Metaverse Tak Seindah Warna Aslinya oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Umum Pendidikan Tinggi Dakwah Islam.
PWMU.CO– Dalam kesempatan memberi sambutan dalam Muktamar Nasional NU menjelang Natal 2021 di Lampung, Presiden Jokowi menyerukan agar kita mempersiapkan diri menghadapi kemajuan teknologi digital agar teknologi itu memberikan maslahat bagi umat.
Jokowi mengisahkan pertemuannya dengan Mark Zuckerberg, pemimpin Facebook, yang kini sedang mengembangkan Metaverse. Presiden memuji perkembangan tersebut di mana semua kegiatan manusia akan bisa dilakukan secara virtual dengan menggunakan berbagai peralatan canggih.
Mungkin maksud Presiden Jokowi baik, tapi mungkin belum cukup memahami semua konsekuensi dari kecenderungan perkembangan teknologi digital tersebut. Seorang pemimpin tidak cukup hanya bermodal maksud baik, tapi harus memahami konsekuensi dari pernyataannya.
Pertama perlu disadari bahwa Group Metaverse ini memiliki kecenderungan menguasai sekaligus mendominasi kehidupan kita sebagai makhluk sosial tiga dimensi. Kongres AS dan Uni Eropa telah mempersoalkan kecenderungan monopolistik perusahaan teknologi digital seperti Facebook, Google dan Apple.
Digitalisasi atas semua hal dalam internet of things sesungguhnya belum mampu menjangkau aspek-aspek utama manusia sebagai subjek yang mengambil keputusan secara bebas. Manipulasi digital berpotensi untuk mendehumanisasi manusia hingga tingkat robot jika bukan budak.
Bahkan ada upaya untuk menanam chip ke dalam otak manusia untuk kemudian dihubungkan ke jaringan internet. Kecenderungan ini sangat membahayakan kemanusiaan kita.
Banyak pakar merayakan kehadiran teknologi digital ini sebagai sesuatu yang positif. Padahal semua teknologi selalu membawa dua sisi: manfaat dan mudharat.
Disrupsi akibat digitalisasi ini dianggap sesuatu yang harus diterima. Disrupsi ekonomi mungkin masih bisa diterima, tapi disrupsi kemanusiaan tentu tidak. Semua yang berada di alam selalu tunduk pada hukum U terbalik: dalam dosis tertentu semua yang asalnya baik masih membawa kebaikan. Tapi bila sudah mulai berlebihan, yang baik itu justru mulai merusak. Seperti gula darah.
Hemat saya, kecenderungan digitalisasi saat ini sudah mencapai tahap yang berbahaya bagi manusia sebagai spesies yang mengorganisasikan diri. Kemerdekaan sebagai fitur paling penting kemanusiaan kita secara perlahan mulai diambil alih oleh kekuatan-kekuatan lain melalui teknologi digital ini.
Teknologi yang tergantung pada pulsa listrik yang dengan type and send mengubah perintah menjadi kode biner bahasa mesin adalah instrumen kekuatan extra-human yang berbahaya. Gadget dan divais digital lain adalah instrumen kekuatan extra-human ini untuk menarik manusia ke dunia mereka ini. Sekelompok manusia telah bekerja keras untuk meniru kekuatan-kekuatan extra-human ini sejak Nabi Sulaiman.
Alih-alih mengembangkan kreativitas dan kemerdekaan manusia sebagai makhluk yang untuk berbahagia harus memikul tanggungjawab, maka Metaverse makin merampas imajinasi kita sebagai benih kreativitas.
Kecenderungannya untuk dikendalikan secara terpusat akan merampas kemerdekaan kita. Ivan Illich jauh hari telah mengatakan bahwa yang kita butuhkan adalah teknologi yang konvivial: meningkatkan kreativitas sekaligus memerdekaan manusia.
Conviviality itu hilang dalam Metaverse. Seperti ditulis oleh Thiele Bob dan Douglas George lalu disenandungkan oleh Louis Armstrong. Metaverse adalah antitesis kehidupan 3-D dengan darah, daging, rasa dan spiritualitas yang memahami keagungan ciptaan Tuhan ini.
The colors of the rainbow so pretty in the sky, are also on the faces of people going by, I see friends shaking hands saying how do you do, but they’re really saying I love you.
Warna pelangi begitu indah di langit, juga di wajah orang-orang yang lewat, saya melihat teman-teman berjabat tangan mengatakan bagaimana kabarmu, tetapi mereka benar-benar mengatakan aku mencintaimu
Rosyid College of Art, Gunung Anyar, 24/12/2021
Editor Sugeng Purwanto