Rindu Adil di Pancasila Kita, oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-kemasyarakatan.
PWMU.CO – Tiga tautan berita ini perlu kita cermati sebelum membahas judul di atas. Pertama : 3 Kasus Kerumunan di Acara Jokowi, Berulang meski Diingatkan
Berita Kedua, Beda Vonis Habib Rizieq dengan Djoko Tjandra dan Pinangki, Hilmi Firdausi: Sampai Jumpa di Pengadilan Akhirat
Dari dua berita di atas, wajah penegakan hukum di negeri ini sepertinya tak ada yang berubah. Perhatikan saja berita lima tahun sebelumnya, yaitu pada 2016, berikut ini: Presiden Akui Hukum Masih Tajam ke Bawah Tumpul ke Atas.
Siapa Dia
Kita lihat berita pertama di paragraf awal tulisan ini. Kerumunan terjadi di Maumere, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada 23 Februari 2021. Kala itu, Jokowi dalam kunjungan kerja. Terlihat, rombongan mobil kepresidenan dikerumuni warga. Jokowi melemparkan sejumlah kaos kepada kerumunan itu.
Atas kejadian itu Jokowi dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan ke Bareskrim Polri pada 25 Februari 2021. Pelapor menilai adanya pelanggaran protokol kesehatan pencegahan penyebaran Covid-19 pada kunjungan kerja Jokowi di NTT.
Laporan itu ditolak Bareskrim Polri. Alasannya, masyarakat yang berkerumun datang atas inisiatif sendiri karena ingin melihat Jokowi dan bukan atas dasar undangan atau ajakan berkumpul.
Sementara, sejumlah epidemiolog menilai insiden kerumunan tersebut berpotensi meningkatkan resiko penularan virus corona di tengah masyarakat. Juga, kurang tepat untuk menjadi teladan nasional.
Berikutnya, pada 10 Agustus 2021. Kerumunan terjadi ketika Jokowi mendatangi Terminal Grogol Jakarta Barat, untuk membagikan sembako.
Selanjutnya, kerumunan berulang pada kunjungan kerja Jokowi ke Cirebon pada 31 Agustus 2021. Ketika rombongan presiden melintas, warga mendekati mobil khusus yang membagikan sembako Bantuan Presiden dan kaos ke warga. Tampak warga saling sikut berebut kantong-kantong berisi sembako. Beberapa warga bahkan rela berlumur kotoran turun ke selokan untuk mengambil kaos yang dibagikan.
Atas berbagai kejadian atau kerumunan di atas, tak sedikit yang prihatin bahkan menyesalkan. Pertama, karena terdapat pemandangan yang sungguh tak elok yaitu “Rakyat berebut sesuatu yang dilemparkan seorang pemimpin”. Kedua, terlihat pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi.
Potret Timpang
Sekarang, bandingkan dengan berita kedua di paragraf awal tulisan ini. Bahwa Habib Rizieq tetap divonis 4 tahun penjara. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak banding yang diajukan Habib Rizieq terkait kasus swab Rumah Sakit Ummi, Bogor.
Selanjutnya, ada yang menarik mengenai hakim yang menolak banding Habib Rizieq tersebut. Bahwa, dua dari Majelis Hakim-yaitu M Yusuf dan Haryono-ternyata adalah hakim yang memotong hukuman Djoko Tjandra dan Pinangki. Kasus Djoko Tjandra adalah suap terkait red notice dan kasus Pinangki adalah suap fatwa Mahkamah Agung.
Alhasil, bersama contoh-contoh lain, mudah dirasakan bahwa hukum memang kerap berpihak kepada yang berharta dan/atau yang berkuasa. Dapat dirasakan, bagaimana sebuah kasus hukum bisa diatur-atur.
Sementara, di sisi lain, perlakuan berbeda terlihat saat hukum berhadapan dengan mereka yang tak punya harta dan/atau kuasa. Lihat saja beberapa kasus yang menimpa rakyat kecil.
Praktik hukum terasa diskriminatif. Aparat tampak sulit menyeret mereka yang tergolong “kuat”, tapi kepada rakyat kecil-yang misalnya mencuri hanya untuk sekadar mengisi perut-mereka terlihat begitu cepat bertindak.
Perintah Suci
Terkait penegakan hukum, bagaimana pandangan Islam? Adil bisa disebut salah satu inti ajaran Islam. Keadilan adalah pokok kehidupan. Kehidupan akan hancur jika hukum tak tegak.
Kehidupan akan rusak jika hukum tak bisa mendatangkan keadilan. Cermatilah hadits ini: “Sesungguhnya hancurlah orang-orang sebelum kamu. Sebab, jika ada orang-orang besar (elit) mencuri, maka mereka dibiarkan saja. Tetapi jika yang mencuri adalah kaum yang lemah (rakyat jelata), maka dijatuhi hukuman potong tangan. Demi Allah, yang jiwaku berada di tangan-Nya, andaikan Fatimah binti Muhammad mencuri, maka pasti akan aku potong tangannya” (HR Ahmad, Muslim, dan Nasa’i). Pada intinya, janganlah sekali-kali memberlakukan tebang pilih dalam penegakan hukum.
Bersikaplah adil! Tegakkanlah keadilan! Perhatikanlah ayat ini: “Sesungguhnya, Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil” (an-Nisaa’ 58). Pada pokoknya, tegakkan hukum dengan adil tanpa diskriminasi.
Berlakulah adil, raihlah takwa. Renungkanlah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (al-Maaidah 8).
Rindu Kita
Sungguh, di antara masalah besar yang kita hadapi adalah soal penegakan hukum. Padahal, teladan kita Nabi Muhammad Saw telah mengingatkan dan sekaligus meneguhkan komitmen untuk memberlakukan hukum yang sama kepada siapapun, termasuk kepada anggota keluarganya sendiri.
Mari hidup-hidupkan Pancasila, pandangan hidup kita. Di dalamnya, “adil” dan “keadilan” disebut. Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Semoga Allah mudahkan untuk menghadirkannya di keseharian kita! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni
Artikel ini adalah versi online Buletin Jumat Hanif Edisi 46 Tahun XXV, 3 September 2021/25 Muharam 1443.
Hanif versi cetak sejak 17 April 2020 tidak terbit karena pandemi Covid-19 masih membahayakan mobilitas fisik.