Tiga Kebutuhan Muhammadiyah, Muhasabah Akhir Tahun oleh Aji Damanuri, dosen IAIN Ponorogo.
PWMU.CO– Ketika Rasulullah mengumumkan perang Tabuk melawan pasukan Rumawi, para sahabat datang menyatakan ikut perang dan menyumbangkan hartanya. Padahal tahun 630 M waktu itu situasi paceklik. Kekurangan pangan.
Kota Tabuk dekat dengan Yordania, jauh dari Madinah. Karena itu perlu bekal banyak. Sementara kas negara kosong.
Abu Bakar ra datang menyerahkan seluruh hartanya, sehingga ketika ditanya Nabi saw, ”Apa yang kamu tinggalkan di rumahmu?”
Ia menjawab, ”Kutinggalkan Allah dan RasulNya bersama mereka.”
Umar ra datang memberikan setengah hartanya. Umar telah berwasiat sepertiga hartanya untuk kepentingan Islam. Nilainya 120.000 dinar. 1 dinas sama dengan 4,25 gr emas. Jadi harta Umar yang disedekahkan untuk perjuangan setara 510.000 gr emas.
Sahabat Utsman bin Affan menyumbang 300 ekor unta dan uang 1.000 dinar. Kalau dikurskan rupiah sekarang nilainya Rp 1,7 miliar.
Abdurrahman bin Auf menyerahkan 200 uqiyah emas. 1 uqiyah emas = 31,7475 gr emas. 200 uqiyah x 31,7475 gr emas = 6.349,5 gr. Kalau ditakar dengan harga emas sekarang 1 gr Rp 400.000 maka nilainya Rp 2,539 miliar.
Bahkan menjelang wafatnya, dia mewasiatkan 50.000 dinar untuk infak fi sabilillah dari hartanya 100.000 dinar. Atau senilai Rp 170 miliar.
Dengan persiapan perang ini berangkatlah 30.000 pasukan muslim ke Tabuk. Ternyata kekuatan ini membuat gentar pasukan Rumawi sehingga mundur. Padahal kekuatan pasukan mereka lebih besar. 50.000 prajurit.
Kedermawanan para sahabat Nabi dan keberanian kaum muslim siap perang mengorbankan nyawanya telah menggentarkan nyali musuh. Kondisi inilah yang membuat Islam terus berkembang dan menyebar ke penjuru dunia.
Kisah itu teringat dengan pukulan kentongan Kiai Ahmad Dahlan di siang hari di Kampung Kauman Yogyakarta tahun 1921. Warga berdatangan sambil bertanya ada masalah apa. Kiai Dahlan mengumumkan menjual semua barangnya untuk membayar guru dan operasional sekolah Muhammadiyah. Butuh uang 500 gulden.
Orang-orangpun membeli barang-barang yang ditawarkan dengan menyerahkan uang. Setelah itu pulang tanpa membawa barang yang dibeli.
Kiai Dahlan berseru, ”Saudara-saudara, silakan barang-barang yang sudah dibeli dibawa pulang. Atau nanti saya antarkan?”
Mereka menjawab,”Tidak usah, Kiai. Barang-barang itu biar di sini saja, Semua kami kembalikan pada Kiai.”
”Lalu uang yang terkumpul ini bagaimana?” tanya Kiai Dahlan.
Salah seorang menjawab,”Ya untuk Muhammadiyah. Kiai tadi mengabarkan Muhammadiyah perlu dana untuk menggaji guru dan sekolah.”
”Kebutuhan hanya 500 gulden. Ini terkumpul lebih 4.000 gulden. Sisanya bagaimana?” tanya Kiai Dahlan.
Jawab orang itu, ”Ya biar dimasukkan kas Muhammadiyah saja.”
Kisah yang ditulis Sukriyanto, putra AR Fachruddin di Majalah Suara Muhammadiyah No. 13/98/1-15 Juni 2013 itu populer menjadi bahan ceramah di mana-mana.
Tiga Kebutuhan
Kedermawan para sahabat Nabi saw dan orang-orang Muhammadiyah dipengaruhi dua hal. Pertama, berakidah kuat. Kedua, sangat percaya perniagaan dengan Allah sangat menguntungkan.
Kedermawanan ini yang membuat Muhammadiyah kian besar membangun masjid, sekolah, perguruan tinggi, panti asuhan, rumah sakit, dan amal usaha lainnya.
Sikap berinfak, filantropi ini harus diwariskan dari generasi ke generasi. Melengkapi dua kebutuhan organisasi ini. Pertama, kader muda yang menjadi penggerak organisasi. Mulai kader pimpinan Muhammadiyah, pengurus amal usaha, profesional (muballigh, guru, dosen, karyawan, dokter, direktur, rektor dll).
Kader muda yang berjiwa enthengan atau ringan tangan mengerjakan tugas. Selalu kober mengurusi persyarikatan di tengah kesibukan pekerjaan utama.
Kedua, pikiran. Untuk merespon segala tantangan yang muncul di setiap zamannya. Tantangan fikih, keilmuan, sosial, ekonomi dan politik.
Rekomendasi Muktamar Tarjih di Malang tahun 1989, antara lain: Hendaknya Muhammadiyah dapat menanggapi setiap perkembangan pemikiran tentang Islam dan Iptek sebagai bagian integral tajdid dalam pelaksanaan gerakan dakwah amar makruf nahi munkar.
Menjadi pemikir adalah bagian dari strategi dakwah agar Islam sholikh li kulli zaman wa makan. Islam bertahan tiap waktu dan tempat. Di masa lalu muncul tokoh seperti KH Syudja’, KH Ibrahim, KH Mas Mansur, Buya Hamka yang menghasilkan pemikiran, sikap, dan tindakan yang membawa nama besar Muhammadiyah.
Di ujung tahun 2021 ini, perjuangan tokoh masa lalu menjadi muhasabah diri kita sebagai generasi penggerak Muhammadiyah zaman now ini. Selalu penuhi tiga kebutuhan Muhammadiyah. Dana, kader penggerak, dan pikiran. Dalam ber-Muhammadiyah pahami slogan tradisi pesantren ini: Berjuang bondo bau pikir lek perlu sak nyawane pisan. Berjuang dengan harta, tenaga, pikiran, kalau perlu dengan nyawa sekalian. (*)
Editor Sugeng Purwanto