PWMU.CO – Siswa Smamda Surabaya mengikuti kegiatan Bridge Concersation Student Exhange – Victorian Young Leaders: Global Youth Forum secara virtual melalui aplikasi Zoom pada Kamis, (21/10/2021).
Empat siswa SMA Muhammadiyah 2 Surabaya (Smamda) tersebut adalah Aisha Prastyanti Hapsari kelas X MIPA 4, Lucrecia Helene Bark kelas X MIPA 4, Sekar Wangi Laila Noer kelas XI MIPA 4 dan Zaky Amrul Hakim kelas XI MIPA 4.
“Kegiatan ini merupakan pembelajaran interaktif yang dirancang untuk memperdalam pemahaman para murid tentang apa artinya menjadi warga dunia,” kata Mayus, staf Bridge Indonesia.
Ia menjelaskan, program ini memungkinkan murid-murid kelas 9 dari sekolah-sekolah di Negara Bagian Victoria, Australia, berinteraksi dengan perspektif global dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk memecahkan masalah dalam situasi dunia nyata.
Mengambil tema kewarganegaraan global, identitas dan tujuan, para siswa diminta mengidentifikasi masalah yang berdampak pada mereka atau komunitas sekolah kemudian mengidentifikasikan hal –hal yang dapat mengatasi permasalahan tersebut.
Melalui kegiatan pada forum tersebut para siswa akan mendengar pemaparan materi dari para ahli, mengeksplorasi dan membuat sketsa yang menangkap cerita di seluruh Asia-Pasifik dan mengemukakan pendapat secara kritis mengenai kewarganegaraan global dan berdialog dengan teman sebaya lainnya tentang masalah yang dihadapi pendidikan dan sekolah dalam konteks global saat ini.
“Sebagai pembuka, para peserta menjalani Kegiatan Pra Forum,” terang Mayus. Kegiatan ini menggabungkan lokakarya penulisan sketsa, pidato, talkshow dengan mahasiswa internasional, migran generasi kedua, anggota diaspora. Terhubung dengan para murid dari Indonesia, India, Jepang, Tiongkok dan Vietnam.
“Kegiatan ini dihadiri lebih dari 300 orang peserta sebagai perwakilan dari 30 sekolah dari negara bagian Victoria- Australia, 9 sekolah dari Cina, 5 sekolah dari Indonesia, 1 sekolah dari Vietnam dan 1 sekolah dari Jepang,” paparnya.
Peserta Indonesia ada 20 murid ikut berdialog bersama siswa dari Australia. Mereka perwakilan dari lima sekolah. SMA Muhammadiyah 2 (Smamda Surabaya), SMAN 1 Atambua, SMAN 1 Boja Jawa Tengah, SMA Muhammadiyah 1 Denpasar, dan SMA Islam Dian Didaktika.
Mayus menjelaskan kegiatan ini didanai oleh Departemen Pendidikan dan Pelatihan Pemerintah Negara Bagian Victoria Australia. Dilaksanakan oleh Asia Education Foundation di bawah Asialink The University of Melbourne dalam kemitraan dengan High Resolves.
Kisah Pandemi
Pada kegiatan ini, secara bergiliran, para siswa dari Australia meminta siswa dari Indonesia untuk menggambarkan lingkungan sekolahnya dan menceritakan pengalaman belajar sebelum dan saat pandemi serta harapan setelah pandemi usai. Dialog juga diisi dengan topik isu global yang berkaitan dengan lingkungan, perubahan iklim dan kesehatan.
Aisha Prastyanti Hapsari menuturkan, sangat senang terpilih untuk mengikuti program ini. Dia segera menyiapkan berkas yang diperlukan.
Ia terkenang ketika menetap empat tahun di Clayton, Melbourne saat ibunya mengambil S2 dan S3 Psikologi.
Bergabung dalam Zoom pukul 10.20 WIB, sudah banyak siswa sekolah lain yang masuk. Lalu staf Asia Education Foundation yaitu Chris Higgins dan Brendan Hitchen menjelaskan kegiatannya.
Setelah itu, ia dan Lucrecia bergabung dalam breakout room bersama siswa-siswi dari Templestowe College dan SMA dari Indonesia lainnya.
Peserta diberi waktu 20 menit berdiskusi. Tanpa basa-basi percakapan langsung menyampaikan pertanyaan dan berbagi pengalaman mereka.
Seorang murid Templestowe College bertanya, “Bagaimana pandemi memengaruhi kehidupan dan sekolah kita sehari-hari?”
Siswa dari Indonesia menjawab, kita pembelajaran jarak jauh, memakai masker, menjaga jarak, dan menggunakan handsanitiser setiap kali kita keluar.
Dia bertanya tentang jadwal kami untuk sekolah. ”Sekolah mulai dari jam 7 dan berakhir pada jam 2,” tuturnya.
Guru dari Templestowe College mengajukan pertanyaan, “Apakah pandemi telah memengaruhi pemahaman antar budaya secara global?” Siswa dari sekolah lain yang menjawab pertanyaan tersebut.
Saat ada siswa bertanya, adakah yang pernah ke Australia, maka Aisha menjawab pernah tinggal di Australia selama 4 tahun.
Siswa Templestowe College lain bertanya padanya. “Apa yang berbeda Indonesia dengan Australia?”
Aisha menjawab, di Indonesia banyak mata pelajaran dibandingkan. Lebih banyak menghafal daripada menganalisis dalam mengerjakan tugas.
Mereka juga bertanya mata pelajaran apa saja yang diajarkan. Siswa Indonesia lainnya mengatakan tergantung pilihan IPS atau IPA.
Siswa Templestowe College lalu bertanya apakah kami belajar tentang budaya Australia. Siswa dari SMA lain menjawab, tergantung mata pelajaran dan topiknya.
Ada juga seorang siswa bertanya apakah kita memiliki kegiatan seperti swimming carnival atau cross country (lari lintas alam) seperti di Australia. Aisha menjawab, tidak ada kegiatan seperti itu.
Diskusi semakin gayeng saja. Tanya jawab bersambung terus. Beralih topik Covid.
“Bagaimana Indonesia menangani situasi Covid-19, apakah lockdown juga dan menutup banyak toko?” tanya siswa dari Templestowe College.
Lucrecia menjawab, “Kami lockdown beberapa waktu yang lalu. Sekarang sudah kembali normal. Sebagian besar toko sekarang dibuka. Begitu juga sekolah.”
Di sisa waktu pertemuan pertanyaan seperti hewan peliharaan dan kegiatan di luar sekolah juga ditanyakan.
Isu Sosial
Sekar Wangi Laila Noer kelas XI MIPA 4 di grup berbeda bercerita, bergabung di VYL (Victorial Youth Leader) Global Youth Forum Bridge menjadi pengalaman menarik.
”Saya mendapat pengalaman berkomunikasi dan berdiskusi dengan murid murid SMA dari Victoria. Kami berdiskusi mengenai isu sosial, perkembangan sistem pembelajaran dari negara Indonesia dan Australia terutama di masa pandemi,” ujarnya.
Bagian paling menarik waktu saat bicara sekolah merespon kesehatan mental murid-muridnya.
Siswa dari Victoria juga menjelaskan, sekolahnya menangani pandemi. Ada webinar mental health awareness.
“Berdiskusi dengan mereka membuat saya sadar bahwa sistem pembelajaran tidak jauh berbeda dengan kita,” katanya.
Ia juga paham ada perbedaan sistem lockdown, pembelajaran kedua negara saat pandemi.
Setelah meeting berakhir, peserta diminta mengisi formulir untuk mengevaluasi kegiatan hari itu dan apa yang perlu dikembangkan pada aktivitas selanjutnya. (*)
Penulis Tanti, Aisha Editor Sugeng Purwanto