Ketika Nyawaku Sudah di Ubun-Ubun, oleh Moh. Sulthon Amien *)
PWMU.CO – Pekan itu merupakan ujian yang berat bagi kami. Puncak gelombang II Covid-19 membara. Hari Selasa (22/6/2021) malam, istri saya, Enny Soetji Indriastuti masuk rawat inap di sebuah rumah sakit di Surabaya. Istri terkonfirmasi positif Covid-19 varian Delta. Hari Rabu, putri kedua kami, Fina Sulthon, menyusul ibunya, dirawat di rumah sakit yang sama. Kamis larut malam, giliran saya dan putri keempat, Faza Sulthon, masuk rumah sakit.
Saya dan Faza dirawat di RS Siti Khodijah Sepanjang, Sidoarjo. Sebelum masuk rumah sakit, saya sempat mengirim pesan Whatsapp (WA) kepada istri mengabarkan hasil tes kesehatan saya dan Faza yang tidak bagus. Saya juga menyampaikan bahwa kami berdua harus opname di RS Siti Khodijah. Hasil computerized tomography (CT) Scan paru saya dan Faza menunjukkan hasil Pneumonia. Keesokan paginya, saya cek handphone dan melihat pesan Whatsapp saya semalam terkirim, namun belum dibaca.
Jumat (25/6/2021) bakda Subuh, saya telepon Mizan Sulthon, putra pertama kami. Ratih Rahmasari istrinya yang menerima menyampaikan bahwa semalaman suaminya di rumah sakit konsultasi perihal ibu dan adiknya. Pulang agak malam membuatnya dalam kondisi kurang fit. Dalam pembicaraan melalui telepon itu, saya mengajak Ratih untuk menyampaikan ke suaminya membahas kekayaan keluarga. Saya katakan untuk me-recovery semua harta di saat keluarga menerima cobaan berat ini.
Pagi hari, saya melihat ada missed call dari Mas Ahmad Basuki Babussalam anggota DPRD I Pemprov Jawa Timur dari PAN. Belum sempat saya telepon balik, ada suara ketukan pintu.
Setelah saya bilang, “Silakan masuk,” ada orang mengenakan alat pelindung diri (APD) masuk ke kamar.
Saya tanya, “Siapa nggih?”
Orang itu menjawab, “Dalem Basuki, Bapak.”
“Lho Mas Bas,” sapa saya.
“Ya Bapak, saya utusan,” jawab Mas Basuki sambil mendekat ke ranjang tempat saya berbaring.
Mendengar jawaban Mas Basuki, saya balik bertanya singkat, “Utusan?”
Ia menjawab, “Ibu, Bapak.”
Saya tidak berpikir panjang, saya tukas, “Ibumu tidak ada?”
Ia menganggukkan kepala. “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un,” ucap saya.
Mas Basuki berusaha mendinginkan suasana hati saya, “Ini hari Jumat, hari baik, Bapak.”
Saya meresponnya dengan menganggukkan kepala.
Yaa Allah Yaa Rabb! Kepala saya menerawang terasa kosong.
Faza yang berada di sebelah saya menyadarkan dengan pertanyaannya, “Mama meninggal, Yah?”
“Ya,” jawab saya singkat. Tangisnya meledak memenuhi ruangan.
“Teruskan tangismu kalau itu untuk melepas dengan ikhlas kepergian Mama,” kata saya.
Di antara isaknya, ia bertanya, “Mama meninggal Yah, Ayah sakit, siapa yang akan menikahkan saya?”
Anak perempuan saya itu memang seharusnya menikah keesokan harinya, Sabtu, 26 Juni 2021. Rencana pernikahannya akan digelar di Agro Mulia, Prigen, Pasuruan.
Mas Basuki saya minta berkoordinasi dengan Pak Tamhid Masyhudi, Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM). Perjalanan jenazah dari rumah sakit menuju Pemakaman Umum Keputih, Sukolilo, Surabaya saya harap bisa dilewatkan Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM), Jalan Medokan Semampir Indah.
Saya minta ia mencoba negoisasi agar mobil ambulans bisa singgah di SAIM dan memungkinkan dilaksanakan shalat jenazah di pelataran sekolah. Jenazah tetap dalam mobil ambulans. Melalui grup Whatsapp “Rapat PWM”, saya menginformasikan perihal rencana ini.
Baca sambungan di halaman 2: Menulis dengan Air Mata