Pancasila, Piagam Jakarta, dan Piagam Madinah, opini ditulis oleh Prima Mari Kristanto, warga Muhammadyah Lamongan.
PWMU.CO – Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 disepakati tepat pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Hal krusial dan menjadi perdebatan hingga hari ini adalah hilangnya tujuh kata “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di dalam sila Ketuhanan.
Hasil kompromi kemudian menyepakati bunyi sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebelumnya di dalam Piagam Jakarta ditetapkan sila pertama “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Penghilangan atau ralat tujuh kata bukanlah sebuah kekalahan umat Islam jika kemudian berganti menjadi nuansa tauhid: Ketuhanan Yang Maha Esa. Wakil ormas-ormas besar Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang ikut hadir pada 18 Agustus 1945 pun tidak keberatan.
Piagam Madinah
Dalam suasana perayaan tahun Hijriah yang berdekatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ini, tidak ada salahnya mengulas juga soal Piagam Madinah.
Dalam penyusunan Piagam Madinah, Rasulullah SAW lebih banyak mengalah dan menenangkan para sahabat utama. Salah satu hal krusial adalah penyebutan kata Muhammad Rasulullah yang tidak dikehendaki Yahudi Yatsrib.
Piagam Madinah selanjutnya disepakati tanpa kata Rasulullah hanya Muhammad sebagai pemimpin Madinah. Rasulullah berdalih mewujudkan keutuhan masyarakat lebih utama daripada mempertahankan ego simbol dan atribut kelompok.
Piagam Madinah mengajarkan pada umat Islam tentang kecerdasan Rasulullah dan sahabat menawarkan konsep Islam dalam mengatur masyarakat Madinah tanpa penyajian syariat secara ‘mentah’.
Sejarah selanjutnya mencatat berlakunya Piagam Madinah yang berhasil mewujudkan tatanan civil society atau masyarakat madani yang taat hukum, saling menghormati, menghargai perbedaan, dan menjaga keragaman.
Cobaan Pengkhianatan
Namun demikian penegakan Piagam Madinah tidak luput dari pengkhianatan-pengkhianatan oleh beberapa pihak yang ikut menyepakati di awal.
Demikian juga Pancasila. Dasar negara ini tidak luput dari cobaan pengkhianatan termasuk fitnah yang dialami umat Islam dengan beragam tuduhan ingin mendirikan negara Islam dan sebagainya. Tapi dalam beragam pengkhianat Piagam Madinah dan Pancasila, terbukti umat Islam selalu tampil di garda terdepan mempertahankan Pancasila.
Kembali ke hijrah, ternyata spirit-nya selaras dengan kemerdekaan. Hijrah dari sistem jahiliah, kolonialisme, imperialisme, feodalisme menuju sistem nasional berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.
Oleh karena itu peringatan kemerdekaan bukan hanya upacara bendera dan gelaran aneka lomba, lebih urgen menanamkan ‘akte pendirian’ Indonesia berupa Pancasila dan UUD 1945. Landasan ideologi dan konstitusi yang senantiasa dikhianati dari periode pemerintahan satu ke periode pemerintahan lainnya.
Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 tidak pernah dikhianati, demikian juga bendera merah putih juga burung garuda sebagai lambang negara.
Hanya Pancasila dan UUD 1945 yang seringkali ditafsirkan berbeda-beda bahkan beberapa kali diusulkan amandemen.
Umat Islam rela kehilangan tujuh kata Piagam Jakarta, mengalah demi keutuhan bangsa Indonesia. Mengalah bukan kalah, falsafah Jawa mengajarkan: “Wani ngalah luhur wekasane“.
Umat Islam hanya tidak rela jika Pancasila dan UUD 1945 ‘diobok-obok’ dan dicampuraduk dengan paham-paham yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa, komunisme, liberalisme dan sejenisnya. Wallahu’alam bishshawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni