darussalam. Padahal, dia tahu banyak anak Indonesia dengan talenta luar biasa.
Kemudian, dia mengungkap human development index Indonesia masih ada di posisi nomor tujuh. Menurutnya ini menjadi tantangan negara maupun persyarikatan Muhammadiyah.
Harapannya, agar kualitas pendidikan meningkat, sehingga mampu berdaya saing tinggi dengan negara-negara lain. Tetapi, dia menekankan agar tetap punya karakter sebagai bangsa yang religius, berpancasila, dan berbudaya luhur bangsa.
Kenapa? “Karena tadi Pak Mahfud MD memberikan contoh nilai shalat, kemudian Pak Zulkifli Hasan dan Pak Bambang bicara tentang dimensi keterputusan kita dari cita-cita luhur….”
Dari bahasan tokoh-tokoh itu, dia menyimpulkan, sebenarnya letak masalahnya pada integritas moral, komitmen, nilai-nilai spiritual dalam berbangsa dan bernegara.
Sesungguhnya, tambahnya, hal ini jangan dianggap sebagai parsial atau sebagai bagian pinggir dari rancang bangun pendidikan ke depan.
Rancangan Konsep Pendidikan
Apapun konsepnya, jika pendidikan itu selalu terputus pada setiap periode, ganti menteri, ganti kebijakan yang strategis dan fundamental; maka menurutnya, dari Muhammadiyah, yang punya pengalaman panjang dalam dunia pendidikan itu akan selalu mengawali, mengawali, dan mengawali. “Karena mengalami dislokasi terus!” jelasnya.
Haedar mencontohkan, kita tidak tahu apakah pendidikan sekarang yang ingin dirancang sampai tahun 2035 itu berbasis pada konsep pabrik, misal. Pabrik di era revolusi 4.0.
“Kalau itu, betapa pun merdekanya konsep pendidikan yang liberalisme, nanti menghasilkan orang-orang cerdas, pandai, tapi tidak berkarakter manusia Indonesia yang berbasis pada nilai agama, Pancasila, dan kebudayaan luhur bangsa,” tegasnya.
Padahal, dia mengatakan di Pasal 31 telah dijelaskan. Jadi menurut Prof Haedar, ini perlu jadi refleksi kita semua di tempat kita masing-masing. “Amanat itu bisa disebar secara sentrifugal lewat i’malu ala makanatikum,” ujarnya.
Maknanya, berbuatlah secara maksimal di tempat kita berada. Dia menekankan ini penting untuk reorientasi. Karena jika Indonesia itu daya aspek human development index dari daya saing tertinggal, sementara dari mentalitas juga tertinggal, maka tidak ada yang bisa dibangun secara lebih kokoh.
Rekonstruksi Konsep Pendidikan
Menurutnya, masih ada cukup waktu bagi pemerintah maupun Muhammadiyah—kekuatan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan—untuk merekonstruksi konsep pendidikan secara mendasar dan fundamental.
Agar, di samping Indonesia bisa berdaya saing dengan bangsa dan negara lain, juga bisa tumbuh maju berdasar pada karakter sebagai bangsa Indonesia.
“Toh kita sering begitu yakin dan bangga dengan Keindonesiaan, tetapi lagi-lagi bagaimana Keindonesiaan itu tidak menjadi retorika, bahan sekadar ritual, tapi terinternalisasi dan terinstitusionalisasi!” komentarnya.
Komitmen Kolektif
Terakhir, Haedar mengatakan secara khusus kepada Ma’mun Murod, dia percaya apa yang dia sampaikan itu akan jadi komitmen kolektif. “Konsolidasi UMJ secara bagus membangun semangat untuk satu kesatuan sistem, tidak menjadi bagian terpisah-pisah,” tuturnya.
Dia mengimbau untuk membangun good governence yang lebih baik lagi, termasuk tata kelola keuangan. Kemudian, dia menyarankan untuk memperluas dan membangun jaringan-jaringan yang sudah Ma’mun rintis.
“Tapi jaringan yang nanti betul-betul membawa signifikansi bagi kemajuan, bukan jaringan-jaringan yang penuh ritual atau simulakra,” tutur Haedar.
UMJ sebagai pusat pendidikan tinggi, tambahnya, membawa misi pembaharuan, tajdid Muhammadiyah, dalam kehidupan kehormatan, kebangsaan, dan kenegaraan sesuai porsi dan fungsinya.
“Jadi jaga koridor sebagai institusi pendidikan tinggi yang berada di dalam persyarikatan Muhammadiyah,” imbaunya.
Haedar yakin, kalau menjalankan peran itu, bisa merangkul semua tapi juga bisa melakukan mobilisasi potensi agar semakin produktif. Kemudian, mengagendakan perubahan sekaligus memproyeksikan masa depan secara lebih baik.
“Di situlah letak spirit Islam berkemajuan!” ujarnya. (*)
Haedar Nashir: Rekonstruksi Konsep Pendidikan secara Fundamental: Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni