PWMU.CO – Visi Gender Aisyiyah pada Kongres Perempuan 1928. Siti Syamsiyatun Chirzin PhD membahasnya pada seri Kajian Kapita Selecta Dakwah #23, Senin (21/6/21).
Ini sesuai tema kajian virtual yang Laboratorium Dakwah Yayasan Shalahuddin Budi Mulia gelar pagi itu, yaitu “Perjuangan Dakwah Siti Moendjijah dan Siti Hajinah“.
Adik bungsu (ke-9) Prof Habib Chirzin itu pernah menyinggung peran kedua srikandi Aisyiyah itu dalam tulisannya berjudul “Conflict and Islah Strategy of Muslim Women Organization: Case Study of ‘Aisyiyah in Intra and Inter-Organizational Divergence“.
Selain menerangkan perjuangan Siti Moendjijah pada Menakjubkan! Pidato Siti Moendjijah di Kongres Perempuan 1928 dan Pemikiran Kontroversial Siti Moendjijah tentang Poligami, Siti Syamsiyatun juga memaparkan perjuangan Siti Hajinah.
Persatuan Manusia ala Siti Hajinah
Siti Syamsiyatun menyatakan, Siti Hajinah menunjukkan keselarasan antara ucapan dan perilaku yang mencerminkan persatuan manusia. Hal ini dia cerminkan pada sikap mau bergaul dengan banyak orang di kongres tersebut. Meskipun, mereka berasal dari beragam aliran.
Siti Hajinah menuturkan hidup manusia harus bergaul dan rukun berdamai. Karena, pada dasarnya hidup manusia seperti badan, terdiri dari bagian-bagian yang berbeda-beda bentuk tapi tetap bersatu padu.
Menariknya, menurut Siti Syamsiyatun, Siti Hajinah memaparkan tiga contoh perumpamaan persatuan. “Coba lihatlah air. Air itu kalau belum beku mudah berceceran. Tapi kalau air itu sudah menyatu, beku menjadi es, tidak mudah untuk dipecah-pecah,” ujarnya.
Selain itu, dia juga menggunakan perumpamaan tanah. “Kalau berkumpul menjadi satu, diinjak-injak tidak akan ambyar, didirikan rumah di situ pun kokoh,” jelasnya.
Bagaikan orang dagang, dia menyatakan, “Kalau sudah bermaskapai, tambahkan tersohor dagangan itu.”
Visi Gender Aisyiyah di Tengah
Dari pidato Moendjijah dan Hajinah, Siti Syamsiyatun mengungkap visi-visi gender yang ditawarkan dalam kongres. Salah satunya, secara garis besar ada tiga macam jika diulas dari perspektif teori jenis kelamin dan peran gender.
Pertama, di suatu garis, pada ujung kanannya ada biological determination. “Kemampuan gender sosial kita ditentukan biologis kita,” tuturnya.
Lalu pada ujung lainnya, yang kiri, ada cultural construction. Dia menerangkan, budaya di mana kita hidup menentukan kemampuan kita. Jadi jenis kelamin sama sekali tidak mempengaruhi.
Menurutnya, posisi Aisyiyah ada di tengah. Yaitu ada pengaruh bio-socio-cultural construction. Tampak jelas dari pidato Siti Hajinah, meski susunan tubuh perempuan dan laki-laki berbeda, tapi peran gender tidak hanya ditentukan biologisnya saja. Sosial dan budaya juga menentukan.
Nilai Setara dalam Kesamaan
Masih terkait visi gender, saat bicara tentang kesamaan—terang Siti Syamsiyatun—tidak harus berarti sama persis. “Tapi setara itu bisa jadi apa yang dilakukan berbeda, tapi punya nilai setara. Ini untuk mengkritik argumen superioritas laki-laki,” jelasnya.
“Yang kuat, tinggi, kokoh selalu dipandang lebih positif dari pada yang lemah, emosional, dan sebagainya,” urai dia.
Sebagai contoh, dalam hal tertentu, yang dibutuhkan kekuatan. Pada hal lainnya, dibutuhkan emosi. Maka, kedua atribut itu tidak perlu dipertentangkan. “Secara inheren selalu lebih baik dari yang lain? Tidak, tapi itu komplementer,” ungkapnya
Strategi dalam Gelombang Perubahan
Siti Syamsiyatun menyatakan, Moendjijah dan Hajinah menggunakan strategi berjuang koperatif, bukan konfrontatif.
Mereka juga mengedepankan islah. “Seperti jargon menyelesaikan masalah tanpa masalah, berdamai, dan tujuannya terbaik bersama,” terangnya.
Di samping itu, mereka berani melawan arus karena memiliki bekal pengetahuan yang luas dan yakin atas kebenaran yang dipahami.
Gelombang perubahan yang dia maksud bukan seperti tsunami, melainkan gelombang yang berjalan terus. Sehingga, terjadi perubahan secara damai. Diam-diam tapi ternyata berubah.
“Gelombang perubahan itu akan terus terjadi, melakukan perubahan sedikit demi sedikit,” tegasnya.
Selain itu, mereka juga berani bergaul secara luas dengan orang dari berbagai suku, agama, dan profesi. Mereka dapat menerima perbedaan.
Mereka pun berani mengedepankan kepentingan bersama. Tak hanya itu, mereka berani memberikan isu sensitif di hadapan kongres yang majemuk. Seperti Siti Moendjijah yang menyuarakan dari sisi kepentingan perempuan.
Selain itu, mereka juga berani menunjukkan identitas-identitas pentingnya. Misal, identitas yang tampak dalam pakaiannya.
Berani Tawarkan Solusi Tidak Populer
Penulis buku Pergolakan Putri Islam: Perkembangan Wacana Gender dalam Nasyiatul ‘Aisyiyah 1965—2005 itu menyatakan, kedua srikandi itu juga berani menawarkan solusi yang tidak populer.
Misal, solusi menentang perkawinan anak. “Ibu Hajinah berani banget mengatakan, itu durhaka lho laki-laki yang tidak mengizinkan anak perempuannya untuk belajar,” ujarnya.
Mengingat, saat itu perempuan tidak diperbolehkan untuk ikut belajar. Dia lalu ingat saat riset di sebuah kota, dia bertanya kepada penduduk setempat alasan tidak mengajarkan baca-tulis kepada perempuan.
Alasan yang ia temukan mengelitik, yaitu agar tidak hamil duluan. Setelah ia telusuri lagi, maksud penduduk itu, agar perempuan tidak menulis surat cinta yang memungkinkan ada hubungan lebih lanjut.
Bahkan di Harvard pada zaman itu sempat menutup Fakultas Hukum untuk perempuan. Alasannya, sekolah menimbulkan infertilitas pada perempuan. Sebab, ketika perempuan boleh bersekolah, perempuan itu menunda perkawinannya. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni