PWMU.CO– Sila keempat Pancasila selama ini ditafsiri sebagai konsep demokrasi. Bahkan sekarang menjadi demokrasi liberal.
Isi sila keempat Pancasila adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Ternyata rumusan sila keempat Pancasila yang panjang itu berasal dari Muhammad Yamin, anggota BPUPK (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan). Pidatonya pada 29 Mei 1945 dalam sidang BPUPKI, dia mengajukan dasar negara terdiri lima dasar yaitu Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, Kesejahteraan Rakyat.
Untuk dasar keempat Peri Kerakyatan dalam buku Himpunan Risalah Sidang-Sidang BPUPKI dan PPKI, ternyata Muhammad Yamin menjelaskan sila keempat itu dengan prinsip Islam mengatur negara. Kalau diringkas inti penjelasannya seperti ini.
A. Permusyawaratan
Al-Quran menyebut pemeliharaan negara seperti surat asy-Syuara ayat 38, bunyinya wa amruhum syuraa bainahum. Segala urusan mereka dimusyawaratkan.
Perintah ini jelas dan terang. Sejarah Rasul Allah dan khalifahur rasyidin menerapkan
permusyawaratan bersama dijalankan sebaik-baiknya, sehingga segala umat atau wakilnya dapat ikut campur dalam penyusunan dan pelaksanaan negara.
Musyawarah menjadi kekuatan, karena membuka kesempatan kepada orang yang berkepentingan, membesarkan tanggung jawab warga negara, dan menimbulkan kewajiban yang tidak mengikat hati.
Tiga dasar permusyawaratan memberi kemajuan kepada umat yang hidup dalam negara yang dilindungi oleh kebesaran ketuhanan.
Pertama: Karena dengan dasar musyawarat itu manusia memperhalus perjuangannya dan bekerja di atas jalan ketuhanan dengan membuka pikiran dalam permusyawaratan sesama manusia.
Kedua: Oleh permusyawaratan, maka negara tidaklah dipikul oleh seorang manusia atau pikiran yang berputar dalam otak sebuah kepala, melainkan dipangku oleh segala golongan, sehingga
negara tidak berpusing di sekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai suatu batang tubuh, yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan atau perbedaan kerja, tetapi untuk kesempurnaan seluruh badan.
Ketiga: Permusyawaratan mengecilkan atau menghilangkan kekhilafan pendirian atau kelakuan orang-seorang, permusyawaratan membawa negara kepada tindakan yang betul dan menghilangkan segala kesesatan.
Setelah agama Islam masuk ke tanah Indonesia dan berkembang ke dalam masyarakat desa, maka dasar mufakat hidup kembali dengan suburnya, karena dengan segera bersatu dengan firman musyawarah.
Permusyawaratan bersatu-padu dalam peradaban Indonesia. Perpaduan dasar tata negara itu sungguhlah dengan istimewa memberi corak kepada rasa ketatanegaraan Indonesia, karena dalam dasar itu tersimpan ketuhanan.
B. Perwakilan
Bangsa Indonesia terdiri dari persekutuan hukum 21.000 desa di Pulau Jawa, 700 negeri di Minangkabau, Borneo, Bugis, Ambon, Minahasa dan lain-lain.
Susunan persekutuan pada garis-garis besar tak rusak dan begitu kuat sehingga tak dapat diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa.
Segala persekutuan hukum adatdi seluruh Indonesia lebih banyak sama daripada perbedaan.
Kekuatan persekutuan itu memberi jaminan kepada sifat perwakilan dan di atas sifat perwakilan inilah terpilih orang yang memegang kekuasaan dan perwakilan yang menjadi dasar susunan desa, negeri, dusun, marga.
Menurut peradaban Indonesia, maka permusyawaratan dan perwakilan itu adalah di bawah pimpinan hikmah kebijaksanaan yang bermusyawarat atau berkumpul dalam persidangan.
Dasar perwakilan itu ialah tenaga yang kuat dan yang memberi warna dan aliran istimewa kepada keinginan orang Indonesia kepada susunan tata negara.
Perwakilan tidaklah saja menguatkan persekutuan hukum adat dalam tata negara bagian bawah, tetapi juga menjadi pedoman dalam keinginan bangsa sekarang dalam menyusun tata negara.
C. Kebijaksanaan
Jalan kebijaksanaan adalah rasionalisme. Pembentukan masyarakat dan susunan negara mewujudkan suatu pembaruan. Pembaruan itu tidak boleh lepas dari ketuhanan seperti yang tersebut dalam perintah Tuhan dalam kitab Quran dan harus sejajar dengan adat pusaka Indonesia yang sudah diperbarui menjadi rasional.
Hikmah kebijaksanaan yang menjadi pimpinan kerakyatan Indonesia yaitu rasionalisme yang sehat, melepaskan dari anarki, liberalisme, dan semangat penjajahan. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto