PWMU.CO– Surya Sekar Smamda Sidoarjo mencari guru gamelan dan wayang hingga ke pelosok Ponorogo. Mereka pun menuju Padepokan Sanggar Seni Pasopati.
Pendapa Padepokan Sanggar Seni Pasopati di Desa Duri Kecamatan Slahung, Ponorogo itu sangat indah. Selaras dengan suasana rumah desa yang asri dan sejuk.
Di pendapat itu berjajar gamelan. Di sinilah tempat dalang Ki Sentho Yitno Carito berlatih dan melatih murid-muridnya. Dia dalang yang telah berpengalaman 46 tahun di dunia pewayangan dan gamelan.
Di tempat ini rombongan ekstrakurikuler gamelan Surya Sekar SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Sidoarjo berkunjung Ahad (20/3/2022) lalu.
Desa ini berada di ujung selatan kota Reog. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Pacitan dan Wonogiri Jawa Tengah.
Ki Sentho Yitno Carito lahir dari keluarga seni. Ia adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang semuanya jadi dalang. Ayah Ki Sentho juga dalang.
Ki Sentho mulai menggeluti dalang sejak lulus SMA di Ponorogo. Kemudian melanjutkan berguru ke Raden Ngabehi Yoso Carito dari Keraton Surakarta.
Koordinator Ekskul Gamelan Smamda Sidoarjo Purwita Chirnicalia MPd menyampaikan, belajar gamelan awalnya kesulitan mencari referensi. Banyak informasi diperoleh tetapi di Surakarta dan Yogyakarta sehingga membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya lebih. Setelah mencari, akhirnya dipilihlah ke Ponorogo.
”Kami berharap di sanggar seni ini bisa mendapatkan ilmu yang banyak untuk belajar,” ujarnya.
Saat ini, kata dia, siswa ekskul gamelan belum bisa pentas. Setelah belajar di padepokan ini diharapkan keterampilan memainkan alat musik itu makin bagus.
Aktivitas Padepokan
Setiap hari Ahad murid-murid Ki Sentho latihan di padepokan. Muridnya berasal dari berbagai daerah selain Ponorogo. Ada dari Mojokerto, Madiun, Wonogiri, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, juga dari Lampung.
”Anak Mojokerto ini pulang pergi langsung. Berangkat sebelum Subuh, sore langsung pulang,” tutur Ki Sentho. ”Yang dari jauh-jauh seperti Lampung itu ngekos di Ponorogo.”
Murid-murid Sanggar Seni Pasopati variatif. Mulai SD sampai kuliah. Natta, dalang yang kelas 3 SD. Rumahnya 25 km dari padepokan ke arah utara.
”Saya belajar baru dua tahun tapi tidak penuh. Karena mulai masuk satu bulan sebelum pandemi lalu. Di mana-mana tutup. Kalau dihitung mungkin hanya setahun belajarnya, seminggu sekali,” ujarnya.
Natta yang masih belia bersemangat mempelajari pewayangan. Calon generasi penerus kesenian Jawa. (*)
Penulis Naimul Hajar Editor Sugeng Purwanto