Doa Al-Fatihah Orangtua Tuntaskan Kesembuhan Sakit Saya; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku-buku termasuk Jejak Kisah Pengukir Sejarah.
PWMU.CO – Saya tinggal di Waru, Sidoarjo, kawasan yang berbatasan dengan Surabaya Selatan. Mulai sekitar awal tahun 2000, saya punya keluhan, yaitu lapang pandang saya menyempit.
Sebelum-sebelumnya, saat membaca sebaris kalimat bisa sekali baca tanpa harus mengubah posisi muka (kepala). Tapi, belakangan, itu tak bisa lagi. Berikut ini ilustrasinya.
Dulu, saat saya membaca kalimat “Suka membaca buku adalah hobi yang terpuji” bisa sekali pandang. Iya, sekali pandang, tanpa mengubah posisi arah pandangan. Tapi, belakangan, itu tak bisa lagi. Ini terjadi, karena kata di ujung paling kanan kalimat itu yaitu “terpuji” tak bisa saya lihat. Baru terlihat setelah saya mengubah arah muka (kepala), ke kanan sedikit.
Contoh lain, di rumah. Saya kadang-kadang terkejut, karena tiba-tiba istri melintas (berjalan mendahului) di depan saya. Terkejut, karena saya tidak mampu menangkap secara sempurna situasi di sekitar samping-belakang saya. Padahal, sebelumnya, yang seperti ini tak pernah saya rasakan.
Keadaan seperti di atas terus berlangsung tanpa ada pikiran untuk segera memeriksakan diri ke dokter. Adapun kesadaran untuk secepatnya ke dokter malah saya rasakan saat ada di Jakarta.
Alkisah, pada tahun 2000 berlangsung Muktamar Ke-44 Muhammadiyah di Jakarta dari tanggal 8 sampai 11 Juli. Di acara itu, ibu dan adik perempuan saya menjadi peserta. Ibu anggota pimpinan Aisyiyah dan adik saya anggota pimpinan Nasyiatul Aisyiyah di Pamekasan.
Sementara, saya dan ayah saya (allahuyarham) mendampingi keduanya. Kami, sebagai penggembira muktamar.
Di Jakarta itulah, keluhan berupa penyempitan lapang pandang mata lebih saya rasakan. Atas hal itu, saya berniat, sepulang dari Jakarta akan segera ke dokter.
Penasaran Perhatian
Memenuhi niat itu, saya pun segera ke RSUD dr Soetomo Surabaya. Saya ke polimata karena keluhannya di soal lapang pandang.
Usai diperiksa, dokter mata bilang, tak ada penyakit yang berhubungan langsung dengan kondisi mata. Untuk itu beliau meminta saya periksa ke poli syaraf.
Hal yang mengundang tanda tanya terjadi saat saya ada di bagian administrasi. Saya di situ antara lain untuk dibuatkan surat pengantar ke poli syaraf. Saat itu sudah waktunya dokter-dokter pulang.
Ketika saya masih di bagian administrasi itu, dokter mata yang memeriksa saya tadi melintas untuk pulang. “Pak, sabar ya,” kata beliau tertuju kepada saya.
“Terima kasih,” respons saya.
Selain senang mendapati dokter yang memperhatikan pasiennya, hati saya gundah. Pesan untuk “bersabar” itu, bagi saya semacam isyarat bahwa sakit saya cukup serius.
Kabar Lanjutan
Tak membuang waktu, esoknya saya ke poli syaraf di rumah sakit yang sama. Setelah diperiksa, saya diminta untuk CT Scan kepala. Saya pun segera melakukannya. Hasilnya?
Ternyata, ada tumor di kepala saya. Jenisnya, tumor hipofisis. Lalu, kata dokter di bagian syaraf, saya harus melanjutkan pemeriksaan ke bagian bedah syaraf.
Sama, tak menunggu lama, saya segera ke poli bedah syaraf di rumah sakit yang sama. Setelah diperiksa, saya mendapat penjelasan. Bahwa, posisi tumor ada di kelenjar hipofisis. Posisinya, di otak bagian bawah. Tumor menekan syaraf di otak, di bagian yang terkait dengan lapang pandang.
Selanjutnya, kata dokter, perlu operasi untuk mengangkat tumor tersebut. Mengingat posisi tumor di otak bagian bawah, maka operasi tak perlu membuka tempurung kepala. Lalu, caranya seperti apa? Berikut ini, yang saya ingat.
Dari sela-sela antara gigi atas dan bibir atas dimasukkan alat. Setelah alat melewati rongga hidung, ketemu lokasi tumor di otak bagian bawah. Di rongga hidung, agar alat leluasa, tulang rawan hidung “dirobohkan”.
Berdasarkan penjelasan dokter (yang disampaikan sebelum operasi), rata-rata pelaksanaan operasi untuk kasus yang sama dengan saya sekitar tiga jam. Tapi, saat itu, operasi saya butuh enam jam.
Selesai operasi, saya dirawat di ICU selama tiga hari. Ada dua catatan. Pertama, untuk mengembalikan posisi tulang rawan di hidung, dua lubang hidung saya “disumpal” dengan sesuatu alat. Untuk itu saya bernafas lewat mulut dalam beberapa hari, yaitu sampai “sumpal” di hidung dilepas.
Kedua, melewati tiga hari di ICU dengan sekian peralatan medis menempel di tubuh yang tersambung ke layar monitor, sungguh pengalaman yang tak akan terlupakan. Bayangan akan ditimpa sesuatu yang tidak diharap-harapkan sesekali muncul.
Terlebih lagi, di ruangan itu saya tak sendirian tapi bersama banyak pasien lainnya dengan aneka masalah kesehatan. Ketika itu, bunyi berbagai alat kesehatan yang saling bersahutan di ICU menambah “suasana khas”. Terbayang, sekali lagi, hal yang tidak-tidak.
Baca sambungan di halaman 2: Disapa Dokter Lagi