PWMU.CO – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr H Abdul Mu’ti MEd mencermati bahwa belakangan ini umat Islam Indonesia cenderung reaktif dan konfrontatif. Sikap saling vonis, saling memojokkan, saling sengketa, atau saling melaporkan menjadi pemandangan sehari-hari. Padahal sikap saling ber-ta’arrud itu, yakni pertentangan satu dengan lainnya, tanpa disadari, telah menguras energi umat Islam sendiri.
Pernyataan itu disampaikan Mu’ti dalam Tabligh Akbar yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Malang di Masjid Manarul Islam, Sawojajar, Malang, Ahad (29/1) pagi.
(Baca: Abdul Mu’ti: Ini 5 Alasan Kenapa Umat Islam Indonesia Disudutkan Bersikap Konfrontatif)
“Sikap reaktif dan konfrontatif itu menimbulkan justifikasi dan stigma bahwa seakan-akan umat Islam itu anti-NKRI, tidak toleran, suka teror dan kekerasan, bahkan dianggap tidak siap dengan demokrasi,” kata dia. Mu’ti berharap, persepsi dan labelisasi seperti itu harus di-stop. “Jangan sampai menjadi sebuah opini dan sebuah konklusi. Ini berbahaya.”
Mu’ti mengungkapkan, ada lima hal yang menyebabkan umat Islam cenderung reaktif dan konfrontatif. Pertama, ada perasaan seakan-akan pemerintah tidak adil, sehingga menimbulkan kesan bahwa umat Islam selalu ditempatkan pada posisi yang kalah. Kalau untuk kelompok tertentu diberikan keistimewaan, tapi kalau untuk umat Islam, tidak, justru malah ditekan.
“Perasaan inilah yang memicu umat Islam menjadi reaksioner. Ketika disenggol langsung bereaksi, kemudian ditindaklanjuti dengan melahirkan gerakan-gerakan yang sangat reaktif, bahkan sangat emosional,” jelas Mu’ti.
(Baca juga: Abdul Mu’ti: Jangan Curigai Muhammadiyah)
Faktor kedua, lanjut Mu’ti, adanya sikap-sikap aparatur pemerintah yang dinilai represif atau terlalu menekan. “Semua berpendapat, bila ada kasus yang berkaitan dengan pemerintah, cepat terselesaikan. Tapi kenapa bila ada kasus yang berkaitan dengan umat Islam, lambat sekali penanganannya,” ujar Mu’ti yang juga bercerita, ketika dikunjungi Presiden Joko Widodo, Muhammadiyah menyampaikan pesan, agar dalam penyelesaian masalah selalu menggunakan pendekatan musyawarah bukan represif.
Ketiga, adalah faktor tidak-adanya silaturrahmi politik yang baik. Mu’ti mengatakan, terjadi kebuntuan aspirasi masyarakat. “Lihat saja dewan, hanya menyerap dana aspirasi, bukan aspirasi masyarakatnya. Saya sampaikan hal itu pada pak Presiden, ketika berkunjung ke PP Muhammadiyah,“ ujar Mu’ti.
Menurut Mu’ti, hal itulah yang membuat masyarakat berbondong-bondong mencari jalur aspirasi mereka sendiri, melalui aksi demonstrasi biar disorot televisi dan seakan aspirasinya sudah didengar,“ ujar Mu’ti yang disambut geerrrr para peserta. “Untuk itu, saya benar–benar berpesan agar pada Pemilu nanti tidak usah memilih anggota dewan yang tidak aspiratif,” tegas Ketua Badan Akreditasi Nasional ini.
(Baca juga: Abdul Mu’ti: Muhammadiyah Berperan Besar dalam Kemerdekaan Indonesia)
Faktor keempat, ungkap Mu’ti, umat Islam hanya untuk menjadi alat dan diperalat untuk kekuasaan. “Ada upaya agar umat Islam dibuat kehilangan pegangan dan tokoh sentral,” tuturnya. Akhirnya, lanjut Mu’ti, ketika ada tokoh yang muncul bisa mengumpulkan massa dan menghimpun kekuatan, seketika itu juga langsung kagum dan gumun. Padahal itu bagian skenario.
“Saya khawatir saja, umat Islam seperti daun salam pada sayur lodeh. Daun salam itu dibutuhkan ketika masak sayur lodeh sebagai penyedap. Tapo ketika makan sayur lodeh, apa yang dibuang duluan? Pasti daun salamnya. Baru sayur lodehnya yang dimakan.”
Faktor kelima, menurut Mu’ti, umat Islam itu miskin strategi. “Kebanyakan umat Islam itu tidak punya banyak cara dalam berdakwah. Masih banyak yang suka grubyak-grubyuk. Tidak punya konsep yang jelas, sehingga terkesan simplitif dan paranoid. Makanya, dengan mudahnya menggunakan sikap konfrotatif. Biar terkesan heroik, meski tidak memberi efek positif untuk jangka panjang,” kata Mu’ti. (Uzlifah)