Melonjak Pasca-Lebaran, Prof Maksum: Diperparah Varian Baru Corona—selain tingginya mobilitas penduduk selama Lebaran dan buruknya tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan dan mentaati protokol kesehatan.
PWMU.CO – Kasus Covid-19 di Indonesia dalam beberapa hari terakhir ini melonjak tajam. Lonjakan tercatat di beberapa kabupaten kota dan provinsi. Antara lain di Provinsi Aceh, Maluku Utara, NTB, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Riau, Sumatera Barat, termasuk di Bangkalan, Jawa Timur.
Prediksi Menteri Kesehatan RI—bahwa dalam liburan Idul Fitri, akan terjadinya lonjakan kasus Covid–19 pada pertengahan bulan Juni 2021—tampaknya sudah mulai menjadi kenyataan.
Untuk mengetahui fenomena yang sedang terjadi, PWMU.CO mewawancara Prof Dr Maksum Radji, M. Biomed Apt, pakar mikrobiologi yang sekaligus Ketua Dewan Pembina Pondok Babussalam Socah, Bangkalan, Madura. Wawancara dilakukan secara daring, Senin, (14/06/2021). Berkut petikannya:
Apa Faktor Lonjakan Kasus Baru di Madura?
Sebetulnya kemungkinan adanya lonjakan kasus Covid-19 pascaliburan Idul Fitri di beberapa daerah di Tanah Air ini sudah diprediksi beberapa waktu yang lalu.
Fenomena ini, termasuk di pulau Madura, erat kaitannya dengan tingginya mobilitas penduduk selama Lebaran dan buruknya tingkat kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan dan mentaati protokol kesehatan.
Juga kemampuan testing dan tracing (pelacakan) yang masih rendah sehingga jumlah kasus terkonfirmasi positif yang dilaporkan seolah-olah rendah, dan masih rendahnya cakupan vaksinasi di beberapa daerah di Indonesia.
Di samping itu, kesadaran masyarakat umumnya masih sangat rendah terhadap adanya wabah Covid-19. Banyak pasien yang enggan memeriksakan kesehatannya ke rumah sakit, dan baru bersedia ke rumah sakit ketika kondisinya sudah berat atau sangat parah, menyebabkan banyak pasien Covid-19 yang tidak bisa bertahan dan kemudian meninggal dunia usai mendapat perawatan.
Terjadinya penularan lokal varian baru virus Corona penyebab Covid-19 yaitu virus SARS-CoV-2 yang lebih cepat menular juga memperparah kondisi saat ini. Telah dilaporkan ada 28 kasus varian Delta (B1617.2) yang pertama kali ditemukan di India, telah terdeteksi dari pasien saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 yang tinggi belakangan ini di Kudus
Kenapa ada variasi virus India, Inggris dan Afrika?
Mutasi virus adalah hal yang lazim ditemui dalam masa pandemi. Sebagaimana virus lainnya, virus SARS-CoV-2 juga dapat bermutasi secara alamiah. Mutasi virus ini disebabkan karena ada kesalahan dalam penyalinan genom virus saat proses replikasinya di dalam sel inangnya.
Sehingga sebagian urutan asam nukleat sel virus anakan, tidak sama dengan sel induk virus (parental strain). Apalagi virus SARS-CoV-2 yang merupakan virus RNA yang memiliki frekuensi lebih tinggi untuk bermutasi dibandingkan dengan golongan virus DNA.
Dalam berbagai publikasi telah dilaporkan telah terjadi banyak sekali mutasi genomik virus SARS-CoV-2, khususnya terjadi pada gen yang mengkode produksi glikoprotein S (spike)-nya, yang merupakan protein penting untuk berikatan dengan reseptor angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) yang terdapat pada permukaan membran sel hospes agar bisa masuk dan bereplikasi di dalam sel khususnya di dalam sel-sel saluran pernafasan manusia.
Virus SARS-CoV-2 yang telah mengalami berbagai mutasi inilah yang kemudian dikenal dengan varian baru virus penyebab Covid-19. Jadi varian adalah versi virus SARS-CoV-2 yang memiliki kombinasi mutasi spesifik di dalam genomnya, khususnya pada fragmen gen S (spike)-nya.
Menurut Prof Amin Subandrio, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, sampai saat ini telah tercatat sekitar 70 kasus varian SARS-CoV-2, yang tersebar di DKI hingga Jateng, dan beberapa daerah lainnya.
Sebagaimana yang dilansir pada laman health.detik.com, tanggal 9 Juni yang lalu, berdasarkan kajian whole genome sequencing (WGS) yang telah dilakukan ditemukan varian Alpha sebanyak 34 kasus, varian Delta 31 kasus, dan varian Beta sebanyak 5 kasus. Varian-varian ini termasuk dalam katagori variant of concern yang lebih berbahaya dibandingkan dengan virus SARS-COV-2 aslinya.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menyebutkan ledakan Covid-19 di Kudus dipengaruhi oleh varian Delta B1617.2, yaitu varian yang pertama kali dideteksi di India.
Demikian pula temuan Institute of Tropical Disease (ITD) Unair, yag menyatakan telah menemukan dua varian yaitu varian Alpha (B.117) yang awalnya ditemukan di Inggris dan varian Beta (B.1351) asal Afrika Selatan yang dianalisis dari sampel pekerja migran dari Bangkalan dan Jember pada 12 Mei 2021 yang lalu. Hal ini membuktikan bahwa sebaran lokal varian-varian baru SARS-CoV-2 perlu diwaspadai dan mendapatkan perhatian yang serius.
Varian virus SARS-COV-2 yang perlu diwaspadai?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membagi varian Virus SARS-CoV-2 ini menjadi tiga golongan yaitu: pertama, variant of interest; kedua, variant of concern; dan ketiga adalah variant of high consequence.
WHO telah menetapkan empat varian yang termasuk dalam variant of concern yaitu: (i). Varian Alfa (B.117), varian yang pertama kali ditemukan di Inggris Raya, September-2020; (ii). Varian Beta (B.1.351), varian yang ditemukan di Afrika selatan, Mei-2020; (iii). Varian Gamma (P.1) yang pertama kali ditemukan di Brazil, November-2020; dan (iv), Varian Delta (B.1.617.2) yang ditemukan di India pada Oktober-2020.
WHO menjelaskan nama-nama baru untuk varian SARS-CoV-2, menggunakan alfabet Yunani (Alpha-Kappa) pada awal bulan Juni 2021, yang sebelumnya dikaitkan dengan nama daerah atau negara tertentu. Penamaan varian-varian virus SARS CoV-2 ini bertujuan untuk menghindari adanya stigmatisasi dan asosiasi pada negara dan juga warga negaranya.
Sedangkan yang termasuk dalam katagori variants of Interest antara lain adalah: (i). Varian Epsilon (B.1.427/B.1.429), terdeteksi pertama kali di Amerika Serikat pada bulan Maret-2020; (ii). Varian Zeta (P.2), terdeteksi di Brazil Brazil, April-2020; (iii). Varian Eta (B.1.525), telah terdeteksi di berbagi negara, Desember-2020; (iv). Varian Theta (P.3), terdeteksi di Philippines, Januari-2021; (v). Varian Iota (B.1.526) terdeteksi di Amerika Serikat, pada November-2020; (vi). Varian Kappa (B.1.617.1), terdeteksi pertama kali di India, pada bulan Oktober-2020.
Saat ini belum ada varian SARS-CoV-2 yang termasuk dalam variant of high consequence.
Varian-varian SARS-CoV-2 yang perlu diwaspadai terutama variant of concern karena telah terbukti dapat menyebabkan peningkatan penularan, penyakit yang lebih parah, secara signifikan mempengaruhi efektivitas vaksin yang digunakan, dan adanya penurunan efektivitas pengobatan, serta berdampak pada sensitivitas deteksi.
Terhadap variant of concern ini diperlukan tindakan kesehatan masyarakat yang tepat, untuk pengendalian penyebarannya, meningkatan 3T (testing, tracing, dan treatment), genomic surveillance, atau penelitian untuk mengetahui efektivitas vaksin dan pengobatan dan pengembangan diagnostik yang saat ini digunakan.
Apa yang membuat varian SARS CoV-2 sangat berbahaya?
Varian-varian virus SARS-CoV-2 ini sebagian besar memiliki mutasi pada protein S (spike), yaitu bagian dari virus yang merupakan protein yang dapat mengenali dan berikatan dengan reseptor ACE2 yang terdapat pada sel manusia. Ikatan antara protein S (spike) dengan reseptor ini menjadi jalan masuk virus ke dalam sel manusia untuk memulai proses infeksi. Mutasi pada gen S (spike) pengikat reseptor ini, dapat meningkatkan afinitas virus terhadap sel manusia, yang memungkinkannya untuk berkembang lebih cepat.
Salah satu mutasi yang paling mengkhawatirkan di gen S (spike) ini dikenal sebagai E484K, di mana asam amino glutamat digantikan oleh asam amino lisin pada posisi 484 pada protein S.
Mutasi ini telah ditemukan dalam beberapa varian, antara lain pada varian Eta (B.1.525), varian Gamma (P.1), varian Beta (B.1.351), dan varian Alpha (B.117). Mutasi ini juga dapat membantu virus menghindari sistem kekebalan. Itulah sebabnya varian dengan mutasi ini lebih mungkin menginfeksi kembali orang yang sudah pernah tertular Covid-19 atau yang telah mendapatkan vaksinasi.
Demikian pula, mutasi N501Y dalam domain pengikatan reseptor juga telah diidentifikasi dalam varian Gamma (P.1), varian Alpha (B.117), dan varian Beta (B.1.351). Mutasi N501Y juga dapat meningkatkan penularan virus.
Ada juga mutasi di luar domain pengikat reseptor yang dapat mengubah keseluruhan bentuk protein S (spike) sehingga lebih efisien dalam menyerang sel dan mengikat sel target yang lebih kuat, serta mengelabui kerja dari sistem kekebalan. Namun demikian, para peneliti masih terus bekerja untuk memastikan bagaimana mekanisme varian-varian ini menjadi lebih virulen.
Apa hubungan lonjakan kasus di Indonesia dengan fenonema “tsunami” Covid-19 di India?
Ini merupakan pertanyaan yang sangat menarik. Sebagaimana telah kita ketahui kasus Covid-19 baru setiap harinya di India dilaporkan sangat tinggi, bahkan pernah mencapai lebih dari 300.000 orang per-hari, selama dua pekan terakhir.
Kasus tersebut telah menyebabkan kekurangan ruang rawat rumah sakit, tenaga kesehatan, alat pelindung, oksigen, dan bahkan kapasitas krematorium. Salah satu faktor yang berperan adalah varian SARS-CoV-2 yang dikenal sebagai varian Delta (B.1.617.2) yang kali pertama diidentifikasi di India pada Oktober 2020, dan sejak itu kini telah ditemukan di setidaknya 40 negara, termasuk di Indonesia.
Varian Delta ini, yang menjadi varian dominan di India, mengandung beberapa mutasi utama pada gen S (spike), yang dapat meningkatkan kecepatan penularan dan mengurangi efektivitas antibodi yang dimiliki oleh beberapa orang telah mendapatkan vaksinasi atau telah terinfeksi oleh virus SARS-CoV-2 sebelumnya. Selain itu, India juga menghadapi varian Alpha (B.117) dan varian Beta (1.351).
Merebaknya kasus Covid-19 di India ini, selain diduga akibat kurang patuhnya masyarakat dalam mentaati anjuran protokol kesehatan terhadap penularan virus SARS-CoV-2, juga karena penurunan kekebalan akibat merebaknya varian Delta yang lebih mudah ditularkan sehingga memungkinkan terjadi infeksi ulang.
Di samping itu, longgarnya pembatasan pertemuan publik, adanya festival keagamaan besar, dan adanya demonstrasi politik, menyebabkan tingginya kerumunan masal di India.
Meskipun India merupakan salah satu produsen vaksin terbesar di dunia, namun tingkat vaksinasi Covid-19 masih rendah rendah, karena jumlah penduduknya yang amat besar. Lebih dari 253 juta suntikan telah diberikan di India, namun untuk mencapai herd immunity atau kekebalan kelompok di negara itu, perlu waktu beberapa tahun lagi.
Masyarakat kita memang belum sepenuhnya mempercayai wabah virus Covid-19 ini, sehingga sering abai terhadap imbauan taat protokol Kesehatan. Demikian juga tentang vaksinasi. Dari berbagai survei yang dilakukan di beberapa daerah, termasuk di DKI, ada satu dari tiga orang yang tidak mau divaksin.
Inilah tantangan utama bagi pemerintah dan tokoh masyarakat untuk menyadarkan akan bahaya dari wabah Covid-19. Virus Covid-19 itu nyata dan terbukti ada di sekitar kita. Bagi Indonesia “tsunami Covid-19” di India, harus menjadi pembelajaran yang serius, agar fenomena yang terjadi di India tersebut tidak sampai terjadi di Indonesia.
Pentingkah vaksinasi meskipun ada varian virus baru?
Vaksin adalah substansi yang penting dalam menanggulangi wabah pandemi Covid-19, dan bermanfaat dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Serta mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat Covid-19.
Kita tidak boleh menunda vaksinasi karena kekhawatiran kita tentang varian baru. Kita harus melanjutkan vaksinasi dan meningkatkan kecepatan program vaksinasi. Maskipun vaksin mungkin kurang efektif terhadap beberapa varian virus Covid-19. Semakin cepat kita dapat menyelesaikan program vaksinasi massal akan semakin cepat mencapai herd immunity, sehingga penyebaran virus penyebab Cocid-19 ini akan cepat dapat dihentikan.
Dengan vaksinasi kita dapat melindungi diri kita dan juga orang lain di sekitar kita. Di Indonesia data vaksinasi saat ini telah mencapai angka sekitar 32 juta, yang terdiri dari suntikan vaksin pertama dan kedua.
Bila kecepatan saat ini di Indonesia baru mencapai sekitar 400 ribu suntikan vakksin perhari, maka bisa dibayangkan berapa lama Indonesia akan mencapai herd immunity. Oleh sebab itu percepatan dan dukungan masyarakat terhadap program vaksinasi massal ini perlu terus ditingkatkan.
Efektifkah vaksin yang digunakan saat ini?
Hingga saat ini WHO masih percaya sebagian besar vaksin Covid-19 yang beredar saat ini antara lain Moderna, Johnson & Johnson, dan Pfizer/BioNTech tetap efektif terhadap varian-varian baru SARS-CoV-2, dalam mencegah terjadinya gejala berat Covid-19, rawat inap, dan kematian akibat infeksi virus penyebab Covid-19, termasuk varian-vrian baru SARS-CoV-2.
Berdasarkan hasil sebuah penelitian baru-baru ini yang dipublikasikan di Jurnal Lancet dilaporkan bahwa dua dosis vaksin Pfizer- BioNTech sangat efektif untuk semua kelompok usia dalam mencegah infeksi SARS-CoV-2, untuk mencegah keparahan penyakit, mengurangi rawat inap dan kematian akibat COVID-19 termasuk yang disebabkan oleh varian Alpha (B.117) dan varian Beta (B.1.351), meskipun efektivitasnya sedikit berkurang.
Bukti terbaru menunjukkan, setidaknya bagi orang yang sebelumnya pernah terinfeksi secara alami, atau telah memperoleh dosis vaksinasi lengkap, dapat memberikan antibodi netralisasi tinggi terhadap varian-variab SARS-CoV-2 yang beredar. Hasil penelitian menunjukkan pada 14 hari setelah vaksinasi kedua, perlindungan yang diberikan meningkat menjadi 96,5 persen perlindungan terhadap infeksi, 98 persen terhadap rawat inap, dan 98,1 persen terhadap kematian.
Dalam penelitian lainnya yang dilakukan di Qatar, yang ditulis pada New England Journal of Medicine vaksin Pfizer- BioNTech memiliki efektivitas 89,5 persen dalam mencegah varian Alpha (B.117) pada 14-21 hari setelah dosis kedua, dan 75 persen efektif terhadap infeksi varian Beta (B.1.351).
Sedangkan vaksin Novavax yang diuji coba di Afrika Selatan, memiliki efektivits sekitar 60 perseen dan menurunkan risiko infeksi simtomatik sebesar 55 persen terhadap varian Beta (B.1.351). Pada umumnya vaksin yang saat ini digunakan masih cukup efektif, walaupun terjadi pengurangan efektivitasnya untuk jenis varian tertentu.
Saat ini kita belum bisa memprediksi seperti apa akhir dari pandemiCovid-19. Oleh sebab itu para peneliti sudah mulai bersiap-siap untuk mengembangkan platform vaksin generasi kedua untuk mengantisipasi munculnya varian baru yang lebih resisten terhadap vaksin yang ada.
WHO bekerja sama dengan para peneliti, para pemangku kepentingan dalam bidang kesehatan, dan para ilmuwan untuk memahami bagaimana perilaku varian-varian SARS-CoV-2, termasuk dampaknya terhadap efektivitas vaksin.
Adapun langkah penting saat ini untuk mencegah penularan virus penyebab Covid-19, selain percepatan program vaksinasi massal guna mencapai herd immunity atau kekebalan komunitas, adalah dengan cara mematuhi anjuran protokol kesehatan, termasuk sering mencuci tangan, memakai masker, menjaga jarak, menghindari kerumunan atau tempat tertutup.
Serta pemerintah perlu meningkatkan 3T (testing, tracing, treatment) guna mencegah penyebaran virus penyebab Covid-19, dan untuk menghindari munculnya varian-varian SARS-CoV-2 yang baru.
Semoga Allah yang Maha Kuasa senantiasa melindungi kita semua. Amin. (*)
Penulis Isrotul Sukma Editor Mohamad Nurfatoni