Mengenang Ustadz Abdurrahim Nur, Pemimpin yang Sangat Menghormati Tamu, oleh Qosdus Sabil adalah mantan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM); dosen di sejumlah universitas Muhammadiyah; saat ini tinggal di Jakarta.
PWMU.CO – Nama Ustadz Abdurrahim Nur sudah banyak saya dengar sejak saya masih belia. Ibu saya, Sumu Zanarofah, sering menceritakan tentang bagaimana sosok Ustadz Abdurrahim Nur sebagai salah seorang dosen favoritnya di Fakultas Ushuluddin IAIN—kini UIN—Sunan Ampel Surabaya.
Bagi Ibu, Ustadz Abdurrahim Nur adalah sosok dosen teladan yang sulit dicari padanannya. Selain memiliki kedalaman ilmu, dia juga sangat telaten dalam membimbing mahasiswanya.
“Ustadz Abdurrahim sangat santun dan sabar dalam membimbing semua mahasiswanya. Beliau dekat dengan semua kalangan,” kenang Ibu.
Tak heran jika kemudian Ustadz Abdurrahim Nur pernah dipercaya untuk menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Interaksi Langsung dengan Ustadz
Interaksi langsung dengan Ustadz Abdurrahim Nur bermula ketika saya masih menjadi aktivis di Universitas Muhammadiyah Jember. Pertemuan saya dengan beliau seringkali terjadi ketika hari sudah larut malam, bahkan tidak jarang dini hari.
Sesuatu yang sungguh tidak pernah saya duga sebelumnya. Bahwa ada seorang tokoh besar seperti beliau yang masih mau melayani dan menemui kami di saat umumnya orang lain sudah terlelap istirahat.
Pernah suatu hari kami berombongan dari Jember mampir ke kediaman Ustadz Abdurrahim Nur di Porong Sidoarjo. Hari sudah sangat larut malam. Ketika kami ketok pintu sembari mengucap salam, Mas Muhammad Misdasy, putra beliau, menjawab salam dan membukakan pintu.
Mas Mirdasy kaget dengan kedatangan kami di tengah malam yang sudah larut itu.
“Ada apa ini kok malam-malam sekali?” tanyanya.
Belum sempat kami jawab Mas Mirdasy melanjutkan: “Tapi mohon maaf banget ya Mas, ayah baru saja istirahat.”
Di saat kami baru bicara beberapa kalimat dengan Mas Mirdasy, tiba-tiba terdengar suara Ustadz Abdurrahim dari dalam kamarnya.
“Anak-anak dari Jember ya?” tanya Ustadz.
“Injih Ustadz,” jawab kami serentak.
“Ayo-ayo monggo masuk saja, tunggu sebentar ya”, ujarnya menyilakan kami.
“Injih Ustadz, maturnuwun,” jawab kami dengan gembira.
Sembari menunggu Ustadz Abdurrahim, kami pun ngobrol sejenak dengan Mas Mirdasy. Sebelumnya saya sudah sempat berjumpa dan mengenal Mas Mirdasy saat menjadi peninjau sebuah acara Latihan Instruktur IMM Universitas Muhammadyah Yogyakarta di Pusbangdikti Kaliurang,Yogyakarta.
Sabar Berdialog
“Bagaimana Mas perkembangannya Unmuh (Universitas Muhammadiyah) Jember sekarang?” tanya ustadz Abdurrahim Nur membuka pembicaraan.
Kami pun menjelaskan perkembangan terkini mengenai konflik yang terjadi di Unmuh Jember, sembari menyerahkan beberapa surat dan dokumen terkait kasus yang sedang terjadi.
Ustadz Abdurrahim Nur terlihat menyimak penjelasan kami dengan seksama. Sesekali beliau juga langsung menanggapi argumen kami dengan sabar. Beliau sangat memahami tentang kekhawatiran kami sebagai mahasiswa atas konflik kepemimpinan yang terjadi saat itu di kampus Unmuh Jember saat itu.
Tampak di depan kami aura yang sangat kuat terpancar dari sosok Ustadz Abdurrahim Nur sebagai seorang yang alim. Tutur kata yang santun, disertai dengan nasihat-nasihat bijak untuk menjadi solusi atas masalah yang sedang kami hadapi. Rasanya sangat menenangkan dan menghibur kami.
Itulah mengapa, setiap kami hendak menemui Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Yogyakarta, kami selalu menyempatkan sowan terlebih dahulu ke rumah beliau di Porong. Atau sebaliknya, setelah kami mendapatkan arahan dari PP Muhammadiyah, kami biasanya juga akan melaporkan hasilnya kepada beliau.
Dikarenakan kami melakukan perjalanan di malam hari—baik ketika berangkat dari Jember maupun dari Yogyakarta—maka bisa dipastikan kami akan sampai di Porong saat hari sudah larut malam.
Saat itu kami biasanya langsung mampir ke rumahnya begitu saja. Tanpa telepon atau membuat janji terlebih dahulu. Maklum di masa itu mencari wartel masih cukup sulit, di samping itu biasanya kadang antre. Belum lagi pulsa telepon yang masih relatif mahal. Tidak seperti sekarang di mana komunikasi melalui handphone bisa dilakukan dengan begitu mudah.
Sangat Menghormati Tamu
Namun Alhamdulillah, beliau selalu menerima kedatangan kami dengan penuh kehangatan. Sikapnya sangat terbuka dan mau mendengarkan berbagai persoalan yang sedang kami hadapi. Pun saat kami sedang diliputi kemarahan, beliau masih mau melayani kami dengan penuh perhatian.
Hingga di saat kami pamit dari rumahnya, sambil berjalan menyertai kami ke halaman, beliau dengan penuh kehangatan memberikan nasihat-nasihatnya. Tak jarang sambil menepuk-nepuk pundak kami, sebuah kedekatan emosional seperti dengan ayah kami sendiri.
Sebuah akhlak pemimpin yang sangat dekat dengan umatnya terlihat jelas dari sosok Ustadz Abdurrahim Nur ini. Cara beliau menerima tamu penuh dengan pengormatan. Beliau benar-benar ingin mengamalkan hadits Nabi SAW dalam memuliakan tamu.
Beliau tak segan mengambilkan minuman dan membawakan sendiri nampan minuman untuk disuguhkan kepada kami. Hingga kami kadang merasa sungkan telah merepotkannya. Termasuk kebiasaan Ustadz Abdurrahim Nur mengamalkan adab untuk mengantarkan tamu hingga ke halaman dan melepasnya hingga kami hilang dari pandangan.
Hal-hal sederhana, namun memiliki kedalaman makna yang luar biasa. Sebuah kebiasaan memuliakan tamu adalah salah satu amalan penting bagi orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir. Sebagaimana sunnah Nabi SAW yang memerintahkan kepada umatnya yang beriman kepada Allah dan hari akhir agar memuliakan tamunya.
Adab memuliakan tamu merupakan sebuah amalan ringan, namun akan terasa sangat berat jika tidak dibiasakan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memuliakan tamu tidak harus dengan menyediakan jamuan yang mahal dan mewah. Apalagi jika tamunya pejabat penting maka biasanya kita akan mengusahakan servis dan jamuan terbaik. Namun sebaliknya jika tamunya orang biasa saja, maka sambutan ala kadarnya dan suguhan seadanya saja, sembari berharap orang yang bertamu tersebut cepat pulang.
Rasanya sekarang sangat jarang kita dapat menjumpai seorang tokoh, yang masih mau meluangkan waktu istirahatnya hingga larut malam untuk melayani keperluan ummatnya dengan penuh kesantunan.
Umumnya yang terjadi, banyak di antara pemimpin yang sulit ditemui ketika rakyatnya mendapatkan masalah. Padahal saat kampanye mereka berjanji siap 24 jam mengabdi kepada rakyat.
Pemimpin Langka
Sosok Ustadz Abdurrahim Nur mengngakan saya pada Khalifah Umar bin Khattab. Keteladanannya dalam memimpin dan melayani umat, abadi dicatat oleh tinta emas. Kita dapat membaca sejarah, betapa Khalifah Umar bin Khattab melakukan blusukan pada waktu malam. Blusukan dilakukan secara serius untuk melihat langsung keadaan ummatnya. Bukan blusukan yang penuh tipudaya pencitraan disertai dengan gegap gempitanya liputan media.
Yang dilakukan oleh Khalifah Umar adalah langkah untuk mengecek langsung kondisi di lapangan, tidak hanya mengandalkan laporan saja. Ketika ada yang terlewat dari sebuah “program” layanan keumatan, maka dia langsung mengambil tanggung jawab untuk segera memberikan problem solving atas masalah yang terjadi.
Umar bin Khattab bahkan tidak segan menolak bantuan sahabatnya. Dia memilih untuk memikul sendiri sekarung gandum untuk diantarkannya kepada sebuah keluarga yang sedang menderita kelaparan.
Saya berkeyakinan, sosok Ustadz Abdurrahim Nur termasuk orang yang sedikit tidur di waktu malam. Seperti kisah Nabi dan para sahabat, atau kisah para sufi yang nyaris menghabiskan waktu malamnya untuk bermunajat kepada Tuhannya.
Semaraknya pengajian Ahad pagi yang kini banyak diselenggarakan oleh berbagai level Pimpinan Daerah atau Cabang Muhammadiyah hari ini, rasanya sedikit banyak telah terinspirasi dari Pengajian Fajar Shadiq yang dirintis oleh Ustadz Abdurrahim Nur.
Teringat jelas di benak saya betapa membeludaknya jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut, khususnya masa-masa menjelang reformasi 1998. Dapat dipastikan Jalan Raya Porong-Sidoarjo akan macet oleh berjubelnya ribuan jamaah yang hadir. Kharisma Ustadz Abdurrahim Nur sebagai sosok ulama yang sejuk menjadi daya tarik jamaah.
Saya berdoa semoga Ponpes Nurul Azhar akan melahirkan sosok-sosok Abdurrahim Nur baru. Dan semoga kita semua dapat merawat keteladanan dan meneruskan perjuangan dakwah allahuyarham Ustadz Abdurrahim Nur. Amin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Tulisan ini untuk mengenang wafatnya KH Abdurrahim Nur allahumma yarham, tanggal 29 Mei 2007. Kepergiannya meninggalkan banyak kenangan bagi keluarga, murid-murid, kolega, dan handai taulan.
Abdurrahim Nur lahir pada 17 September 1932. Dia adalah Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur 1987-2000.