Tiga Pilar Warisan Kiai Dahlan oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar
PWMU.CO– Siapa bisa bantah bahwa Muhammadiyah adalah pergerakan Islam paling menginspirasi selama satu abad terakhir. Persyarikatan yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan ini bahkan melampaui pergerakan Islam yang lahir di negara-negara Timur Tengah, Mesir, Pakistan, dan pesisir India.
Muhammadiyah menabalkan dirinya bukan saja sebagai gerakan pemikiran tapi juga gerakan amal yang dibingkai dalam satu pergerakan yang dinamis dan modern dengan tidak meninggalkan watak keislaman.
Carl Whiterington menyebut, sebagai sebuah harakah pemikiran, Muhammadiyah menawarkan gagasan modernisasi, purifikasi dan moderasi yang komplet.
Tiga pilar ini menjadi pisau yang ampuh untuk membuka cara pandang dan mengubah paradigma umat Islam yang jumud, tertutup dan taqlid menjadi terbuka dan dinamis. Muhammadiyah mengembalikan kemuliaan dan harkat Islam yang sempat terpuruk.
Gagasan dan weltanschauung diracik untuk membuka perspektif dan cakrawala berpikir. Kiai Dahlan menaruh fundamen keislaman kemodernan dan keindonesiaan secara utuh. Pikiran Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya Syaikh Sayid Ridha pun dengan Syaikh Jamaluddin Afghan menjadi inspirasi kemudian disatukan.
Kiai Dahlan bukan saja seorang ulama yang alim tapi juga seorang pragmatikus (bukan pragmatisme) agama yang andal. Berbagai amal saleh lahir dari buah pikirnya yang inovatif dan melampaui zamannya.
Gus Dur menyebutnya kemenangan dialektik. Muhammadiyah adalah organisasi yang diberkati, demikian kata Carl Whiterington dalam sebuah artikelnya tentang gerakan Muhammadiyah.
Gerakan amal Muhammadiyah juga telah menebar di seluruh pelosok tanah air dengan tidak membatasi pada sekat agama, ras dan bahasa. Muhammadiyah telah melampaui semua itu dan hadir ketika negara masih fakir.
Modernisasi menjadi salah satu ciri yang lekat. Tak ada yang bisa memisahkan Muhammadiyah dengan gerakan keislaman kemodernan dan keindonesiaan. Tiga mainstream yang digagas Kiai Dahlan di awal pergerakan telah berhasil mengubah mainstream dan paradigma pergerakan Islam global.
Non Politik
Dr Alfian menyebutkan dalam Islamic Modernism in Indonesian Politics, the Muhammadiyah Movement during the Dutch Colonial Period 1912-1942, karena Muhammadiyah merupakan gerakan nonpolitik, keterlibatannya berbeda dengan organisasi lain yang menjadikan politik sebagai titik tuju.
Tapi situlah menjadi kelebihannya. Sebab itu kuantitas jumlah pengikut tidak menjadi indikasi besar tidaknya harakah ini, tapi seberapa signifikan paradigma pembaharaun dan purifikasi menginspirasi dan menggerakkan.
Dengan begitu Muhammadiyah tetap aman dan jauh dari konflik kepentingan dan interest kekuasaan. Sebagai organisasi non-politik, Muhammadiyah memang tidak selamanya berada di dalam pusat kekuasaan sebab Muhammadiyah bukan organisasi politik. Dan tak perlu berharap memanen dari hasil kerja politik.
Keislaman, kemodernan, dan keindonesia an: tiga pilar inilah yang harus dijadikan sandaran dalam beramal bakti yang kemudian menjelma dalam sebuah wawasan kebangsaan holistik.
Muhammadiyah menawarkan cara pandang bersama dalam memandang negara dan cita-cita bersama yang dikemas dalam konsep daarul aqdi wa syahadah. Seperti pidato Bung Karno yang menyebut dirinya sebagai santri nginthil Kiai Dahlan mengatakan:
”Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua. Kita mendirikan suatu negara semua untuk semua, yaitu kebangsaan Indonesia.”
Sebab itu Muhammadiyah bukan musuh siapapun, apalagi berdiri berhadapan head to head dengan gerakan sejenis. Apalagi menjadi oposan bagi rezim berkuasa. Jika demikian halnya, akan melawan fitrah sebagai harakah yang dibangun Kiai Dahlan di awal berdiri.
Begitulah kebangsaan dibangun atas dasar kebersamaan dan gotong-royong atau taawun. Wallahu taala a’lam.
Editor Sugeng Purwanto