Keresahan Sosial Sudah Muncul di Tengah Pandemi Covid oleh Sugeng Purwanto, Ketua Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jawa Timur.
PWMU.CO– Ada joke yang beredar di masyarakat. Sebenarnya Covid-19 itu tidak ada. Kecuali di sekolah dan masjid. Mungkin ini guyonan. Tapi tak dipungkiri dua tempat itu perlakuannya sangat ketat. Bandingkan dengan kerumunan di plaza dan pasar yang terjadi tiap hari.
Bisa jadi joke itu muncul juga sebagai sindiran kepada pemerintah yang saat menangani Covid menampakkan banyak ironi. Melarang rakyatnya mudik, tapi gelombang tenaga kerja asing masuk dilos saja. Dari Cina dan India, misalnya.
Ketika di Bangkalan ditemukan virus corona varian baru India, para pejabat langsung panik. Disebut klaster mudik. Akibatnya arus mobilitas di jembatan Suramadu disekat. Diseleksi untuk masuk Surabaya. Orang harus tes antigen. Tak pelak terjadi antrean panjang. Waktu jadi terbuang. Mengganggu kepentingan orang.
Maka puncak kejengkelan meledak Jumat (18/6/2021) lalu. Terjadi kericuhan di pos penyekatan. Orang-orang merusak barang dan tenda pemeriksaan tes antigen. KTP hilang hanya sebab pemicu. Intinya, itu letupan keresahan sosial. Gejala social unrest.
Begitu juga bentrok antara supporter Bonek dengan polisi, Jumat (18/6/2021) tengah malam. Dengan alasan Covid, Bonek dilarang berkerumun merayakan ulang tahun Persebaya di Stadion Tambaksari. Saat polisi menghadang, Bonek pun melawan.
Alasan untuk melawan bisa dicari-cari. Misalnya, kalau kerumunan pesta ulang tahun Gubernur Khofifah di rumah dinas Grahadi dibiarkan, kenapa Bonek ingin merayakan ulang tahun Persebaya dibubarkan. Pakai tembakan gas air mata lagi.
Ketidakadilan
Ketidakadilan dalam penanganan Covid inilah yang menjadi soal. Hanya berlaku untuk rakyat. Rakyat itu pada dasarnya patuh pada penguasa. Dalam catatan sejarah, sudah terbiasa dibuat pasrah, nrimo, oleh sistem kekuasaan feodal. Rakyat itu sejak dulu diperlakukan sebagai abdi yang ngawula pada Gusti Ratu.
Baru-baru ini saja baru sadar bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan negara setelah belajar demokrasi. Tapi sayangnya Gusti Ratu, hulubalang, dan kaki tangannya masih saja berprinsip bumi, air, dan kekayaan alam adalah milik anggota kerajaan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran kroninya.
Buktinya, dana bantuan sosial untuk rakyat terdampak Covid yang triliunan rupiah diembat oleh bekas Menteri Sosial Juliari Batubara dan kroni-kroninya dari PDIP.
Dalam catatan sejarah juga, rakyat yang dianggap abdi, babu,gedibal yang biasa nrimo ternyata bisa bangkit mengadakan gerakan perlawanan kalau sang gusti sudah keterlaluan mengeksploitasi, menindas. Melihat perilaku pejabat yang melanggar aturannya sendiri. Janji yang tak dipenuhi. Inilah ketidakadilan yang harus dimusnahkan.
Di tengah penanganan pandemi Covid-19 sudah melahirkan ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan bisa menggumpal menjadi keresahan sosial kalau pemerintah masih menunjukkan ketidakadilan. Karena pandemi membawa ancaman pada kekurangan pangan, PHK, dan pembatasan gerak.
Tiga ancaman ini membuat orang stres. Sekarang ini orang sudah tak takut tertular Covid seperti di awal wabah karena dianggap seperti penyakit biasa. Nrimo saja kalau terjangkit. Wis takdire. Tapi kalau sampai kena PHK karena pabriknya kukut, itu bencana besar. Bukan hanya bagi dirinya, juga anak istrinya. Sebab pemerintah tak menjamin makanan bagi rakyat yang ter-PHK.
Mencegah keresahan sosial menjadi ledakan besar yang bisa mengguncang negara, maka tugas pemerintah untuk mengendorkan ketegangan rakyat.
Caranya, pertama, bertindaklah adil dalam penanganan Covid. Yang salah nyatakan salah, yang benar, jangan dicari-cari kesalahannya. Misalnya, kasus pelaporan terhadap kerumunan ulang tahun Gubernur Khofifah segera diselesaikan. Jangan diambangkan karena merasa kikuk.
Kedua, pejabat jangan nekat korupsi di tengah masa pandemi sebab memunculkan kejengkelan rakyat. Karena APBN dibiayai dari utang yang harus ditanggung semua rakyat.
Ketiga, pejabat kalau bicara jangan mencla-mencle yang membuat bingung rakyat. Contoh, apa beda pulang kampung dan mudik. (*)