PWMU.CO – Jangan sampai anak hafal al-Fatihah bukan dari orangtuanya, karena al-Fatihah dibaca sejak usia shalat hingga akhir hayat.
Demikianlah petikan pengajian wali siswa yang diselenggarakan Tim Ismuba SMP Muhammadiyah 10 Sidoarjo (Miosi), yang bertema “Pendidikan Agama dalam Keluarga di Masa Pubertas Anak”, Sabtu (11/9/21).
Kajian virtual via Zoom dan disiarkan langsung melalui akun YouTube Miosi TV tersebut menghadirkan pemateri Ustadz Dr Imam Fauji Lc MPd. Masa pubertas, menurut Imam Fauji, merupakan masa transisi ketika anak mengetahui perbedaan jenis kelamin.
“Yakni masa ketika alat reproduksi anak mulai sempurna, pada perempuan ditandai dengan haid dan laki-laki dengan mimpi. Bahasa pubertas dalam agama yaitu mukalaf, yaitu seseorang yang telah mendapatkan pembebanan agama atau dibebani hukum-hukum syara’,” terangnya.
Jangan Sampai Anak Hafal al-Fatihah Bukan dari Orangtuanya
Salah satu pembebanan kepada anak yang sudah memasuki usia pubertas yaitu shalat. Sebelum memasuki usia mukalaf, lanjutnya, orangtua mempunyai tugas yaitu melakukan pembiasaan sholat terhadap anak. Pembiasaan ini dari usia tujuh hingga sepuluh tahun. Orangtua mempunyai pengaruh besar terhadap bacaan, gerakan, dan waktu shalat anak.
“Jangan sampai anak itu hafal surat al-Fatihah dari guru TK-nya, karena bacaan al-Fatihah dibaca anak itu sejak usia shalat hingga akhir hayatnya. Orang yang mengajarkan pahalanya akan terus mengalir,” tutur Ustadz Imam Fauji sembari menyampaikan bahwa orangtua harus mengobservasi bacaan shalat anak dari awal hingga akhir.
Selain itu, sambung Imam Fauji, orangtua juga disarankan untuk memisahkan tempat tidur anak ketika sudah memasuki usia pubertas. “Idealnya sebuah rumah harus memiliki minimal tiga kamar tidur. Satu kamar tidur orangtua, anak perempuan, dan anak laki-laki. Lebih ideal lagi satu anak punya satu kamar tidur,” ungkapnya.
Ciri lain dari pubertas, kata Imam Fauji, adalah anak sudah mulai bisa berpikir. Jadi harus lebih banyak dialog terkait banyak hal, terlebih zaman sekarang masa anak memegang gawai. “Orangtua harus hadir mendampingi anak dan harus tahu apa yang dilihat. Lalu diajak dialog ketika melihat tayangan kurang baik, apakah tayangan itu baik untuk dilihat? kenapa?,” jelasnya.
Kesibukan orangtua, pesan dia, jangan sampai membuat kita abai mendidik anak secara fisik, pikiran, dan ruhani. “Guru di sekolah hanya membantu mendidik, tanggungjawab tetap pada orangtuanya,” pungkasnya. (*)
Penulis Mahyuddin. Co-Editor Darul Setiawan. Editor Mohammad Nurfatoni.