![Kita Disentil Allah agar Tak Lupa Diri, Refleksi Idul Fitri, ditulis oleh Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO, alumnus Pendidikan Biologi FPMIPA IiKP Surabaya.](https://i0.wp.com/pwmu.co/wp-content/uploads/2021/05/IMG-20200603-WA0000-1-e1620822389648.jpg?resize=900%2C589&ssl=1)
PWMU.CO – Medan Berat Banglades dan Buah Silaturahmi. Ini Lamongan. Lamongan itu bagian dari Jawa. Beberapa kilometer saja dari Surabaya, Ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Dan Jawa itu, katanya, pembangunannya sudah maju dan merata.
Tetapi setiap saya mudik ke Lamongan—yang secara bercanda disebut Banglades, akronim dari bangsa Lamongan deso atau Lampung, Lamongan kampung—gambaran kemajuan pembangunan itu seperti omong doang.
Untuk bersilaturahmi ke seorang paman yang berada di Desa Pelangwot, Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan, Selasa (3/5/2022), saya sebagai putra Desa Keduyung yang satu kecamatan dengan Pelangwot itu, harus berputar dulu melalui dua kabupaten (Lamongan dan Tuban) dengan tiga kecamatan: Widang, Sekaran, dan Maduran.
Padahal harusnya, untuk ke sana, cukup melewati tujuh desa ke sisi timur, ke arah Kecamatan Laren. Tapi karena akses jalan yang buruk—sebuah tanggul Bengawan Solo yang sempit (cukup satu mobil) dengan permukaan yang tidak rata: ada yang dipaving ada yang diaspal, yang rata-rata sudah rusak—maka saya tidak berani melalui jalur itu.
Apalagi ada pengalaman traumatis juga di hari itu. Saat dari Keduyung menuju Desa Siser (untuk menyambangi seorang sepupu, Khamim Asy’ari) kami sempat dimarahi seorang pengemudi pickup yang ngotot tidak mau saling berbagi jalan yang sempit itu.
Biasanya, kami selalu bertemu dengan sesama pengguna jalan dengan toleransi yang tinggi. Saling mengalah untuk memberi kesempatan bergantian melewati jalan. Biasanya kami atau mereka berhenti dulu di ruas jalan yang agak lebar sehingga kendaraan dari arah berlawanan bisa lewat.
Pagi itu, anak ketiga saya, Aqil Rausanfikr Mohammad, yang mengemudikan mobil sudah memberi kode agar pickup itu berhenti di ruas jalan yang agak lebar, tapi ternyata dia terus melaju dan berpapasan dengan kendaraan kami di jalan yang sempit. Maka, terjadilah gesekan itu: gesekan psikologis dan fisik mobil.
Maka, saat sudah di Desa Siser, kami tidak berani melanjutkan perjalanan ke Pelangwot meskipun sebenarnya hanya tersisa empat desa lagi. Sebab, katanya, kondisi jalan Siser-Pelangwot lebih buruk lagi. Kami harus kembali ke Keduyung dulu dan berputar ke tiga Kecamatan tadi, ke Pelangwot melalui Desa Laren.
Tapi harap dicatat, perjalanan ke Pelangwot melalui Desa Laren bukan berarti mulus. Hampir sama juga. Permukaan tanggul yang sempit dengan pengerasan jalan yang sudah banyak rusak, membuat badan berguncang dan hati dag-div-dug.
Untungnya kali ini semua pengguna jalan yang berpapasan dengan kami, punya toleransi tinggi. Saling mengalah berhenti di ruas yang agak lebar, misalnya di pertigaan, sehingga dua mobil yang berlawanan arah itu bisa lewat tanpa bersinggungan.
Untuk medan yang berat itu, seorang teman asal Bawean, Kemas Saiful Rizal, yang tinggal di Gresik, dan baru sekali lewat di jalur tanggul itu ketika menghadiri pernikahan kerabatnya di Desa Siser setahun lalu, menyebutnya sebagai off road. Medan yang berat.
Beberapa tahun sebelumnya, mobil kami juga terperosok saat mengantar Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur alamarhum Nadjib Hamid. Dan kisahnya sudah menjadi bagian dari buku Nadjib Hamid Mengabdi tanpa Batas.
Di tengah perjalanan di medan yang berat itu, kami berseloroh, presiden Indonesia harus siapa ya biar kami punya jalan yang memadai.
Baca sambungan di halaman dua: Buah Manis Silaturahmi
Discussion about this post