PWMU.CO– Pikiran maju RA Kartini seperti cara berpikir orang Eropa pada zaman dia hidup ternyata pengaruh tradisi keluarga.
Itu terbaca dari surat Kartini kepada teman korespondennya Estelle Zeehandelaar pada 21 Mei 1899.
Dia menulis tentang tradisi leluhurnya. ”Almarhum kakekku, Pangeran Ario Tjondronegoro dari Demak, seorang pemula semangat kemajuan adalah bupati pertama-tama di Jawa Tengah yang membuka pintu rumahnya buat tamu dari seberang lautan: peradaban Barat. Menaruh cinta pada kemajuan yang diwarisinya dari ayahnya, dan pada gilirannya merekapun berikan kepada anak-anaknya didikan yang dauhulu mereka terima.”
Dalam buku Panggil Aku Kartini Sadja tulisan Pramoedya Ananta Toer dijelaskan, Pangeran Ario Tjondronegoro, kakek Kartini, adalah Bupati Demak yang diangkat tahun 1850 untuk mengatasi bencana kelaparan di Demak dan Grobokan.
Sebelumnya dia menjadi Bupati Kudus sejak berumur 25 tahun. Dalam waktu dua tahun bencana kelaparan akibat sistem tanam paksa bisa dia atasi sehingga dia mendapat anugerah dari pemerintah kolonial.
Tjondronegoro ini berdarah Surabaya-Madura. Setelah selesai Perang Diponegoro, pemerintah mendekati bangsawan Jawa diundang ke Batavia. Tjondronegoro ikut diundang. Dia bergaul dengan orang-orang Belanda. Mempelajari kekuatan bangsa penjajah dan kelemahan bangsanya sendiri. Jawabannya adalah kekuatan kemajuan, semangat modern dan ilmu pengetahuan. Dia lantas mengusulkan pendirian sekolah kedokteran untuk pribumi yang mendapat perhatian pemerintah.
Kemudian dia memanggil guru Belanda CE van Kesteren untuk home schooling, mengajari anak-anaknya di rumah ilmu pengetahuan Eropa pada tahun 1846. Tahun itu belum ada pikiran pendidikan untuk pribumi.
Enam belas tahun dia menjadi Bupati Demak. Dia meninggal tahun 1866. Kepada anak-anaknya dia berkata: Anak-anak, tanpa pengajaran kelak kalian akan makin memundurkan keturunan kita. Ingat-ingat kata-kataku ini.
Pesan itu diceritakan oleh anaknya Pangeran Ario Hadiningrat yang kelak mewarisi Bupati Demak kepada Pangeran Achmad Djajadiningrat yang ditulis dalam buku Herinneringen.
Tradisi Literasi
Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat inilah yang mengadakan pengajian rutin dengan mengundang Kiai Soleh Darat dari Semarang di rumahnya. Keluarga Kartini yang ayahnya jadi Bupati Jepara juga datang ke pengajian itu.
Di situlah Kartini mengenal Kiai Soleh Darat dan menanyakan apakah boleh al-Quran diterjemahkan dalam Bahasa Jawa supaya dipahami oleh rakyat. Bukan hanya dipahami para kiai.
Atas pertanyaan Kartini itu, mendorong Kiai Soleh Darat menerjemahkan al-Quran mulai al-Fatihah hingga surat Ibrahim yang kemudian dikadokan kepada Kartini saat menikah.
Paman Kartini Ario Hadiningrat itu semasa muda menjadi pegawai Departemen Dalam Negeri. Dia pernah menulis nota berjudul: Sebab-sebab kemunduran prestise Ambtenaar pribumi serta bagaimana jalan untuk meningkatkannya kembali.
Paman Kartini lainnya Raden Mas Adipati Ario Tjondronegoro yang kelak jadi Bupati Kudus dan Brebes tahun 1865 menerbitkan buku Kesalahan dalam Mengarang dalam Basa Djawa. Ini buku sastra Jawa.
Buku keduanya Pengelanaan di Djawa. Beberapa bagiannya diterjemahkan oleh Prof S. Keizer dimuat di Majalah Delfsche Courant dan Tijdzchrift voor Nederlandsch Indie tahun 1868.
Tulisannya bahasa Belanda dimuat di Majalah Bijdragen voor het Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde voor Nederlandsch Indie.
Dia menulis daftar ungkapan bahasa Jawa dan artinya dalam bahasa Belanda, Prancis, Inggris, Tionghoa, Melayu, Arab, Portugis, Bengali, Latin, dan Yunani.
Berani Bersuara
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Sosroningrat, Bupati Jepara, juga punya pikiran maju. Dia menulis dalam bahasa Belanda. Salah satu tulisannya nota protes kepada pemerintah atas diskriminasi pendidikan.
Keluarga leluhur Kartini yang memiliki tradisi literasi, intelektualitas, dan pikiran maju ini merupakan generasi pertama pribumi yang menerima pendidikan Barat dan menguasai bahasa Belanda dengan baik. Bahasa Belanda zaman itu adalah jalan mempelajari ilmu pengetahuan.
Kartini menulis dalam korespondensinya dengan Estelle Zeehandelaar pada 15 Agustus 1902.
Ada begitu banyak pembicaraan, penulisan, tentang semangat kemajuan keluarga kami. Tentang semangat kemajuan keluarga Tjondronegoro. Lama sudah kakekku meninggal dunia. Tetapi namanya tinggal hidup, disebut dan dihormati dengan simpati oleh mereka yang pernah mengenalnya ataupun mendengar tentangnya. Kakekku yang mula-mula sekali memberikan putra-putra serta putri-putrinya pendidikan Barat. Kakekku adalah pelopor, adalah sungguh-sungguh seorang yang mulia. Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh.
Dalam surat itu juga Kartini bercerita tentang ayahnya Raden Mas Adipati Sosroningrat.
Ayah mendapat banyak simpati baik dari dunia Eropa maupun pribumi. Memang ayah tak mempunyai seorangpun bupati untuk menantunya. Tapi ayah mempunyai anak-anaknya, pria dan wanita yang dibentuknya menjadi makhluk yang berpikir. Itulah jasa yang menyebabkan ayah mendapatkan banyak penghormatan dan simpati.
Dan penghargaan serta simpati golongan berpikiran waras initidak akan menjadi berkurang. Sebaliknya bakal bertambah pabila ayah memahkotai jasanya itu dengan mengizinkan kami mengisi kebutuhan batin kami, yang ayah sendiri telah membangunkannya. (*)
Penulis/Editor Sugeng Purwanto