Khianat Superkeji PKI 18 September 1948. Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku “Jejak Kisah Pengukir Sejarah”
PWMU.CO – Khianat, perilaku terlarang! Tapi, Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih dari sekali melakukannya. Pemberontakan PKI, di Madiun pada 18 September 1948, adalah salah satunya. Modusnya, sangat keji, yaitu dengan menghabisi target (terutama dari kalangan kiai dan santri) dengan aneka cara yang sangat sadis.
Cara PKI membunuh, sungguh di luar batas kemanusiaan seperti dengan membantai, menyeret dalam jarak sangat jauh, membakar, atau mengubur hidup-hidup. Berikut ini, semacam ringkasan dari buku yang baru terbit yaitu Juni 2021 berjudul Politik Kaum Santri dan Abangan: Refleksi Historis Perseteruan NU-PKI. Buku setebal xvi + 255 halaman ini ditulis Dhurorudin dan diterbitkan Pustaka Al-Kautsar Jakarta.
Bahasan yang dimaksud ada di bawah topik: “Tragedi Madiun 1948: Manifestasi Permusuhan Historis-Ideologis”. Cukup panjang, ada di halaman 175-182.
Bangkit dan Teror
Di awal kemerdekaan Indonesia, eksistensi kaum komunis telah menjadi trauma tersendiri terutama bagi kaum santri. Hal ini, dipicu oleh kekejaman kaum komunis yang telah dirasakan terutama di Jawa Timur.
Ketika pemerintah mengeluarkan Maklumat X pada November 1945 tentang seruan mendirikan partai politik, PKI langsung mendeklarasikan diri sebagai partai politik terbuka. Sebagai partai berideologi proletariat, propaganda kaum komunis diarahkan ke wilayah minus secara ekonomi, ditambah wilayah yang keislamannya masih “terbelakang”.
PKI di tahun 1947 sudah berkonsolidasi, nyaris merata. Kepengurusannya sudah menjangkau pedalaman. Ada di Madiun dan sekitarnya seperti Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Ngawi, dan Bojonegoro. Ada juga di Boyolali, Purwodadi hingga Pati. Terus, melingkar sampai Magelang, Klaten, Solo, dan Wonogiri. Semua menjadi basis pengembangan PKI.
Dengan peta seperti itu, PKI mulai berani melakukan provokasi. Di berbagai wilayah basis, mereka membuat aksi yang bisa menimbulkan kecemasan dan disintegrasi sosial. Mereka melakukan teror, memunculkan berbagai perampokan.
Aksi mereka sepintas seperti kriminal biasa, tapi setelah diselidiki ternyata para bromocorah itu adalah anggota (atau minimal mendapat restu pimpinan) PKI setempat. Bagi yang ingin selamat dari perampokan, pencurian dan penganiayaan, maka mereka harus menjauhi tokoh agama dan akan lebih baik bila bergabung dengan PKI. Sekaligus, hal ini menjadi bukti bahwa kaum santri menjadi target dan agama menjadi sangat dimusuhi (h.176).
Langkah NU
Untuk membangun ketenangan umat sekaligus mencegah perluasan manuver PKI, NU (kala itu masih menjadi bagian dari Partai Masyumi) menyelenggarakan muktamar ke-7 di Madiun pada 24 Mei 1947.
NU sengaja menyelenggarakan kegiatan nasional di pusat nasional PKI, di Madiun. Pada acara itu, Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari (yang kala itu juga menjadi pimpinan Masyumi) memberikan pidato pembukaan. Berikut ini, intinya:
Pertama, telah tersebar ajaran historis materialisme yang berpandangan bahwa tiada realitas di dunia kecuali benda, tidak ada roh, tidak ada alam ghaib dan tidak percaya adanya kehidupan sesudah mati.
Kedua, ajaran ini sangat berbahaya bila tertanam dalam jiwa pemuda karena akan mengubah keyakinan dasar terhadap agama Islam.
Ketiga, diserukan agar para ulama menyatukan dan mengokohkan barisan, untuk melawan.
Keempat, diakui bahwa PKI telah menjadi kekuatan besar, namun ulama akan mampu mengalahkan golongan besar karena kehendak Allah.
Sejak itu, NU langsung berkonsolidasi. Kantor PBNU bahkan dipindah dari Surabaya ke Madiun. Tak pelak lagi, kesibukan para tokoh terpusat di Madiun. KH Wahab Hasbullah yang ditugaskan mengonsolidasikan NU dan Hizbullah se-Jawa (untuk menghadapi agresi Belanda sekaligus komunis) langsung mengadakan konsolidasi di Ngawi. Adapun KH Yusuf Hasyim berkonsolidasi di Madiun.
Seiring gerakan NU ini, aparat kepolisian yang semula gamang akhirnya berani bertindak menegakkan hukum. Kawanan rampok di Desa Bendungan Trenggalek (yang dianggap sentra PKI) digrebek. Ternyata, mereka terdiri dari para warok dan bromocorah komunis dari berbagai daerah termasuk Ponorogo.
PKI Berontak
Menyikapi gebrakan NU ini, Muso dan Amir Syarifudin pada Agustus 1948 mengadakan serangkaian rapat umum di berbagai kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sementara, penjagaan Madiun dipercayakan kepada kader PSI-Pesindo, Sumarsono dan kawan-kawan.
Rangkaian rapat umum PKI ternyata bukan sekadar unjuk kekuatan, sebab pada 18 September 1948 tengah malam Sumarsono bahkan memproklamasikan Pemerintah Front Nasional (sebagai lawan dari pemerintahan RI) sebagai cikal-bakal berdirinya negara komunis, Negara Soviet Madiun (h.177).
Pertama sekali PKI melumpuhkan markas tentara, kantor polisi, lalu menyerang kantor-kantor pemerintahan. Langkah berikutnya menjebol penjara, membebaskan para bromocorah untuk dijadikan pasukan PKI. Kantor Residen Madiun dikuasai. Hal serupa terjadi juga di Magetan, Ngawi, Ponorogo, dan Pacitan.
Berikutnya, perhatian PKI tertuju pada upaya melumpuhkan kiai dan pesantren. Hal ini, karena PKI sadar bahwa: 1).Pesantren merupakan saingan terberat dalam melakukan revolusi sosial karena mereka lebih dipercaya dibanding PKI yang cenderung ditakuti. 2).Pesantren merupakan benteng strategis untuk mempertahankan NKRI.
Atas pertimbangan itu, setelah melumpuhkan TNI dan polisi maka berikutnya kiai dan pesantren dijadikan sasaran oleh PKI. Melalui slogan “Pondok bobrok, langgar bubar, santri mati”, PKI mulai melakukan teror “tangkap-bantai”. Berdasar itulah maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa di awal kemerdekaan Indonesia eksistensi kaum komunis telah menjadi trauma tersendiri terutama bagi kaum santri (h.179).
Horor September 1948
Meski sejak 1947 NU sudah berkonsolidasi, tapi gerak cepat dan besarnya pendukung PKI lebih berpengaruh secara signifikan. Pemberontakan PKI sulit dibendung. KH Yusuf Hasyim yang kala itu di Madiun, terpaksa harus keluar karena PKI berkeliaran dengan senjata.
Terjadilah horor yang sangat memerihkan kalbu. Di Desa Bangsri Madiun, PKI berhasil merampas harta warga santri. Langgar dan masjid dibakar, belasan santri dimasukkan ke sumur sumur tua.
Pada 24 September 1948 Kampung Kauman Madiun diserbu, sekitar 72 rumah dibakar, 149 warga pria diikat dan digiring ke Maospati untuk dimasukkan dalam lubang pembantaian. Namun, mereka berhasil diselamatkan pasukan pro-Republik. Hal serupa juga terjadi Ponorogo, Magetan, Ngawi, Pacitan dan Trenggalek.
Berikut ini sebagian kisah penderitaan tak terperikan yang dialami sejumlah kiai dan keluarga pesantren. Para Kiai tersebut saat itu sedang tidak mendapat pengawalan. Jadilah mereka sasaran PKI.
Di Madiun, pada 19 September 1948. KH Muhammad Nur beserta 14 kiai Pesantren Takeran dibunuh lalu dimasukkan dalam sumur bersama ratusan korban lain.
Di Magetan, KH Imam Shafwan pemimpin Pesantren Kebonsari bersama dua putranya dibunuh. Kiai di pesantren lain juga demikian. Adapun sentra penyiksaan, tempat paling mengerikan, adalah lubang pembantaian Sumur Soco dengan kedalaman 12 meter yang di dalamnya ditimbun 108 santri.
Di Ngawi, Kiai Sepuh Dimyati di Pesantren Tanjung Sari Walikukun diseret dengan kuda lebih dari 10 km, lantas dicampakkan dalam sungai. Ada pula Kiai Zainal beserta 25 santrinya. Mereka dipaksa keluar dari masjid lalu dimasukkan di rumah kosong, lantas rumah itu dibakar.
Kiai yang menjadi korban aksi keji PKI banyak, termasuk kiai khos. Di antara seluruh korban, yang termasuk paling memilukan adalah terbunuhnya KH Imam Murshid. Pemimpin Pesantren Sabilul Muttaqin dan Tarekat Syatariah dari Takeran itu dibunuh pada Jum’at 17 September 1948.
Tragedi tersebut sungguh sangat menyedihkan. Hal ini, karena KH Imam Murshid berjasa membantu KH Wahid Hasyim sebagai anggota BPUPKI dalam merumuskan Mukadimah UUD 1945 sedemikian rupa isinya sangat bernuansa religius. Tentu, hal yang demikian sangat tidak disukai oleh PKI (h.182).
Korban kiai masih banyak, termasuk pemimpin Pondok Pesantren Tremas Pacitan yaitu KH Dimyati. Beliau yang juga anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) bersama belasan orang lainnya disergap, disiksa dan dimasukkan sumur kuburan massal.
Menjadi Sejarah
Kita bersyukur, pengkhianatan dan pemberontakan PKI pada 1948 segera dapat ditumpas. Bahwa, dalam tempo kurang dari sepekan, aksi PKI di Madiun dan sekitarnya dapat dipadamkan.
Selanjutnya, meski pahit, semoga kita bisa menjadikannya sebagai salah sebuah pelajaran di kehidupan ini. Belajarlah dari sejarah! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni