PWMU.CO – Politik tidak boleh dilepaskan dari konsep khalifatullah fil ardli. Artinya, manusia hanya bertindak sebagai pengelola (khalifah) atas pemberian kekuasaan dari Allah. Karena kekuasaan berasal dari Allah itu sifatnya suci, maka politik bukanlah sesuatu yang kotor dan tabu. Politik tidak harus dijauhi tetapi harus dikelola dengan baik sesuai aturan Allah. Bagi Muhammadiyah, politik menjadi sarana penting untuk menyuarakan aspirasi.
Itulah fiqh demokrasi yang disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur Dr KH M Saad Ibrahim MA dalam Kajian Rutin Organisasi Otonom Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang di Kampus II UMM, Sabtu (14/1) malam.
(Baca: Kajian Rutin Ortom, Ikhtiar Serius Siapkan Kader Persyarikatan)
“Selama menjalankan kekuasaan, hendaknya manusia memenuhi maksud dan tujuan Allah. Manusia harus menjalankan kekuasaan dengan batas-batas yang digariskan oleh Allah. Dan setiap manusia yang memegang kekuasaan hendaknya bertanggung jawab atas segala tindakan yang diambil,” kata Saad.
Khalifah fi al-ardhi, lanjut Saad, merupakan entitas yang melekat pada manusia sebagai mahluk Allah yang paling sempurna di antara makhluk-makhluk lainnya. “Hal ini dapat dilihat dari potensi manusia yang berpeluang dalam menciptakan peradaban dengan iman dalam keyakinan religius yang dianutnya,” kata Saad.
Menurut dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini, kader-kader Muhammadiyah itu terlalu sungkan dalam berpolitik. “Tahun 1998, sudah di depan mata tapi tidak diambil, bahkan diserahkan ke Gus Dur. Ini tidak boleh terjadi lagi,” ujarnya.
Saad mengatakan bahwa Gus Dur adalah mbah-nya politik. Dia lalu menceritakan, ketika Mahfud MD diangkat menjadi Menhan oleh Gus Dur, dia bertanya “Gus saya ini tidak punya latar belakang pertahanan kok diangkat jadi menhan?” Gus Dur pun menjawab, “Saya saja yang tidak punya latar belakang presiden jadi presiden,” ujar Saad menirukan Gus Dur yang disambut gerrr peserta kajian.
Saad juga menjelaskan bagaimana strategi politik Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis. Menurutnya, betapa halusnya diplomasi Sulaiman terhadap Raja Negeri Saba itu. “Redaksi surat Nabi Sulaiman cukup singkat tetapi sarat dengan makna, seperti yang termaktub dalam Surat An Naml ayat 30-31, ‘Sesungguhnya surat itu, dari Sulaiman dan sesungguhnya-(isi)-nya: ‘Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang berserah diri.’,” ungkap Saad.
(Baca juga: KH Hasyim Abbas, Tokoh NU Ini Ternyata Guru yang Sangat Dikenang oleh Ketua PW Muhammadiyah Jatim)
Kedua tokoh itu, kata pria kelahiran Mojokerto ini, lebih mengutamakan pendekatan diplomasi, selama hal itu masih memungkinkan. “Balqis akhirnya memutuskan untuk mengirimkan bingkisan yang bernilai tinggi kepada Nabi Sulaiman, dengan harapan kedua negeri ini menghindari jalan kekerasan,” jelasnya.
Saad melanjutkan, di pihak lain, Nabi Sulaiman tidak kalah cerdas. Dengan jumlah kekayaannya yang melimpah, dia menukar bingkisan itu dengan sesuatu yang lebih berharga dengan cara-cara yang amat canggih. “Sehingga proses penukaran itu tidak sempat dideteksi oleh pasukan Ratu Balqis, yakni dengan memindahkan singasananya ke Palestina. Politik Islam itu terhormat dan beradab. Itulah politik Muhammadiyah,” tegas Saad. (Uzlifah)