Siti Aisyah, Ketua Aisyiyah Kader Biologis KH Ahmad Dahlan, oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku KH Ahmad Dahlan, Gelegak Dahwah sang Penggerak
PWMU.CO – Performa Siti Aisyah di Aisyiyah, terbilang cemerlang. Sepuluh tahun memimpin Aisyiyah, dia dimilai berhasil.
Memang, dia putri KH Ahmad Dahlan. Tapi, posisinya di berbagai jabatan di Aisyiyah sama sekali tak terkait dengan semacam nepotisme. Semuanya mengalir berdasar prinsip-prinsip modern, yang menekankan kemampuan dan integritas saat memilih orang dalam suatu jabatan di organisasi.
Latar Pendidikan
Siti Aisyah lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 1905. Dia anak keempat dari enam bersaudara putra-putri pasangan KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan).
Dia generasi kedua yang disiapkan KH Ahmad Dahlan untuk menjadi kader Muhammadiyah. Menyusul Siti Bariyah yang didorong Ahmad Dahlan agar belajar di Sekolah Netral, maka Siti Aisyah pun menjadi murid di sana. Saat itu, dia bersekolah bersama Siti Busyro, kakak perempuannya. Itu terjadi setelah Siti Bariyah lulus dari Sekolah Netral.
Di luar Sekolah Netral, Siti Aisyah terus menambah pelajaran di bawah bimbingan kedua orangtuanya. Bersama orangtuanya, Siti Aisyah dibimbing untuk mendalami ilmu agama yang dipelajarinya di asrama, bersama teman-teman putri yang lain. Mereka dibimbing secara intensif oleh sang ibu, Nyai Ahmad Dahlan.
Di asrama, Siti Aisyah dan teman-temannya seperti Siti Bariyah, Siti Moendjijah, Siti Badilah, dan Siti Hajinah digemleng. Mereka dididik, dipersiapkan menjadi pemimpin.
Berbagai Pengalaman
Aktivitas Siti Aisyah di Aisyiyah mulai menonjol sejak terbitnya majalah Suara Aisyiyah pada 1926. Nama dia tercatat sebagai redaktur pertama majalah tersebut bersama Siti Bariyah, Siti Badilah dan Siti Jalalah.
Pada 1931, di Muktamar Ke-20 Muhammadiyah di Yogyakarta, Siti Aisyah terpilih sebagai Ketua Aisyiyah. Itu, bisa dibilang, meneruskan estafet kepemimpinan sang ibu. Meski begitu, frase “meneruskan estafet kepemimpinan sang ibu” tak ada kaitannya dengan upaya mendongkrak secara tidak sah keluarga sendiri untuk menduduki sebuah jabatan.
Tentang ini, perhatikanlah siapa yang menjadi Ketua Aisyiyah berikutnya. Ternyata, pada pemilihan ketua pada periode tahun berikutnya, Siti Moendjiyah yang terpilih. Selanjutnya, pada pemilihan Ketua Aisyiyah, silih berganti orang-orangnya. Adapun terkait Siti Aisyah, dia memimpin kembali dengan posisi sebagi Ketua Aisyiyah pada tahun 1937, 1939, 1940, 1941, 1944 dan 1950.
Dinamika Itu
Di Kauman Yogyakarta, pada 1917, ada pertemuan penting yang dihadiri tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pertemuan itu juga dihadiri beberapa remaja perempuan yang memang tercatat sebagai murid pasangan Ahmad Dahlan dan Siti Walidah. Pertemuan itu strategis, karena menjadi momentum kelahiran Aisyiyah.
Meski di pertemuan 1917 seperti yang tergambar di atas Siti Aisyah tak ikut hadir, tapi belakangan kiprahnya di Aisyiyah sungguh mengesankan. Sekadar catatan, di tahun 1928, Siti Aisyah bersama Siti Munjiyah, Siti Dawimah, dan Siti Hayinah serta aktivis Aisyiyah yang lain menjadi utusan Aisyiyah yang akan mengikuti Muktamar Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta.
Lihatlah dinamika pengalaman Siti Aisyiyah. Setelah terpilih sebagai Ketua Aisyiyah pada 1931, dalam muktamar berikutnya dia tidak terpilih lagi sebagai ketua. Saat itu peserta memilih Siti Moendnjiyah sebagai ketua. Selanjutnya, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta pada 1937, Siti Aisyah kembali terpilih memimpin Aisyiyah.
Baca sambungan di halaman 2: Berbagai Capaian Cemerlang