Peran Dua Aktivis Aisyiyah di Balik Hari Ibu, Siti Moendjijah dan Siti Hajinah, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Jejak Kisah Pengukir Sejarah.
PWMU.CO – Kongres Perempuan I sukses diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta, pada 22-25 Desember 1928. Lalu, tanggal 22 Desember dipilih sebagai Hari Ibu, bagian dari keputusan Kongres Perempuan III yang diselenggarakan pada 1938 di Bandung.
Di Kongres Perempuan I itu, hampir seluruh agendanya membicarakan hak-hak perempuan. Saat itu, misalnya, Nyi Hajar Dewantara—istri Ki Hadjar Dewantara—membicarakan soal “Adab Perempuan”.
Lalu, di antara pembicara lain, ada dua aktivis Aisyiyah. Siti Moendjijah menyampaikan tema “Derajat Perempuan”. Sementara, Siti Hajinah menyampaikan topik “Persatuan Manusia”.
Kongres Perempuan I itu menarik. Pertama, karena dinilai berhasil. Kedua,karena ternyata ada peran Aisyiyah lewat aktivisnya yaitu Siti Moendjijah dan Siti Hajinah. Keduanya hadir dan berperan besar di momentum bersejarah itu.
Siti Munjiyah: Jago Pidato dan Pemberi Corak Aisyiyah
Banyak sisi positif di Siti Moendjijah sedemikian rupa bisa menjadikannya cukup berpengaruh. Dia tumbuh-kembang di keluarga aktivis sekaligus di lingkungan yang baik. Dia pintar meyakinkan orang lewat kata-katanya yang tertata.
Siti Moendjijah lahir di Kauman Yogyakarta pada 1896. Dia putri Hisyam Ismail. Dia bagian dari keluarga aktivis, murid awal KH Ahmad Dahlan sekaligus murid Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan).
Perhatikanlah, Siti Moendjijah adik dari Fachrodin dan kakak dari Siti Bariyah. Fachrodin murid awal KH Ahmad Dahlan dan Siti Bariyah murid KH Ahmad Dahlan sekaligus murid Siti Walidah. Kebetulan, rumah sang guru tidak jauh dari rumah keluarga Siti Munjiyah.
Terampil Bicara
Menjadi murid pasangan Ahmad Dahlan dan Siti Walidah, menjadikan Siti Moendjijah sebagai kader yang andal. Segera dia menjadi aktivis Muhammadiyah dan/atau Aisyiyah.
Di tangan Siti Walidah, Siti Moendjijah dan murid-murid perempuan lainnya dididik dengan beragam ilmu dan kecakapan. Hasilnya, mereka—termasuk Siti Moendjijah—memiliki dasar yang kuat untuk menjadi pemimpin yang baik.
Siti Moendjijah pribadi yang sederhana, suka berterus-terang, tegas, dan cakap berpidato. Tentang keahlian berorasinya, mirip sang kakak yaitu Fachrodin yang dikenal sebagai sang “singa mimbar”.
Memang, jika Siti Moendjijah sedang berpidato maka pendengarnya bisa terpukau. Mereka bisa menangkap dengan baik pesan yang disampaikan Siti Moendjijah.
Jam Terbang
Sebagai bagian dari pengkaderan, Siti Moendjijah termasuk salah satu murid Ahmad Dahlan yang sering diajak oleh sang guru saat bertabligh. Kesempatan itu, termasuk jika berdakwah atau di acara terkait organisasi ke luar kota.
Pernah PP Muhammadiyah diundang Syarikat Islam (SI) pada 20 November 1921 di Jawa Timur. Kala itu, Ahmad Dahlan mengajak Fachrodin dan Siti Moendjijah.
Siti Moendjijah, satu-satunya utusan perempuan, diberi kesempatan naik mimbar. Dia lalu dengan tegas tapi santun menyampaikan ceramah. Performanya mampu menyedot perhatian yang hadir untuk memahami apa yang diutarakannya.
Selanjutnya, berkat kemahirannya berbicara di depan umum, Moendjijah sering dipercaya untuk berbicara mewakili Aisyiyah di banyak kesempatan. Di antaranya, tergolong yang penting, saat Siti Moendjijah berbicara di Kongres Perempuan I.
Baca sambungan di halaman 2: Tahu Batas