Tahun Lalu di NU, Kali Ini Halalbihalal IKPM Lamongan di Muhammadiyah, liputan kontributor PWMU.CO Kota Pasuruan Rozzaqul Hasan.
PWMU.CO – Halalbihalal Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Cabang Lamogan diadakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah (GDM) Brondong Kabupaten Lamongan, Ahad (8/5/2022).
Halal bihalal ini dihadiri oleh alumni Pondok Modern Gontor putra dan putri yang berasal dan atau berdomisili di Kabupaten Lamongan. Alumni yang hadir tidak hanya alumni angkatan tahun 2000 ke atas, melainkan alumni tahun 70-an hingga 90-an juga hadir.
Ketua IKPM Lamongan Miftahul Ilmi dalam sambutannya menyampaikan rasa syukurnya halal bihalal IKPM Lamongan kali ini banyak yang hadir. Ada alumni senior dan semi senior. Sebenarnya orang lain itu iri kepada alumni Gontor karena ukhuwwah (ikatan persaudaraan) kuat sekali.
“Saya juga alumni SMP sebelum masuk Gontor. Saat ada reuni alumni SMP, yang hadir hanya 20 orang, padahal jumlahnya sampai dua ratusan. Itu pun sampai menyembelih kambing milik saya agar mau hadir,” ujarnya disambut tawa hadirin.
“Tahun lalu kita adakan halal bihalal di Pondok Ihyaul Ulum, Pondok NU milik alumni di Sekaran. Dan tahun ini kita adakan di Gedung Dakwah Muhammadiyah Brondong. Jangan sampai karena tempatnya di sini lalu tidak mau datang karena orang NU,” tambahnya.
Miftah menuturkan, motto Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan. Ada alumni Gontor yang masuk Muhammadiyah, NU, Persis, dan lain sebagainya. “Dan IKPM Lamongan adalah wadah untuk menyatukan kita karena IKPM Lamongan berdiri di atas dan untuk semua golongan,” ungkapnya disambut tepuk tangan peserta.
Jadi Alumni Bermanfaat
Usai ketua IKPM Lamogan menyampaikan sambutannya, Kiai Mulyono alumni tahun 1975 dipersilahkan oleh pembawa acara untuk memberikan sambutan. Dia belajar di Gontor selama tiga tahun dan seangkatan dengan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Din Syamsuddin. Juga pernah sekelas dengan Dr Hidayatullah Zarkasyi, putra Kiai Imam Zarkasyi pendiri Gontor.
Dia menyampaikan, sebagaimana disebutkan panitia bahwa motto Gontor adalah berdiri di atas dan untuk semua golongan. Tentunya Gontor tidak terafiliasi oleh politik dan organisasi apapun. Sehingga santri Gontor ada yang dari Muhammadiyah, NU, dan dari mana saja. Yang penting daftar, ikut ujian masuk, lulus jadi santri, setelah keluar dari Gontor ada yang jadi tokoh Muhammadiyah silakan, jadi tokoh NU silakan.
“Maka saya mengusulkan kalau ada halal bihalal lagi pengurus NU dan Muhammadiyah setempat turut diundang. Misalnya halal bihalal diadakan di Lamongan kota. Maka, panitia mengundang MWCNU dan PCM Lamongan agar mereka juga kenal dengan Gontor. Jadi jangan kita sendiri. Inilah Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan. Semuanya bisa masuk menjadi santri Gontor,” usulnya.
Kami orang tua mengharapkan semua alumni Gontor harus menjadi orang yang bermanfaat bagi manusia lain. Sesuai dengan himbauan Rasulullah khairunnâs anfa’uhum linnâs. Artinya sebaik-baik manusia ialah yang bisa memberi mafaat bagi manusia yang lain.
“Untuk menuju kepada khairunnâs, Allah memberikan petunjuk dalam surat Ali Imran ayat 110 yang artinya kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia yang mempunyai tugas amar makruf dan nahi munkar. Yaitu gerakan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran,” jelasnya.
Kita sebagai umat Islam, lanjutnya, harus melakukan itu karena sampai hari kiamat akan selalu ada manusia yang berbuat kemungkaran.
“Ini adalah tugas kita sebagai alumni Gontor. Tentu tugas ini dilaksanakan oleh masing-masing alumni sesuai dengan posisi dan fungsinya baik sebagai guru, dai, politikus dan lain sebagainya,” pungkasnya.
Buat Pembaharuan dan Ikhlas
Sambutan terakhir disampaikan oleh Kiai Mukhtar Sun’an. Ia adalah guru dari Kiai Mulyono. Saat masuk Gontor sudah mengenal Mukhtar Sun’an sebagai ustadz di Gontor. Ia mendapat kepercayaan menjadi bagian administrasi selama tujuh tahun mengabdi di Gontor. Sepuluh tahun tidak pernah pulang saat lebaran Idul Fitri karena diminta oleh Kiai Imam Zarkasyi untuk mendampinginya.
Mukhtar Sun’an menuturkan, pesan pak Zar (panggilan akrab Kiai Imam Zarkasyi), alumni Gontor harus membuat pembaharuan di mana pun ia berada dan ikhlas. Pesan itu terus diingat dan praktekkan ketika keluar dari Gontor.
“Saya mengambil profesi sebagai guru dan pernah mengajar di lembaga pendidikan di beberapa daerah, antara lain Sidoarjo, Gresik, Lamongan, dan Bojonegoro. Di setiap lembaga pendidikan yang saya tempati, saya selalu membuat pembaharuan dan berhasil hingga lembaga tersebut berkembang. Salah satunya Pesantren Maskumambang Gresik,” terangnya.
Dia mengatakan, pernah berselisih dengan kepala sekolah di Blimbing, Lamongan. Hal ini dikarenakan kepala sekolah meminta murid untuk mengabsen kehadiran guru. Sedangkan ia melarang murid melakukannya karena menurutnya itu tidak baik bagi pendidikan etika murid kepada guru hingga ia ditegur oleh kepala sekolah.
Memang saat itu masalah di sekolah adalah kurangnya kedisiplinan guru. Banyak guru yang membolos dan terlambat.
“Apa pak Mukhtar tidak suka disiplin?” tegur kepala sekolah.
“Saya dari Gontor. Bapak jangan tanya disiplin saya. Saya selama satu tahun hanya izin tiga hari. Dua hari izin ketika bapak saya meninggal dan esoknya menerima tamu yang bertakziyah. Satu hari lagi karena saudara meninggal dan saya yang memimpin pengajian. Bapak sendiri dalam satu tahun berapa kali tidak hadir di sekolah?” jawab Mukhtar tegas.
Kepala sekolah pun menunduk malu mendengarnya. Perselisihan tersebut akhirnya didamaikan oleh pihak yayasan. Tetapi beberapa waktu kemudian dia mendapat surat pemberhentian dengan alasan sudah tua.
Naik Haji dari Hadiah Umrah
Setelah tidak lagi mengajar di Blimbing, da sempat bertemu dengan teman alumni Gontor di daerah Sumberejo, Bojonegoro. Ia kemudian ditawari untuk menjadi kepala SMEA di sana. Ia terima tawaran itu meskipun gajinya kecil.
“Dari yang sebelumnya mendapatkan gaji tinggi lalu turun mendapatkan gaji kecil sekecil-kecilnya,” ucapnya.
Dengan tetap memegang pesan pak Zar yaitu buat pembaharuan dan ikhlas, dia pun kembali membuat pembaharuan di SMEA. Yaitu mengadakan pelajaran memasak dan menjahit karena kondisi masyarakat di sana mayoritas hanya menjadi pelinting rokok tembakau. Dia ingin murid-muridnya memiliki keterampilan lain hingga mampu bekerja di bidang lain. Minimal, keterampilannya bermanfaat untuk keluarga kecilnya kelak.
Pembaharuan dan keikhlasannya akhirnya membuahkan hasil. SMEA tempatnya berkembang pesat. Wali murid senang dan percaya dengannya. Ada yang memberikan hadiah perjalanan ibadah umrah untuknya. Tapi dia tidak serta merta menerimanya karena merasa masih baru di tempat tersebut.
“Saya pun meminta hadiah itu diberikan kepada guru senior SMEA yang pernah membuat pembaharuan di sekolah. Atau guru yang selama satu tahun tidak pernah izin. Setelah ditelusuri tidak ada guru dengan salah satu dari dua kriteria tersebut. Sehingga hadiah umrah tetap diberikan kepada saya,” kenangnya.
Saat muda dia sempat bekerja menjadi pembantu di Kedutaan Arab Saudi dengan maksud agar bisa ke Saudi dan menunaikan ibadah haji. Namun upaya itu tetap tidak juga mengantarkannya ke Makkah.
“Maka hadiah umrah saya minta dalam bentuk uang untuk biaya perjalanan haji. Dan alhamdulillah diberikan hingga saya pun bisa menunaikan ibadah haji. Berkat keikhlasan, Allah mengabulkan keinginan saya menunaikan ibadah haji,” tuturnya. (*)
Co-Editor Sugiran. Editor Mohammad Nurfatoni.